• This is Slide 1 Title

    This is slide 1 description. Go to Edit HTML and replace these sentences with your own words. This is a Blogger template by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com...

  • This is Slide 2 Title

    This is slide 2 description. Go to Edit HTML and replace these sentences with your own words. This is a Blogger template by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com...

  • This is Slide 3 Title

    This is slide 3 description. Go to Edit HTML and replace these sentences with your own words. This is a Blogger template by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com...

Monday, October 5, 2015

Rasa Takut dan Khawatir



Sumber: facebook


Sudah beberapa hari istri saya merajuk dan bahkan setengah memaksa.Terus-menerus. Tak pernah berhenti. Sepanjang waktu. Siang-malam, pagi-sore. Ia tak mengenal lelah untuk merajuk dan memaksa. Rajukan dan paksaannya juga tak main-main. Sangat berat. Maha berat malah. Ia meminta saya untuk melakukan poligami! Menikah lagi! Dengan perempuan lain!

Saya tidak tahu apa alasan pasti sehingga istri saya meminta saya berpoligami. Bagi saya, istri saya adalah wanita yang mendekati sempurna. Ia adalah perpaduan antara Khadijah dan Aisyah, istri-istri Nabi agung Muhammad. Di waktu-waktu tertentu, ia begitu mandiri, tabah, dan keibuan layaknya Khadijah. Di saat lain, istri saya mampu bertindak cerdas dan suka bermanja seperti halnya Aisyah. Jadi, buat apa saya berpoligami?

”Poligami bukan buat Mas, ”tegas istri saya. ”Tapi, poligami ini buat saya. Saya ingin masuk surga seperti wanita-wanita lain yang rela dan ikhlas dimadu. Apakah Mas tidak senang jika istrinya masuk surga?”
Saya kaget dengan ketegasan istri saya. Tapi, saya bukannya senang dengan sikap yang tegas itu. Saya justru takut, ketegasan itu akan membuat istri saya menyesal di kelak kemudian hari. Apalagi saya memang benar-benar tak ingin berpoligami!

”Dik, poligami itu bukan sesuatu yang mudah. Seorang pria yang berniat poligami harus memiliki sikap dan watak yang adil. Apakah aku akan mampu bersikap adil? Rasanya tidak! Coba kamu pikir dan rasakan, terhadap diri kamu dan anak-anak kita saja saya kerap gagal, apalagi terhadap orang lain nantinya.”
Saya mulai memberi nasihat kepadanya. Tentu dengan suara yang lembut. Sebab saya yakin ia pasti mau mendengarnya jika saya berbicara lembut.
”Selain adil, aku juga mesti punya pendapatan yang berlebih. Taruhlah, aku cukup kaya untuk membiayai kehidupan dua keluarga. Sebab bagaimana mungkin aku bisa berpoligami sementara pendapatanku cekak? Nah, ini yang aku tidak bisa berikan. Untuk membiayai kehidupan kamu dan anak-anak kita saja aku begitu kerepotan, bagaimana aku bisa membiayai kehidupan orang lain.”

Istri saya manggut-manggut. Saya senang ia mulai terpengaruh pikiran saya. Tapi, saya dibuat terperangah karena suara istri saya lain dengan sikapnya itu.
”Sejak kapan Mas berubah sikap menjadi seorang penakut? Apakah Islam telah mengajarkan Mas menjadi seorang penakut? Saya tidak pernah membayangkan Mas begitu ketakutan terhadap poligami. Padahal, kenapa kita takut berpoligami? Apa sebenarnya yang membuat kita ngeri saat hendak melakukan poligami? Takut tidak dapat berbuat adil? Takut tak bisa menafkahi?”

”Dik, aku bukan takut. Tapi, aku rasional…”

”Benar! Mas, rasional. Tapi, rasional yang didasari oleh ketakutan. Kalau Mas bicara dan bertindak atas nama sesuatu, tetapi sudah didasari ketakutan dan kekhawatiran, selamanya Mas tak akan pernah bisa jujur terhadap diri sendiri.”

Saya tak mampu melawan kata-kata istri saya. Hari ini, saya berdebat dengan istri saya mengenai poligami. Tapi, posisi kami malah bertolak belakang. Saya bukan hendak minta izin berpoligami, melainkan saya justru dipaksa istri saya untuk berpoligami.

”Dik, kata Pak Quraish Shihab, poligami itu dapat diibaratkan pintu darurat di pesawat terbang….”

”Pintu darurat yang seperti apa? Apa jenis pesawat terbangnya?” potong istri saya cepat. ”Setahu aku, Al Qur’an tidak pernah mengibaratkan poligami seperti pintu darurat pesawat terbang. Al Qur’an hanya bilang, kalau mampu bersikap adil, nikahlah dengan dua, tiga, atau empat. Kalau tak mampu cukup satu saja.”

”Itulah yang aku takutkan…”

”Nah, benarkan. Mas bicara poligami karena rasa takut dan khawatir. Akhirnya, Mas mengaku juga….”

Saya telah masuk ke dalam perangkap pikiran cerdas istri saya. Saya kini terdiam. Benar-benar terdiam. Seribu bahasa. Saya hanya menundukkan kepala pertanda menyerah.

”Mas, ”panggil istri saya dengan senyum dan mata yang menawan. ”Saya ingin Mas secepatnya berpoligami. Saya ikhlas. Benar-benar ikhlas. Bahkan kalau Mas tak bisa mencari wanita lain, saya bersedia mencarikannya.”

Saya menengadahkan kepala saya ke wajahnya. Istri saya tersenyum. Senyumnya begitu lembut. Saya membalasnya dengan pelukan hangat. Diam-diam hati saya berbunga-bunga. Gembira. Membayangkan ada wanita lain yang -tentu saja- lebih muda, lebih cantik, lebih semlohai, lebih segalanya dibanding istri saya sekarang ini. Kegembiraan saya tak tertahankan….

”Mas! Bangun! Bangun, Mas! Mimpi apa sih? Kok senyum-senyum. Ketawa sendiri lagi.


Tanjung Pinang, 05 Oktober 2015


Sunday, October 4, 2015

I Will Always Love You




Cinta, seperangkat rasa yang membalut berbagai ekspresi hati yang tengah merajalela, mengalahkan bentuk lain dari kasih sayang. membentuk lekuk senyuman yang terkadang menyulitkan kegilaan tidak masuk akal, kebutaannya dapat mengikis habis benteng harga diri yang dijunjung tinggi, menyapu bersih debu kehidupan insan yang kesepian.

Hadirnya memancarkan satu sinar terang di tengah badai, mengubah 7 lapisan warna pelangi menjadi satu warna “merah muda”. ya, hanya merah muda warna yang berserakan di cawan hatiku. Cinta itu bersemi untuk pertama kalinya, mendarat tepat di hutan pedalaman yang belum tersentuh satu injakan kaki pun, rimbun, banyak semak belukar tak terurus. dan kini, sosok petualang itu datang, menjelajahi pelosok hutan sanubari dengan membawa cinta di genggamannya, cinta yang membabi buta ilalang liar yang lama bersemayam di kalbu, tapi kini berhasil ia tumpas habis membuatnya terlihat lebih terang tanpa kesan menyeramkan.

Dia menjadi milikku, mungkin itu hanya rengekan anjing liar yang tak pernah didengar, bahkan terlalu mengganggu. kehadiranku mungkin hanya sebatas parasit dengan besar harapan dia yang menjadi inangnya. inang yang siap ku curi separuh hidupnya untuk hidupku, inang yang bersedia menghabiskan seluruh waktunya untuk terus berada di dekatku. mungkin ini pemikiran dangkal, tapi jika keajaiban waktu itu datang, sudah pasti ruang kosong yang kubiarkan selama ini akan terjejal padat oleh kehadirannya.

Namanya Lia, Wanita sederhana yang mempunyai seringai senyum mematikan, dengan kelihaiannya dia merangkai kata di atas kertas putih dengan goresan tinta yang tertuang dan mulai merasuk membentuk satu gambaran kebahagiaan.
Cinta, ya, ini cinta pertama yang ku dalami kenyataannya, cinta pertama yang melibatkan semua unsur yang ku punyai, cinta pertama yang membuatku kehilangan akal sehatku, dan cinta pertama yang berani mengajakku terbang melayang menikmati imajinasi tentang dirinya.

Virus merah muda ini berhasil memalingkan hak pandangku dan menyeretnya untuk tertuju pada lekuk manis wajahnya saja, mendarah daging menjadi karya seni tiga dimensi yang terpajang rapi di dalam memory.
Sayang, yang ku punya hanya sayap seekor ayam, kalaupun berancang-ancang jauh, tetap kapasitas terbangku nihil, aku tetap jatuh kembali ke permukaan. Khayalanku terlalu tinggi, sampai untuk membayangkannya saja aku tidak mampu. Bidikan jitu yang tepat, sekarang hatiku benar benar melelehkan darah kebencian, terus mengalir tidak akan berhenti sampai dia sendiri yang membalutnya.

TEGA, mungkin kata itu yang menjadi perwakilan rasa sakitku, setelah dia memutuskan mengajakku berlayar menjelajahi lautan, di tengah jalan dia terjun dan berenang meninggalkanku, badai datang dan aku sendiri di atas perahu yang terombang-ambing hantaman ombak yang teramat dahsyat. Bahkan, bukan hanya air yang menghujaniku tapi petir pun menyambar telingaku. Aku terbuai dalam selimut ketakutan, takut untuk mencoba menepi dengan melakukan hal yang sama, aku tidak bisa berenang dan mungkin ada ikan buas yang menerkamku.

Cinta ini terus ku percaya, kekuatannya meneguhkan kakiku untuk tetap berdiri, harapan akan dia kembali begitu besar kurasakan. Walau pegal kesemutan, panas hujan menghantam, tapi tidak secuilpun merubah rasa yang terlanjur bermekaran.
Tidak peduli skandal itu telah mencakar dan mengoyak hatiku, tidak peduli dia hanya menganggapku hama yang menghambat dan mengganggu keindahannya. Meski begitu, aku tidak peduli. Inilah aku, seorang Pria yang mempunyai perasaan luar biasa padanya, seorang Pria yang berharap dia menyadari dan menyesali penghianatannya. Penghianatan yang benar-benar mengubah warna merah muda cinta dengan hitam pekat kebencian.

*****



4 tahun aku bertahan dengan tongkat penopang sebagai tumpuan untuk berusaha bangkit dari tendangan yang memaksaku terperosok jatuh ke dalam jurang dendam yang dalam dan kekal.
Sadarkah kau, rasa cinta itu masih ku simpan rapi sebagai kenangan akan sosokmu yang mengerikan, sosok pria dengan racun kedustaan yang siap menumpas segala bentuk kebenaran dan menjadikannya rapuh tidak berpengaruh.
Aku belum menyerah, karena itu aku akan selalu mencintaimu, membuka lebar pintu kesempatan kedua dengan penyambutan hangat untuk memberimu kesempatan merasakan betapa indahnya rasa cinta yang ku miliki untukmu.


Tanjung Pinang, 04 Oktober 2015



Asal Mula Nama "TEH OBENG"

   


 Bagi Anda yang baru pertama ke Batam, atau mendapat cerita dari teman Anda yang pernah ke Batam. Mungkin Anda pernah mendengar nama Teh Obeng. Yang disebut minuman khas Batam. Walau sebenarnya tidak ada yang istimewa dari nama tersebut kecuali cerita di baliknya, berkaitan dengan nama tersebut.

    Nama Teh Obeng tidak ada kaitannya dengan alat kerja yang biasa disebut obeng dalam bahasa Indonesia, atau screw driver dalam bahasa Inggris. Jadi jangan pernah berfikir bahwa teh obeng adalah teh yang diseduh dan diaduk menggunakan obeng. Karena bila itu terjadi, sudah barang tentu tidak ada orang yang mau meminumnya, termasuk Anda tentunya.

   Setelah nanya sana sini, akhirnya ketemu juga jawaban yang memuaskan, konon kata teh obeng datang dari negara tetangga, Singapura. Mengingat pada awal perkembangan Batam, keterkaitan antara Batam dan Singapura sangat kentara. Bahkan sampai sekarang, sehingga transaksi dalam dunia bisnis di Batam lebih banyak dalam bentuk mata uang negara tetangga tersebut, yakni Dolar Singapura (SGD).

   Di Singapura, ketika orang meminum teh, umumnya dicampur susu, sehingga ketika orang pesan teh hangat, secara default, sudah termasuk susu. Begitu juga dengan minuman kopi. Adapun untuk kedua jenis minuman tersebut yang tidak menggunakan susu ditambahkan O setelah nama minuman tersebut. Sehingga untuk pesan teh tanpa susu pembeli akan memesan dengan nama Tea O (Teh O, dalam bahasa melayu) untuk teh hangat, dan Coffee O (Kopi O, dalam bahasa melayu) untuk memesan kopi hangat tanpa susu.

   Kemudian kenapa di Batam menjadi Teh Obeng. Dari mana kata “Beng”-nya? tambahan beng dari kata “bing” dalam bahasa Mandari atau bila diucapkan seperti kata “ping” dalam bahasa Indonesia, yang berarti es. Sehingga ketika seseorang di Singapura memesan es teh manis, mereka memesan Tea O Bing (Ti O Ping.Red) atau bisa juga dengan Teh O Ping.

    Lalu bagaimana keterkaitannya dengan Batam? karena istilah tersebut kan digunakan di Singapura, kenapa kemudian di Batam? Konon pada awal permulaan pembangunan Batam, alur keluar masuk masyarakat Indonesia dari Singapura ke Batam, dan sebaliknya sangat mudah. Bahkan konon menurut cerita mereka yang telah puluhan tahun tinggal di Batam, tidak diperlukan paspor. Dan pemilik modal sekaligus pengarah kegiatan usaha di Batam sebagian besar dari Singapura, termasuk industri makanan tentunya. Sehingga istilah Teh O Ping tadi masuk ke Batam. Namun karena tidak biasanya lidah masyarakat Indonesia yang datang dari daerah lain, menyebabkan mereka sudah mengucapkan kata Teh O Ping, dan lama kelamaan yang terucap adalah Teh Obeng. Dan istilah tersebut terus dipakai sampai sekarang.

   Jadi Anda tidak perlu khawatir akan meminum teh yang diaduk menggunakan obeng yang dipakai montir bengkel di sekitar warung makan atau kedai kopi tempat Anda berteduh. Karena Teh Obeng tidak ada hubungannya sama sekali dengan obeng yang dipakai di bengkel. Dan teh obeng yang Anda minum pada hakekatnya sama dengan Es Teh Manis yang Anda temukan di Jakarta atau daerah lainnya. Yang membedakan hanya tempat menyajikan dan mungkin teh yang dipakai.

   Sebenarnya Teh Obeng sendiri memang mempunyai beberapa ciri khas. Sayang, ciri khas tersebut belakangan telah terlupakan, seiring dengan masuknya orang baru yang mencoba berbisnis di Makanan namun tetep menjual nama Teh Obeng.

   Aslinya Teh Obeng memakai Teh yang asli berasal dari Batam, konon katanya aroma teh yang satu ini memang mantappp sekali, begitu kentall begitu pekat. Dan kedua, ciri teh obeng ini, es nya adalah es yang bolong tengahnya, bukan es kotak.

   Sekarang ini sebagian besar, orang-orang memakai teh celup Sari Wangi atau Sosro yang gampang dan praktis. 


Tanjung Pinang, 04 Oktober 2015

Wednesday, September 30, 2015

Ganool Diblokir (LAGI)

Lagi, dan lagi. Pemerintah kali ini melakukan tindakan serius dengan memblokir situs pindahan dari situs terlarang sebelumnya. kemarin Ganool.com atau yang sekarang dikenal dengan ganool.video menjadi salah satu korbannya.

“Pemerintah benar bro memblokir Ganool dan situs sejenis, seharusnya kita memang bisa menghargai hasil karya orang lain, tapi pembuat konten juga harus mengerti rakyat Indonesia kantongnya tidak setebal mereka untuk membeli konten secara legal. Mereka masih tetap saja tamak dengan menginginkan keuntungan sebesar-besarnya dari film-film mereka yang ternyata mungkin hanya 1% yang memang bermutu, dan lainnya hanya sampah.

Kemarin pemerintah memblokir situs-situs judi dan porno, hari ini mereka memblokir Ganool dan situs sejenis, besok mereka akan memblokir situs-situs agama dengan mengatakan mereka ekstrimis, besoknya lagi mereka akan memblokir tulisan rakyat di media online karena tidak sejalan dengan pemerintah, besok-besok-besoknya lagi bahkan mungkin Facebook rakyat akan dipantau oleh pemerintah dan memidanakan bagi siapa saja yang status atau komentarnya dianggap melanggar UU ITE.





Sebagai Movie Lovers, yang "Ber-Kantong Cepak",  sangat disayangkan aksi pemerintah tersebut...
kita tunggu saja, akankah ada situs baru dari Ganool lagi???
Will see.....!!!!

Monday, August 17, 2015

Menurut Kalian, Merdeka itu Apa Sih???






Salam merdeka..
Secara harfiah, kemerdekaan bermakna terbebasnya bangsa kita dari belenggu penjajah, sehingga memungkinkan kita bebas menentukan nasib kita sendiri, bebas menatap masa depan kita sendiri, namun sesungguhnya meski telah merdeka selama 70 tahun, Indonesia masih jauh dari cita-cita yang telah digariskan oleh pendiri bangsa.

Saya mencoba menanyakan arti Kemerdekaan ke beberapa teman (Duh ... lagaknya udah kaya wartawan aja deh). Jawabannya beragam, dari yg serius, biasa saja, lucu, bahkan ada yg acuh tidak menanggapinya.
Berikut beberapa jawaban dari mereka yg menurut saya menarik :

"Merdeka itu ketika pengen ngerokok dah ada rokok, pengen ngopi dah ada dimeja tinggal minum. pengen ini itu ga ribet" Hahaha... saya banget ini. :v

"Merdeka itu nyaman dalam bekerja"

"Kemerdekaan berarti sudah tidak ada lagi tekanan dari pihak manapun"

"Kemerdekaan itu merdeka dari penjajahan ekonomi, pendidikan dan ketergantungan akan hutang dari asing"

"Merdeka itu bebas"

"Merdeka itu sudah merasa aman"

"Kemerdekaan itu menang perang"

"Kemerdekaan adalah hak setiap individu"

"Merdeka itu bebas makan sepuasnya, tanpa takut gendut atau tanpa takut kolesterol naik dan makan enak di restoran mahal ada yg traktir"

"Kemerdekaan itu untuk mengenang jasa para pahlawan dan menghormatinya"

"Hmmm bisa ikut upacara 17an hehehe ."

"Binggung aku soalnya tidak dapat di muat dalam kata-kata"

"Itu berkat dan rahmat dari Yang Maha Kuasa"

"Nggak ada kemerdekaan gak rame"

"Mudah nyari duit"

"Merdeka itu gak kerja tapi dapet duit"

"Kemerdekaan identik dengan bebas, makmur, sejahtera dan membangun"

Menurut kalian, apa sih sebenarnya makna kemerdekaan itu?

MERDEKA Indonesiaku ...



Merdeka, yes! Katanya sudah merdeka, emang udah. 70 tahun, Bro!
Ibarat umur, kamu sudah tua, Sob. Sudah kakek-nenek mah kalau kemerdekaan diibaratkan sesuai usia. Wikwikwik.

Bangga? Ya Alhamdulillah. Harus bangga!
Gimana nggak bangga? Ini adalah karya jiwa dan raga para pejuang-pejuang kita terdahulu. Tidak saja pikiran ilmu namun darah pun mereka tumpahkan, Kita semua tahu akan hal ini. Kita pernah baca dan diceritakan, Iwan mah gitu, yang nggak ikut ya cuma perangnya, karena belum lahir kahkahkah.

Kebanyakan pemuda sebayaan saya ada yang bilang kita udah merdeka. Sebagian lain bilangnya kita belumlah merdeka. Sebagian sana ngucap merdeka itu hanyalah nama untuk sebuah jalan protokol kota, bahkan, ada juga beberapa yang bilang, sampai kapan kerinduanku akan cinta ini merdeka, aku jomblo, Wakwakwak ...! Dasar Jones, Plak!

Berkat Rahmat Allah Swt, dengan ini kami bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya ....
Dengan kemerdekaan, terbebaslah bangsa ini dari penjajahan, Kita hebat! Mampu lepaskan diri dari Portugis, Belanda dan Jepang.
Nggak terbayang kalau hari ini masih perang ama jepang, jika serial Naruto udah ter-download hingga 100 episode.
Nggak kuat rasanya kalo harus musuhan sama Kevin Strootman dan Christiano Ronaldo, jangankan mau bedilin mereka dengan senapan, lihat gaya rambut mereka saja, Aku pengennya ngikutin.

Sebuah anugerah yang sangat besar kemerdekaan ini. Sayangnya, Aku sering lupa diri. Masih suka buang sampah sembarangan, Padahal pemerintah negara ini dah bikin banyak tempat sampah. Coba saja kalau belum merdeka, mana bisa pemerintah yang bikin TPS dan TPA.

Dan lebih mirisnya, ada yang bilang. "Kita memang sudah merdeka dari penjajahan orang luar, tapi belumlah merdeka dari diri sendiri. Kita di jajah oleh diri kita sendiri." Bener juga sih, PLAKK ...

Merdeka! KITA SUDAH MERDEKA! Tahun-tahun kemarin sudah 65, trus sudah 66, sudah 67, 68, 69, kini 70 sudah dan ya sudahlah sudah. Kita Merdeka, Yiiyhaaa!

Namun, asli! Tanpa ditekan oleh siapa pun apalagi terpaksa, Aku berani bilang kalo diri ini sungguh adalah pejuang,
Jika dahulu kata papa pejuang pake bambu runcing, Aku pakai keyboard. Jadi nggak ada bunyi dar der dor atau dhuaaar! Tidak saja berjuang dalam kepenulisan(karena memang ini hobiku, MENULIS) aku bahkan ikut serta berusaha untuk mempertahankan like dan komentar dari para pembaca blog ini.Hehehe ...

Selamat Ulang Tahun Indonesia-ku.... Semoga kedepannya Negara ini menjadi negara yang berkembang, bukan hanya negara yang maju saja. Aman, Damai, dan Tentram. pokoknya kedepannya lebih baik saja deh... aamiin.

Juga buat keponakanku, Dyah Restu Mahardika. Selamat ulang tahun juga yang ke.... (Lupa lagi yang ke berapa, hahahah ... ) keren deh, ultahnya barengan ama R.I. semoga jadi anak yang sholehah, berbakti ama orang tuanya... aamiin. 




Cirebon, 17 Agustus 2015...

Thursday, August 6, 2015

Two Writers, One love Story





Ceritanya lagi nggak ada kerjaan nih , lalu iseng-iseng buka email. scrol ke bawah. Lalu nemu email dari teman yang isinya sebuah cerpen yang waktu itu di lombakan di salah satu penebit. Syarat lomba ini harus ditulis oleh dua orang, cewek-cowok. Lomba ini diberi hastag #CerpenDuetUNSA
Dan kalau baca lagi cerpen ini, suka pengen ketawa sendiri. ternyata begini banget ya tulisanku dulu??? Plot dan Alur ceritanya masih acak-acakan.
Tapi bagaimanapun, itu tetap hasil karya ku. Eh,,,,hasil karya kami berdua. Temen duetku dari Palembang.
Begini isi cerpennya...

 Rama
Panas begitu menyengat kulit siang itu di kota Ciamis, Jawa Barat, tatkala sang surya tepat berada di atas kepala, ketika para siswa SMU Pelita berhamburan keluar halaman sekolah. Tidak biasanya pada jam segitu murid-murid sudah pulang.
Dikarenakan rapat guru, hari ini kami mendapat bonus pulang lebih awal. Semua teman di kelas nampak senang, tapi tidak bagiku, aku malah merasa bosan ketika mendapati diriku sendirian di kamar begitu tiba di rumah yang letaknya tidak begitu jauh dari tempatku belajar.
Dengan langkah gontai aku berjalan menuju meja di samping tempat tidurku, duduk, lalu menyalakan komputer yang biasanya kugunakan untuk mengerjakan tugas-tugas sekolah. Setelah menunggu beberapa saat, terlihat logo klub sepak bola favoritku, AS Roma, di layar desktop.
Jemariku mulai menari di atas keyboard, mengetikkan alamat salah satu jejaring sosial yang saat ini sedang digemari kawula muda, twitter. Bola mataku bergerak ke kiri dan kanan membaca kicauan-kicauan akun yang kuikuti, lalu turun memperhatikan isi timeline berbanding lurus dengan gerakan tanganku yang lincah mengendalikan mouse.
Seketika bola mataku berhenti saat membaca sebuah tweet dari penerbit Bintang Press yang memakai hashtag #LombaCerpenDuet, langsung saja kuklik tautan di dalamnya.
“Wuihh, keren nih, sebagai batu loncatan untuk jadi penulis!Mendadak rasa bosanku jadi hilang entah ke mana, semangatku muncul lagi. Memang sudah lama aku ingin jadi penulis, tapi belum kesampaian.
Aku mendadak galau setelah membaca peraturan lomba itu. “Gila! Kok duetnya mesti sama cewek sih?!” teriakku. Siapa yang bisa dijadikan partner untuk mengikuti lomba itu? Pacar aku nggak punya, teman cewek yang hobi nulis juga nggak ada!
            Akhirnya, aku memutuskan untuk melanjutkan draft tulisanku yang sudah menumpuk. Sampai waktu menunjukan jam satu lewat lima belas menit dini hari  ketika aku melirik jam yang menggantung di dinding kamarku, mataku belum mau terpejam.

***
“Sialan!” gerutuku saat begitu tiba di kelas. Kulempar tasku dengan kesal ke atas meja.
“Kenapa?” tanya Nata yang kemudian menghampiri, teman sebangkuku.
“Aku ngantuk banget nih, semalem nggak tidur,” jawabku sambil menguap, entah ini yang ke berapa kali.
Nata menatapku sambil mengerutkan kening.“Nggak tidur? Memangnya kenapa?” tanyanya.
            Pertanyaan Nata barusan membuyarkan pikiranku. Setelah tiga helaan napas, aku baru menjawab, aku mau ikut lomba nulis cerpen nih..” kataku lirih.
            Segitunya sampe nggak tidur semaleman? Bukannya kamu udah suka nulis dari dulu, praktis nggak ada kesulitan dong?”
“Nulis sih gampang, tapi syaratnya harus berdua, duet sama cewek,” kataku sambil mengerutkan kening. “Bingung nih, mau duet sama siapa..”
Nata tak menjawab, hanya mengangguk-anggukan kepalanya. Aku pun langsung mengeluarkan smartphone dari saku, lalu mulai berselancar di timeline.
“Nah, akhirnya ketemu juga yang lagi nyari partner!” teriakku girang begitu melihat kicauan-kicauan yang di-retweet oleh akun penerbit Bintang Press banyak yang memakai hashtag #CariPartnerCowok.

***
Aika
“Begancang woiiiii!”[1]
Nando, kakakku yang satu sekolah denganku berteriak tepat di telingaku sambil menarik tas ranselnya yang sedari tadi tergeletak manis di samping kepalaku yang kutidurkan di meja. Seperti biasa, kami pulang ke rumah berbarengan naik motor. Kali ini dia harus menungguiku selesai makan tekwan[2] di kantin.
Sambil mengunyah, jemariku mengotak-atik smartphone kesayanganku yang  berbalut gambar shaun the sheep, tokoh kartun kesukaanku. Kutelusuri timeline dengan sabar, hashtag #CariPartnerCowok dan #CariPartnerCewek masih ramai dibahas oleh akun penerbit Bintang Press bersama followers-nya.
Lama menunggu, akhirnya terdengar dentingan kecil, langsung kuklik tombol mention. Aku terlonjak kaget, seketika berdiri dari bangku, tak sadar menyenggol gelas yang langsung terbalik berputar-putar karena gerakan tanganku yang begitu cepat.
“PRAAANNGG…!!!” Gelasku jatuh meloncat dari meja, membelah tiga bagian besar dan beberapa bagian kecil yang langsung berhamburan tak jelas arah begitu menghantam lantai.
“YEEE..DAPET PARTNER COWOK..!!!” pekikku penuh semangat sambil mulai meloncat-loncat kegirangan. Langsung kuraih bahu Nando yang mulai menatapku kebingungan, kutepuk-tepuk punggungnya dengan keras.
“Astaga, malu-maluke bae[3] dio ini!” Terdengar Nando mendesis, yang langsung membuatku menarik lagi kedua tanganku dari tubuhnya.
Kulirik ke sana-sini, seluruh mata siswa-siswi berseragam putih-abu serta seluruh penghuni kantin lainnya sedang mendelik heran ke arahku. Bodo amat, yang penting aku gembira karena sudah berhasil dapat partner cowok. I’m ready for writing a good story!
“Woi, jangan balek[4] dulu, ganti dulu gelas yang pecah!”

***

Mataku hampir terpejam, tapi buru-buru aku menarik kelopaknya ke atas untuk mencegahnya. Sambil tetap terbungkuk di kasur yang terbungkus sprei polkadot hitam-putih, kulayangkan pandanganku yang mulai kabur ke arah dinding bercat hijau muda di seberang.
Aku mengerjap beberapa kali lalu menatap jelas angka-angka di jam dinding yang berbentuk matahari. Jarum pendeknya menunjuk angka tiga dan jarum panjangnya tepat menunjuk angka dua belas. Wah, sudah hampir satu jam aku menunggu telepon dari partner lomba menulisku itu.
Akhirnya, aku mengikuti lelah yang sudah terkumpul di pelupuk mataku. Kupejamkan erat kedua kelopaknya perlahan sambil mendesah malas. Gelap, hanya terdengar suara dentingan lonceng angin yang kugantung di dekat jendela dan gerakan jarum jam.
Selang beberapa menit, suara Rihanna menyanyikan bagian reff lagunya yang berjudul Love The Way You Lie mengalun dan memaksaku untuk membuka mata. Tanganku refleks meraih smartphone di bawah selimut dan membawanya ke telinga kananku.
“Met sore, ini Rama. Sori baru bisa telpon sekarang..” Terdengar suara cowok dari seberang sana, nampak cemas. Lantas bibirku bergerak melengkungkan senyum.

***

Rama
Kesibukan mulai mengisi hari-hariku, tidak ada lagi tidur siang atau kumpul-kumpul dengan teman setelah pulang sekolah. Kini waktuku dihabiskan di depan layar komputer, kadang sampai tengah malam, semua itu demi memenuhi deadline lomba cerpen yang hanya dua minggu.
Beruntung sekali lomba ini dikerjakan berdua dengan partner cewekku,  jadi terasa lebih mudah. Setiap hari kami bertukar ide, berdiskusi, merombak dan mengedit naskah kami bersama meski dari jarak jauh.
Awalnya memang sulit menulis satu cerita dengan dua pemikiran yang berbeda, butuh kekompakan di antara kita. Terkadang, lama aku terdiam memandangi lembar kerja MS. Word yang masih putih bersih di layar, bingung mau melanjutkan naskah yang dikirim Aika via email .

***
“YEAAH… akhirnya selesai juga ini naskah!” pekikku kegirangan setelah jari-jariku selesai mengetikkan ending cerpen. Kuklik icon send pada lembar email. Kemudian, kuraih ponsel yang terguling manis sejak tadi di ujung meja, hendak menghubungi Aika.
“Halo, naskahnya udah kukirim ya!” ucapku semangat setelah terdengar suara Aika dari seberang.
“Oke, nanti aku cek ya!” sahut Aika tak kalah semangat, pasti dia sedang tersenyum di sana. “Gak terasa udah kelar aja nih naskah kita, yakin menang gak?”
Aku tertawa mendengar pertanyaannya itu. “Yakin aja deh, kalau kita menang, aku bakal dateng ke Jogja langsung buat ambil hadiahnya! Ini nadzar lho!”
“Hah? Serius?!” Aika nampak tak percaya. “Oke, kalau kita menang aku bakal ke Jogja juga, biar kita ketemu dan ambil hadiahnya langsung!”
Mendengar tantangan darinya, aku senyum-senyum sendiri. “Oke, ini nadzar yang mesti kita penuhi!” Sedetik kemudian, kami tertawa bersama.

***

“Menunggu adalah pekerjaan yang membosankan”
Benar juga perkataan orang-orang, kini aku dan partner cewekku sedang menunggu hasil seleksi lomba cerpen yang kami ikuti. Dan benar-benar membosankan, satu bulan rasanya seperti satu tahun.
Nada notification di smartphone-ku berbunyi saat aku baru saja mau memasukan sendok yang berisi bakso ke mulutku.
“Ahhh, ganggu orang makan aja. Siapa sih?” gumamku seraya meraih ponsel dan menatap layarnya, ada satu mention. Keningku berkerut saat membaca isi mention tersebut.
“@aika_ku: woi @rama99 cek fanpage dan timeline penerbit Bintang Press sekarang,  pengumuman lombanya udah nongol aja tuh!” begitu kicauan Aika melalui akunnya, tiga detik yang lalu.
Terdiam sebentar, lantas kuklik tombol back, rasa penasaran langsung menggerogoti pikiranku. Bukannya pengumuman masih tiga hari lagi? Jemariku lincah menggeser kursor, mataku bergerak menyusuri timeline. Langsung kuklik tautan yang ada pada tweet penerbit Bintang Press.
Tibalah aku pada lembar pengumuman pemenang lomba cerpen yang menjadi alasan kegalauanku satu bulan ini. Mataku bergerak seiring dengan degupan jantungku. Akhirnya, kutemukan namaku dan Aika di sana!
“YEEE..AKU MENAAANG!!!” Spontan aku berteriak, tak peduli keadaan kantin yang saat itu sangat ramai. Beberapa pasang mata menatapku penuh tanda tanya.
Jari-jariku kini menari di atas keypad, sibuk membalas mention-mention yang berdatangan. Mendadak penghuni dunia maya semuanya seolah sudah kenal denganku saja, banyak yang mengucapkan selamat padaku dan Aika.
Lama aku tertegun di depan layar smartphone-ku sambil senyum-senyum sendiri, sedetik kemudian aku teringat sesuatu! Langsung saja kucari nomor Aika di contact list, lalu berlarian menuju meja kasir, meletakkan uang lima belas ribu rupiah kemudian bergegas keluar dari tempat itu.
“Halo, Ka. Gimana kabarnya mau ke Jogja?!” tanyaku tercekat.
“Hmm..gimana ya?” Aika menyahut dari seberang, nampak ragu. “Aku gak diizinin ortuku sih, waktu aku ceritain nadzar kita, kata mereka biar hadiahnya dikirim aja..”
Aku langsung lemas mendengar jawabannya itu, teringat orang tuaku juga. Pemikiran orang tua kami ternyata sama.
Tak ada kata yang terucap dari kami berdua selama beberapa detik. “Gimana kalau kita perginya diam-diam?” tanyaku kemudian.
“Diam-diam..?”

***

Sabtu pagi aku langsung menuju terminal dengan seragam sekolah yang kututupi dengan jaket hitamku. Dengan bermodalkan uang tabungan dan pinjaman dari beberapa teman, aku memantapkan diri untuk berangkat ke Jogja. Orang tuaku tidak curiga sama sekali waktu kubilang kalau malam ini aku menginap di rumah Nata. Karena besok hari Minggu, mereka pun memberi izin.
Lamanya menunggu keberangkatan menuju Jogja yang masih tiga jam lagi membuatku bosan hanya duduk di antara banyak bus. Lantas aku teringat Aika, sekarang dia pasti sedang berada di sekolah, karena dia berangkat jam satu nanti dengan pesawat.
Kuangkat smartphone-ku ke telinga, baru saja terdengar nada sambung, ada nada lain yang membuatku cemas.
“BLUP..BLUP..BLUP..!”
“Sial, lowbatt!!” pekikku agak tertahan, membuat penumpang lain yang juga sedang menunggu di sebelahku langsung melirik.
Tidak lama kemudian hal yang aku takutkan terjadi, layar ponselku berubah gelap, mati.

***

Aika
Jogja! Ya, akhirnya rengekanku mengenai nadzar itu tidak dipercaya sama sekali oleh orang tuaku, hanya dikira alasanku untuk jalan-jalan. Untungnya, namaku yang keluar ketika kumpul arisan. Giliranku setelah sekian lama menunggu akhirnya datang juga dan menerbangkanku ke Jogja.
Kulirik jam di tangan, sudah satu jam berlalu dari waktuku tiba di bandara Adi Sutjipto tadi. Kini aku menumpang taksi menuju tempat kami sepakat untuk bertemu, kantor penerbit Bintang Press.
Yang membuatku sebal adalah kabar dari Rama yang tak kunjung datang, terakhir hanya missed call yang kuterima jam tujuh pagi tadi. Sebelum berangkat ke bandara SMB II, aku sudah mencoba menghubunginya, di Soekarno-Hatta pun aku coba lagi, sampai sekarang nomornya masih belum aktif. SMS juga belum ada yang delivered.
Masih sibuk mengotak-atik keypad smartphone di tangan, supir yang membawaku akhirnya menegur. “Kantornya yang ini, Neng?” tanyanya sambil menoleh ke arahku, buru-buru aku melirik ke luar jendela. Kubuka mataku lebar-lebar, kubaca tulisan warna merah di depan gedung bercat kuning itu, ‘Penerbit Bintang Press’.
“Bener, Pak, makasih banyak!” pekikku girang.
Setelah turun dari taksi, kakiku langsung bergerak semangat untuk menyeberang jalan yang agak sepi. Wajar saja karena sekarang waktunya maghrib, hanya beberapa kendaraan yang lewat. Tepat di depan gerbang hitam kantor itu aku berdiri, terpaku, kemudian mataku melihat ke sana-sini. “Yah..kantornyo lah tutup, mano katek wong pulok..” [5]decisku pelan.
Sedetik kemudian, perutku mulai berteriak. Muncul pikiran untuk mencari pengganjal laparku dulu sampai sosok pemuda berkacamata dan berambut ikal itu, Rama, datang menghampiri. Aku berbalik menghadap ke jalan, untungnya di seberang sana ada warung-warung kecil, beberapa gerobak dengan terpal dan bangku panjang, setahuku itu yang disebut angkringan.
Bergegas aku menuju angkringan-angkringan tersebut, memilih yang masih ada bangku kosongnya lalu duduk. Kulirik sana-sini, bapak-bapak semua yang sedang asyik nongkrong, hanya ada beberapa anak muda di sini.
Mataku bergerak turun memperhatikan gorengan, sate-sate, keripik, dan sesuatu yang dibungkus di depan mataku. “Nggak jual nasi ya, Bu?” tanyaku.
“Orang baru ya?” tanya si Ibu, empunya angkringan, sambil tersenyum.
Aku terbengong sebentar, lalu memperhatikan penampilanku sendiri. Dari mana ibu ini bisa tahu kalau aku ini orang datangan? Padahal yang kubawa hanya satu tas ransel di punggungku.
“Iya, saya baru nyampe nih, dari Palembang, Bu..” kataku akhirnya sambil melengkungkan senyum, sementara jemariku sibuk mengetikkan SMS untuk Rama, lalu lanjut membuka twitter dan mention ke akunnya.

***

Rama
Secangkir Kopi Joss [6]yang hampir dingin baru saja kuhirup seteguk ketika sosok cewek berbaju putih berbalut jaket hoodie warna cokelat muda itu berjalan dari seberang mendekati bangku tempatku duduk.
Gerakan matanya nampak bingung, lalu ia memutuskan untuk ke angkringan sebelah yang masih punya satu bangku panjang kosong, nampaknya ia takut dengan bapak-bapak berwajah seram di sana-sini. Kuperhatikan ia cukup lama sampai akhirnya dia mengobrol bersama si pemilik angkringan.
“Jauh-jauh dari Palembang ke sini sendirian aja?” tanya si Ibu pada cewek berambut panjang itu sambil menyerahkan sebungkus sego kucing[7].
“Iya sih, tapi nanti di sini berdua kok, ada temen dari Ciamis,” jawab cewek itu sambil kembali melengkungkan senyumnya yang sangat manis.
Masih tak lepas mataku memandang wajah imutnya. Pikiranku berkecamuk sebentar, merasa kenal dengan suara dan wajah itu, dan aku pun mengerti maksud penggalan obrolan mereka.
Tanpa banyak pikir lagi, aku langsung beranjak dari bangkuku, kutinggalkan saja tas eiger hitamku di sana.
“Aika..?!” Aku berdiri tepat di samping kanannya.
Ia menoleh memperhatikanku. Hening, hanya suara degupan jantungku yang terdengar. Jujur saja, aku yakin sekali dialah yang jadi alasanku ke Jogja. Lama ia menatapku lekat-lekat, tiba-tiba ia tertawa renyah, memunculkan kekalutanku. “Rama? Kelaperan juga kamu rupanya?!” cetusnya.
Ah, sialan. Aku terhenyak, bingung, lantas hanya tawa yang bisa keluar dari mulutku. Akhirnya aku bertemu juga dengannya, ada rasa puas luar biasa bisa menatap wajahnya sedekat ini.
“Sori ya, tadi lama nunggu di Soetta. Trus gimana nih, kan kantornya udah tutup?” Celoteh Aika sambil lanjut membuka bungkus nasinya.
Aku pun duduk di sampingnya, meletakkan cangkir kopi yang ternyata terus kupegang dari tadi. “Ya udah, kita tunggu sampe buka,” jawabku.
“Yang jadi masalah itu, kita lupa diskusiin tempat nginep kita di mana. Kamu juga dihubungin gak bisa terus sih!” gerutu Aika yang langsung membuatku tertawa gemas.
“Kalau gak ada tempat nginep ya numpang di rumah ibu aja kalau mau, gratis kok!” si Ibu angkringan rupanya menguping pembicaraan kami sejak tadi.
“Iya, bisa jadi!” teriak kami kompak, haha ini yang biasa diucapkan Aika sewaktu kami mendiskusikan naskah lewat telepon.

***

Aika
Akhirnya! Semua hadiah sudah di tangan, dengan riang kami berjalan ke luar kantor penerbit Bintang Press. Sekarang waktunya kami pulang. Karena Rama berangkat nanti siang, dia pun menyempatkan diri untuk mengantarku ke bandara.
Setelah berpamitan dengan ibu pemilik angkringan, kami bergegas ke bandara menumpang taksi. Begitu tiba di sana, sembari menunggu waktu berangkat yang masih sisa satu jam lagi, kami ngobrol-ngobrol sejenak.
“Eh, trus gimana selanjutnya? Setelah nadzar kita terbayarkan, apa hubungan kita sebagai partner selesai juga sampe sini?” tanya Rama tiba-tiba.
“Hmm, kalo mau lanjut bikin novel duet, boleh tuh!” cetusku sambil membulatkan mata menatap cowok berkacamata itu.
Rama malah mengangguk sambil tersenyum ambigu. “Itu boleh? Tapi kalau aku mau yang lebih dari itu gimana, pacaran misalnya? Boleh?”
“HAH?!” refleks mulutku mengangap, buru-buru kugerakkan kedua tanganku untuk menutupnya. Rama malah asyik menertawaiku. “Jangan gitu becandanya!” cetusku.
“Lho? Itu serius kok!”
Aku terdiam sejenak, lantas suatu ide muncul di benakku. “Kalo gitu jawabannya nanti aku kirim via email deh!” seruku sambil tersenyum nakal.

SELESAI

Tentang Penulis
            SeptyDelyana lahir di Palembang pada tanggal 13 September 1992. Gadis yang akrab disapa Deli ini sedang belajar di FKIP B.Inggris Universitas Tridinanti Palembang. Hobinya menulis dimulai sejak ia duduk di bangku SMP. Untuk lebih mengenal Deli, bisa melalui twitter @septydelyana
            Iwan Dwi Suprianto lahir pada tanggal 28 Maret 1990 di Sukoharjo. Pemuda yang merupakan alumni SMK plus YSB Suryalaya ini gemar menulis di sela-sela aktifitasnya. Untuk lebih mengenal Iwan, bisa melalui twitter @iwantotti_10


Dan ternyata cerpen ini udah pernah di tulis sama partner duetku di blognya. Dengan judul yang sama. "Two Writers, One Love Story"