Monday, December 9, 2013

Sore, Secangkir Kopi dan dua Iris Brownies

Aku adalah serpih kenangan yang tertinggal di tepi jalan.
Yang berdoa di kala malam, berharap di
jemput tuk kembali pulang.
Namun sering terlupa setiap kali pagi datang menjelang.
Aku adalah rangkaian kalimat doa yang
belum waktunya di kabulkan.
Sapuan kuas dari lukisan mimpi yang belum jadi kenyataan.
Aku lah rahasia dari hati yang berdoa dalam diam.
Akhir pencarian penuh sabar sebagai tulang rusuk yang hilang dari tubuh seseorang.
Aku adalah secangkir sore penuh kenangan.
Puisi di ujung pena yang belum sempat
tertuang di secarik kertas.
Pelangi dari jalinan sepi penantian, usai
riuhnya opera masa remaja.
Langit cerah usai hujan yang turun sepanjang malam.

“Maaf, kertas itu..” kataku pada sosok laki-laki yang duduk di meja kafe yang
kutinggalkan.
“Milikmu?” tanyanya seraya membalikkan badan.

Deg! Aku terkesiap. Tubuhku terasa
membeku. Jantungku berdebar-debar. Tiba-tiba saja deburan ombak di tepi pantai memenuhi seluruh rongga dadaku.

Sore datang seperti biasa. Aku berpikir
bahwa menikmati secangkir kopi di kafe
akan sangat membahagiakan jiwaku. Apalagi hujan hanya meninggalkan sedikit gerimis dan belaian angin. Lalu, laki-laki ini.
Apakah takdir sedang di perintah Tuhan
untuk bermain denganku?

“Apa kabar? Lama tak jumpa. Duduklah, temani aku sebentar.” katanya,menghentikan senandung kebisuan di antara kami. Aku
menelan ludah.
“Masih tentang kopi?” dia tersenyum saat menyorongkan kertas tadi padaku,
“Bagaimana kabarmu?”

“Baik. Selalu. Terima kasih sudah
menanyakannya.” jawabku seraya meraih
kertas tadi.

Dia menghela napas. Hatiku seketika terasa menciut. Takut. Lalu rasa kecut, tiba-tiba muncul di dalam mulutku. Aku hampir mati kehabisan udara karena menunggu kata-kata.

“Puisi itu.. apakah kau tidak berniat berbagi sore dengan seseorang?” ujarnya
Aku menunduk. Entah mengapa mataku
terpaku pada jari-jari tangan laki-laki di
hadapanku, seolah mencari sesuatu yang
seharusnya ada disana selama beberapa
waktu. Lalu debar hatiku seakan pecah saat menyadari bahwa yang kucari TIDAK ADA DISANA!

Aku menatapnya. Entah nyali milik siapa yang datang dan dari mana asalnya hingga aku berani menatap langsung kedua matanya yang hitam dan teduh. Binarnya selalu hampir membuatku hilang sadar.

“Aku percaya, bahwa suatu saat takdir akan membawaku bertemu seseorang yang mau berbagi sore dan secangkir kopi denganku.” kataku.

Laki-laki di hadapanku tersenyum.
Pandangannya lembut namun menyelipkan perasaan aneh yang menggelitik jantungku.
Aku tak tahu mengapa. Ah, aku tak tahan lagi.

“Aku harus pergi.. Maaf..” aku berdiri,
bersiap meninggalkannya. Mataku tiba-tiba terasa panas saat aku membalikkan badan. Sesuatu seperti menyayat hatiku di setiap aku mengayunkan langkah, rasanya perih.

“Aku hanya punya sisa dua iris brownies..”
ku hentikan langkahku saat mendengar
suaranya. Ku balikan badan dan menatapnya lagi. Dia disana. Berdiri sambil menatapku. Aku terlalu kaget dan bingung untuk dapat menjawab ucapannya.

“Jika kau masih bersedia tinggal dan
berbagi sore dan secangkir kopi. Denganku.”

Glek. Tiba-tiba saja kakiku terasa lemas
saat mendengar kata-katanya. Mataku
perih. Seketika saja bulir air mataku telah mengalir bak anak sungai. Aku tak percaya mendengar kalimat itu darinya.
Di luar, gerimis kembali turun. Meningkahi rasa canggung ku akan tatapan matanya dan kata-kata yang kudengar barusan. Senja turun perlahan saat aku tersenyum padanya di sela-sela tangisku. Pada akhirnya dia akan tahu, bahwa cangkir ku selalu penuh
akan kenangan dan doa-doa tentangnya.

Tuhan.... Dia sudah datang...

0 comments:

Post a Comment