• This is Slide 1 Title

    This is slide 1 description. Go to Edit HTML and replace these sentences with your own words. This is a Blogger template by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com...

  • This is Slide 2 Title

    This is slide 2 description. Go to Edit HTML and replace these sentences with your own words. This is a Blogger template by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com...

  • This is Slide 3 Title

    This is slide 3 description. Go to Edit HTML and replace these sentences with your own words. This is a Blogger template by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com...

Thursday, February 27, 2014

Penegak Laksana (Formalitas)

Sebelumnya saya pribadi sebagai penulis minta maaf, andai saja judul dan cerita ini kurang berkenan di hati pembaca. Jujur, saya menulis ini hanya sebagai dokumentasi semata, tanpa ada unsur menyinggung siapa pun.

...............Sang waktu tak akan penah berhenti untuk berputar, dari perputaran sang waktu itu pula lah, akan terciptanya suatu kenangan, entah itu kenangan suka, duka, bahkan tak jarang bisa meitikan air mata.
Menulislah!!! menulislah!!! Tuliskan sebuah kenangan itu, rekam kembali setiap kejadian yang pernah kita alami dengan sebuah coretan hitam di atas putih. Karena dengan berputarnya sang waktu lambat laun kita akan menua dan bisa membuat kita lupa akan kenangan itu.

Aku lupa tanggal berapa waktu itu, namun sedikit yang ku ingat. Saat itu adalah hari Sabtu.
Di sebuah sekolah di wilayah pinggiran Tasikmalaya (Pinggiran sungai Citanduy). ya di SMK PLUS YSB Suryalaya tepatnya. berkumpul beberapa siswa berjumlah sepuluh orang. Saya, Rusli Haruna, Agus, Asep Fajar, Dadan, Azis Firdaus, Ruslan khodir, Omik, Hendra, Momon. Bersiap untuk melakukan perjalanan ke Pamijahan dalam rangka "Perjalanan Penegak Laksana".

Ada kesan haru ketika kami melangkahkan kaki meninggalkan gedung sekolah, ada tatapan sedih dari beberapa siswa yang lainnya. oh co cuiitt...
Perjalanan pun di mulai, dengan bendera Pramuka yang di ikatkan pada sebatang bambu kami genggam. Kami melangkah dengan mantap. biar terlihat gagah di mata siswa lainnya.

Setiap kami melintasi layanan publik, kami berhenti, yang pertama di "Koramil" Panumbangan. di sana kami meminta anda tangan. sebagai bukti.
Kami selalu bersorak menyanyikan  lagu yang sekiranya dapat membangkitkan semangat kami di sepanjang perjalanan.
dokumen pribadi
 Foto di atas adalah foto saat kami beristirahat pertama. (Maaf fotonya kecil dan kurang jelas). foto itu di ambil di sebuah jembatan Di daerah Bojong, Indihiang (kalau nggak salah)  kadang terharu bila melihat foto-foto jaman jadul.

Dokumen Pribadi
 foto ini di ambil saat kami berpose di Polres Tasikmalaya.. keren kan??? hehee



Dokumen Pribadi


  Kalau foto di atas saya agak lupa itu di ambil dimana, nggak jadi masalah yang penting tetep OK gayannya.

Dokumen Pribadi

Nah... kalau yang ini saat saya, Agus, dan momon sedang kelelahan. teman-teman yang lain sedang masuk kedalam meminta tanda tangan sebagai bukti, kam malah lesehan di halaman depan.

Perjalanan pun beralnjut, kami tidur di masjid yang kami singgahi ketika waktu sudah larut. Dan ketika ba'da 
subuh baru di lanjutkan perjalanan kami, begitu seterusnya.



Dokumen Pribadi
 Ini dia foto saat kami tiba di Pamijahan. Foto ini di ambil sesaat setelah kami ziarah di makam "Syekh Abdul Muhyi" sayang sekali aku tidak nampak di foto ini, padahal pengen narsis juga, eh malah di suruh jadi tukang fotonya. Takut kebakar mungkin kalau aku ikutan narsis

Dokumen Pribadi
Dan ini saat kami berada di depan Goa Safarwadi, lagi-lagi aku nggak ada di foto ini. :(
menurut mitos di dalam Goa ini ada sebuah lorong yang bisa menuju ke Mekkah, bila ada oran yang masuk ke lorong itu bisa sampai ke Mekkah. juga ada beberapa lubang di langit-langit goa. lubang itu sebesar kepala. dan bila lubang itu pas dengan kepala kita. konon keinginan kita bisa terkabulkan. Wallahu a’lam.
Sayangnya kami idak di perbolehkan membawa kamera ke dalam Goa. Jaman dulu masih pakai kodak, bukan hape seperti sekarang ya... 

 
Dokmen Pribadi

Foto ini di ambil saat tiba di desa Cibeureum, Tanjungmulya. saat perjalan pulang menuju SMK PLUS YSB Suryalaya. liat saja mukanya udah kuyu kelelahan gitu!
Ada kejadian tak terlupakan saat perjalanan pulang kami. sempat ada perselisihan antara Asep Fajar dan Rusli Haruna di karenakan.. ******(Sensor) Rahasia kita ini mah. untung ada saudara Dadan yang melerai mereka. secara tubunya kan gede-gede. kami yang kecil juga takut.





Horeeee,,, akhirnya aku numpang eksis di foto ini, ya meskipun kucel dan lemes, tapi tetep ganteng kok. hehehee. Harap maklum. Tiga hari Tiga malam kami melakukan perjalanan ini. Lihat aja tuh di bagian bawahnya. udah kaya kain pel ya? di belakang saya ada kak Dadan yang gagah, juga Kak Hendra yang narsis. hehehe
Bahkan kami sempat menyimpan bambu itu sebagai kenang-kenangan. Kami memajangnya di basechamp IP4R_777.
Buat yang penasaran sama kisah IP4R_777, bisa baca di IP4R 777 [Sweet Memory].

Ya meskipun pada akhirnya sampai saat ini kami belum di lantik, padahal sekarang kami udah lulus. Dan para personilnya pun dah pada misah. Kami nggak tahu pastinya kenapa saat itu kami nggak juga di lantik oleh kakak pembina Muhaeminul Azis Padahal semua syarat sudah kami penuhi. Tapi nggak apa. nggak ada yang harus di sesalkan. Toh kami juga menikmati kok perjalanan itu.

Sekian kisah perjalanan kami. kisah yang tak mungkin kami lupakan. Sweet Memory
*Maaf jika foto-fotonya kurang jelas. Ya harap maklum ini foto sudah lama.
:')   :')   :')   :')

Cerita di Balik Senja

Tepat waktu. Sesampainya, aku langsung menaiki anak tangga yang terpaku di pohon besar, di hadapanku. Segesit mungkin aku mencari posisi ternyaman untukku duduk.

Hanya tinggal seperempat jam lagi, matahari akan turun ke habitatnya. Meng-usaikan pekerjaannya hari ini.
Sedikit-sedikit gundukan awan di langit
sana memerah, menanarkan warna
lembayung senja. Bola mataku merekam
kejadian indah itu. Di saat warna merah
memudar menjadi jingga. Kukeluarkan
sebuah voice recorder.

"Aku mencintai senja, aku mencintaimu. Tak kan ada yang bisa menalarkan untaian kata indah tentangmu. Yang aku tahu, senja itu kamu."
Aku mendengarkan setiap ucapan yang terdengar dari benda mati itu

"Aku juga mencintaimu. Sekarang aku melihat senyummu di lembayung senja itu. Kau pasti bahagia telah bersatu dengan senja itu." Ucapku berbisik, berbicara pada diriku sendiri

Mungkin hanya voice recorder itu yang menjadi pendengar bisu dari curahan hatiku yang ku semburkan.

Aku mendengar percakapan dalam voice
recorder itu. Pilu ketika mendengarnya, air mataku menitik jatuh tanpa diminta.

"Aku nggak mau melepaskanmu, seberapa pun ketidak-sempurnaan aku."
Terdengar lagi suara Riko dari voice recorder

"Jangan bicaea soal itu! Kamu selamanya sempurna. Disini, di hatiku."

"Kamu tahu tidak?  Bibir ini terlalu mudah berbicara. Pernyataan bibir itu tak pernah sesuai dengan kenyataan. Tapi untuk perkataanmu. Aku percaya, dan aku harap kamu jujur.

"Love you..." kataku menyambar.

Mendengar semua percakapan tadi, hatiku tak mampu membendung nestapa.

Dua bulan Riko pergi dari bumi ini, kaki-kakinya tak lagi berpijak pada bumi. Riko membawa album kenangan yang tak mungkin kembali.

Senyap. Setiap matahari tenggelam, aku selalu hadir di tempat ini. Di
rumah pohon milik Riko. Perlakuanku yang seperti ini terus menerus terjadi, setiap hari. Hanya untuk menepati janjiku pada Riko, untuk selalu menjaga ‘si kecil’ kami. Senja.

Matahari yang warnanya memias, itulah
sosok yang dikagumi Riko. Aku pun tertarik pada hal yang sama dengannya.
Butir air mataku terbingkai di sudut mata.

Riko, satu-satunya alasanku atas lamunan yang setiap detik aku lakukan. Aku selalu melamunkan kehadirannya. Dia membawa kabur kebahagiaanku. Meninggalkan sekotak besar rindu. Aku masih tak tahu sampai kapan akan berhenti menunggu, padahal sebenarnya ia tak akan pernah kembali. Aku
masih belum bosan duduk di rumah pohon
ini, sembari memandangi semburat indah
lembayung senja.

“Ariiin!” teriak seseorang memanggil
namaku. Aku menoleh.
“Rio? Kenapa bisa disini?”
“Ikatan batin, mungkin?”
“Haha… Ayoo, pulaaang”

Aku turun dari rumah pohon segesit
mungkin. Sampai di anak tangga terakhir, aku melompat lalu menyambar lengan Rio.
Aku menenggelamkan mukaku di bahunya.
Rio merangkulkan tangannya di pundakku. Kami saling berangkulan. Kami berpelukan.

Aku merasa berdosa karena sudah
memagarinya dengan kebohongan yang aku buat, sekian lama ini. Tapi mencintai Riko di belakang Rio bukan sebuah kesalahan selama 6 bulan ke belakang, bagiku.

Aku bahagia, ahhh sudah, aku saja benar-benar tidak tahu mendeskripsikan rasa cintaku pada Riko, yang tercipta di balik hubunganku dengan Rio. Riko sudah pergi duluan sebelum sempat membongkar semuanya, seperti yang akan kami wujudkan, tapi gagal.

Biarlah keadaan ini jadi kenangan yang menyelimutiku. Wajah sore memias tertutupi gelap malam yang tak sabar datang. Aku menyeka air mata yang menyeruak keluar. Lembap membasahi jaket Rio yang terkena air mata.
Lembap, karena wajahku terbenam dalam
dada bidang Rio. Dia tak banyak bicara,
apa lagi tanya, dia hanya diam dan membiarkanku merasa puas tenggelam
dipelukannya.

Aku mencintaimu. Rio... Riko.

Monday, February 24, 2014

Sang Pramuniaga

Aku memang si pelayan...

Hakku sudah ditiadakan. Hanya para
majikan yang mau sukarela memberiku hak. Tak apa, aku sudah biasa. Kebutuhanku tak ada nilainya.

Mengucap untuk meminta sajapun aku tak sanggup pilihkan kata-katanya. Jangan dimanja, aku harus ditempa.
Setiap hari, agar aku tetap dalam
jalur yang benar. Agar aku tak
membangkang dan tidak mengacuhkan perintah para majikan.

Kembali lagi aku merasa
sendirian. Ternyata memang
harus begitu. Kebutuhan para majikan yang nomor satu, tak boleh ada yang ganggu.

Aku yang selalu salah, karenanya aku harus terus belajar untuk mengerti.
Bahkan cobaan itu tidak ada, hanya hukuman atas kelalaian dan kebodohan.

Dan aku ikhlas menerimanya jika dengan itu aku bisa diterima.

Sunday, February 23, 2014

Malam tak Selamanya Kelam

Kepakan sayap burung gereja mulai
mengarah ke sarangnya. Matahari
menutupkan diri ke ufuk timur. Ada
segerombolan bebek peliharaan yang
berbaris rapi memburu istananya.

Rombongan anak laki-laki berseragam
kaos tak berlengan, berlenggang jalan,
berlarian kecil, bergurauan, dengan peluh
keringat basah di sekujur lekuk tubuhnya.
Tak bedanya dengan para ibu yang mulai
meneriaki anak-anak gadisnya untuk
segera pulang dari bermain tali.

Apalah istimewanya saat malam
menjelang tanpa cerita kopi panas untuk
berteduh, melepas dahaga?

Bapak-bapak pulang dari kubangan dunia kerjanya. Membawa peluh keringat dan jidat berkerat. Yang diberikan ibu hanyalah secangkir kopi panas dan senyuman yang terasa memaniskan pahitnya kopi.

Istimewanya mereka menyambut malam, menyambut waktu panjang untuk
bermimpi.

Sebagian penghuni dunia menikmati
malam dengan santai dan terlelap pulas.
Beberapa menghabiskan malam dengan
sorak gembira pada langit bintang yang
gemerlap. Namun kehidupan lain nampak
lebih hidup saat malam menyapa. Tak
mudahnya melewati malam dengan santai
dan bersorak gembira.

Mereka menyambut malam dengan peluh keringat, mengharapkan kehidupan mendatang akan lebih terang.

Malam yang dilakukan istimewa, akan
diberikan keistimewaannya oleh Sang
Pencipta.
Malam yang berlipat kebaikan. Yang penuh dengan lantunan pujian suci
pada Sang pencipta.
Malam menjadi misteri...
Malam menjadi pertanda akan mulainya kehidupan esok hari.

Tak hanya hembusan yang diharapkan kebanyakan orang, namun limpahan hingga yang berlapis yang selalu didamba.
Ceritanya hidup tetap akan berkisah meski malam menyapa. Menerka hidup selanjutnya. Menemani sajak-sajak pencari rejeki.

Malam yang temaram tak selamanya menjadi kelam...

Saturday, February 22, 2014

Aku, Kamu, dan Akustik


Barithon Cafe'
Bila tak cinta tak menyatukan kita
Bila kita tak mungkin bersama
Ijikan aku tetap menyayangimu...
Jreeeng.....

Dawai sang akustik mendengung merdu bersanding dengan lagu "Ijinkan Aku Menyayangimu" yang di populerkan oleh sang legendaris Iwan Fals.
Itu adalah petikan terakhir dari gitar akustik yang kumainkan pada parade musik solo malam di Barithon Cafe.

Akhir dari lagu sendu yang seolah
mewakili suasana hatiku pada
beberapa minggu ini.
Desiran ombak hati yang beraroma usang kini menjadi selimut tetap dalam putaran waktu yang menyelingi irama nadi.
Cinta tak lagi berpihak dan akustik adalah sebuah pelipur yang terpilih guna menyembunyikan luka yang menggandengku erat.
Terhitung satu bulan lagi. Ya... Satu bulan lagi akan menjadi hari tergelap dalam hidupku yang teramat kucintai ini.
Wanita yang begitu dekat dan
melekat di hati akan terpinang dan
segera membangun indahnya canda tawa sebuah keluarga dengan seseorang di luar sana. Bukan denganku dan pasti tanpaku.
Cinta tak pernah mengerti bagaimana rasa akan tumbuh dan
dengan cara apa ia bisa menjelma
menjadi suatu kata yang begitu
berharga dalam lentera teduh yang di sebut "sayang". Ya, cinta juga tak pernah mengerti kepada siapa ia akan menjatuhkan hati tentang rintihan lembut yang memanggil atas dasar ketulusan untuk memiliki.
Cinta dalam hati adalah satu dari
sejuta kemungkinan yang bermakna nyata.
Hening...

Semula seusainya tampil di kafe ini, hanya ku pejamkan mata sejenak.
Lalu ku coba memimpikannya dalam gelap, memikirkannya dalam rindu, dan menariknya agar tak menjauh.
Ku bayangkan indah matanya,
lembut katanya dan wangi parfume-nya yang khas.
Itu adalah kenikmatan yang
hanya bisa kudapati pada dirinya,
wanita penghuni relung kosong ini,
dia sahabatku.
Masih ku memimpikannya dalam
pejaman mata yang dangkal,
sebelum akhirnya para pengunjung kafe ini membangunkanku dengan
tepuk tangannya yang riuh
membanjiri gendang telingaku.

“Dion...” Teriakan suara wanita
memanggil namaku. Itu bukan suara asing, aku mengenalnya.
Dengan cepat aku menoleh antusias pada seluruh pengunjung kafe.
Masih kucari dari mana panggilan
itu berasal sebelum akhirnya muncul dengan anggunnya seorang wanita yang aku maksud.
Dia... Dia yang aku filosofikan sebagai kata yang kurajut menjadi puisi. Puisi yang mengalbum dalam bingkai terbaik di sudut terindah taman cintaku.
Dia yang tinggal di jagad hatiku dengan sejuta keindahannya, yang membuatku senantiasa bersyukur atas nama cinta.

Therresia Kharismana namanya, atau ku sebut dia Terre.
Terre adalah wanita dengan senyum renyah dan selalu membawa gitar akustik kesayangannya, sama
sepertiku. Terre dan aku adalah
sesama pemain akustik.
Lima tahun sudah persahabatan ini terbangun atas nama rasa. Maka lima tahun pula aku hanya bisa bernyanyi lewat akustik dan berpuisi tentangnya, tanpa berani mengungkap isi hatiku yang sebenarnya.
Betapa pengecutnya aku sehingga hati ini kupaksakan menunggu. Selama itu hati menahan dan lambat laun semakin sesak lalu merintih.
Apalagi ketika tempo hari ku dapati sebuah cincin indah melingkar di jari manisnya tanda terjadinya sebuah ikatan. Sekali lagi bukan denganku.

“Terre...” Heranku padanya seraya
berjalan turun dari panggung
dengan masih diiringi riuhnya tepuk tangan.
“Bisa kita jalan?” Pinta Terre lembut padaku.
“Kemana? tapi kan…”.
“Kita berangkat sekarang” Sahut Terre memotong ucapanku.
Aku hanya bisa beranjak dan segera menuruti pintanya. Seperti ada sesuatu yang aneh ketika
kuperhatikan mimik wajah dan
caranya berbicara.
Terre yang biasanya berhiaskan senyum renyah tak ku dapati malam ini. Kilau rambutnya juga tak seperti yang biasa aku nikmati.
Terre... ada apa denganmu malam ini?

Di kedai kopi klasik
Sudah 30 menit lamanya aku dan
dirinya tiba di kedai kopi langganan kami, tapi ia tak kunjung
mengeluarkan sepatah kata pun dari mulut manisnya. Justru air matanya-lah yang gemulai menyapaku menemani tubuh yang perlahan mulai menggigil.
“Kamu kenapa Re?” Tanyaku
khawatir padanya.
Aku mulai terkejut ketika dengan
sekejap Terre mendekap lenganku
penuh arti. Ini bukan sembarang
dekapan. Aku merasa luluh. Pada
satu definisi aku menerimanya
sebagai dekapan yang membawaku
pada gelora cinta yang membuatku
bersyukur atas nama waktu. Waktu
telah memberiku jeda riang dengan dekapan yang hadir dari sang hawa bernama Terre. Terima kasih cinta.
Tak lama, lantas ia membaringkan
kepalanya pada bahu yang selalu
siap menerimanya ini. Kemudian
mulai ia mengungkap sesuatu
dengan diiringi angin lembut yang
memberikan sebuah tema haru
seraya menyongsong penjelasannya padaku.

“Coba lihat ini!” Ujarnya sembari
memberiku secarik kertas undangan pernikahan.
“Undangan? kamu kan udah pernah ngasih ke aku, kenapa masih ngasih lagi?”. Aku bertanya padanya dengan masih dinaungi ketidak percayaan bahwa ia benar-benar akan menikah.

“Iya memang, tapi aku hanya ingin
kamu tau kalau sahabatmu ini
benar-benar akan menikah”. Jawab
Terre penuh perasaan.
“Ehmm, iya aku tau, semoga kamu
bahagia dengan pilihanmu”. Ujarku
berusaha tegar di hadapannya.

“Tapi persahabatan kita? gitar
akustik? kafe itu?”

“Tentu kita tetap bersahabat, kita
juga masih bisa berakustik di kafe
biasa kita kumpul, memang kenapa?”
Sejenak aku dan dia bisu dalam
hening. Air mata Terre terus berbicara lirih mengalir menghiasi
pipinya. Suasana semakin sendu
ketika kuperhatikan kedai kopi ini
ternyata perlahan mulai sepi.

“Terre?” Tanyaku semakin heran
padanya.

“Terima kasih untuk 5 tahun ini, aku beruntung bertemu seorang pemain akustik sepertimu Ion. Aku bisa nikmati bagaimana kebersamaan kita selama 5 tahun ini. Bulan depan aku bakal terpinang dan segera beranjak dari kota ini”. Tandas
Terre dengan derai air matanya
yang semakin menjadi.

“Maksud kamu? kamu pergi? kenapa Re?”

 “Iya, aku pergi setelah pernikahanku nanti.”
Tapi, Re…”

“Malam ini aku cuma mau balikin
buku ini”. Tiba-tiba Terre memotong ucapanku dan memberiku sebuah buku yang sepertinya aku kenali.
Benar. Buku itu adalah tempatku
menuang kata menjadi puisi
tentangnya, tentang Terre. Buku itu adalah pelarian dari suasana hati dan sejuta kekagumanku padanya.
Aku menyebutnya lembaran hati,
bukan buku diary. Lantas bagaimana buku itu bisa berada di tangan Sang Dewi?

“Buku itu? kenapa bisa ada di kamu, Re?”. Aku panik dan berusaha menyembunyikan rasa yang tiba-tiba menjadi tak karuan.
Timbul rasa khawatir pada benakku, khawatir akan mengacaukan persiapannya
untuk menikah.

“Aku temuin buku itu di kafe tempat kita biasa manggung Ion. Aku udah tau semua isi buku itu” Ucap Terre sesenggukan.

“Jadi? kamu...?"

“Iya Ion, aku udah tau tentang
perasaan kamu ke aku selama ini”.

“Maafin aku Re. Aku nggak bermaksud menodai persahabatan
kita. Rasa ini mengalir begitu saja
dan aku nggak pernah bisa nolak
anugrah cinta yang Tuhan berikan. 5 tahun aku nyimpen ini semua
karena emang aku nggak ada
keberanian buat bilang ke kamu
tentang perasaan aku. Aku khawatir persahabatan kita hancur dan kamu ngehindar kalau seandainya kamu nggak bisa nerima aku. Aku terpaksa
diam, sekali lagi maafin aku Re”

“Bodoh!”. Kilah Terre padaku.
“Maafin aku, Re."
“Kenapa kamu nggak pernah coba,
Ion? kenapa kamu nggak perjuangkan apa yang seharusnya
kamu dapetin?”.
“Aku khawatir, Re!”. Seruku padanya.
“Khawatir apa?”. Terre membalasku.
Sejenak terjadilah perang argumen antara aku dengannya. Perlahan nadiku melemah menyaksikan isak tangis Terre yang tak kunjung mereda. Sampai akhirnya aku tega melanjutkannya.
“Aku khawatir kamu nggak bisa
nerima aku dengan segala
kekurangan aku. Pikirku kamu nggak bisa nerima cinta dari seorangbpemain akustik seperti aku. Tapi cuman satu yang jelas, atas nama cinta, aku sayang kamu, Re”
“Sebenarnya ada satu hal yang perlu kamu tau, Ion”
“Apa?”

“Tentang kita, cinta yang ternyata
bersembunyi di balik keraguan kita. Tentang rasa yang selama ini
ternyata sama. Sebenarnya selama
ini aku juga punya perasaan yang
sama sepertimu. Tanpa kamu sadari aku selalu memberimu ruang untuk masuk dan mencoba mengatakan semuanya. Aku selalu menunggumu untuk satu hal itu, tapi kamu terlalu lama dan ragu Ion."

“Terre?”

“Aku wanita, nggak mungkin aku
memulai. Kalau saja seandainya
kamu lebih cepat dan tak pengecut, mungkin cincin orang lain ini nggak akan terpasang di sini”. Ujar Terre seraya memperlihatkan cincin
tunangannya.
“Maafin aku, Re.” Mataku mulai
berkaca-kaca.
“Aku sayang sama kamu Ion, tapi
apa daya aku. Satu bulan lagi aku
akan menikah dengan pasanganku,
orang yang telah berusaha buat
dapetin hati ini. Maafin aku Ion”.
Aku hanya membalasnya dengan
diam dalam kondisi batin yang
tersayat-sayat saat kembali mendengar dia benar-benar akan
menikah.

“Terima kasih untuk puisi-puisi
indah itu, cinta!" Curahnya padaku.
Dengan segala isi hati, Terre
mencium keningku penuh rasa, lalu ia pergi tanpa berkata-kata lagi.
Sekali lagi bibirku kaku ingin
membisu. Hanya kata hati yang
bertutur riuh dengan segala
penyesalan pada saat
menyaksikannya melangkah pergi.
Saat itu pula aku seperti selembar
daun yang terombang-ambing di
tengah kuatnya samudera. Bagaikan debu haram yang tercecer kasar pada sudut nurani. Menyedihkan.

“SELAMAT JALAN CINTA!”. Ujarku
membatin padanya.
Kini Terre telah memudar dari
pandangan. Derap langkahnya mulai semu terbawa keheningan.
Akustik yang kubawa menjadi saksi bisu pada momen yang begitu pilu ini. Hanya kalimat terakhirnya tadi yang
membuatku terpaksa mengenangnya dalam perih. Dia menyebutku "Cinta".
Walau pada nyatanya bukan aku
yang bersanding dengannya kelak.
Sekali lagi, dia benar-benar akan
menikah.
Ini Cinta. Tak selamanya berkata
‘mampu’. Hanya keberanian dan
sedikit keberuntungan yang akan
membawanya pada jalan indah
penuh pelangi yang disebut
romansa.
 
Akustik telah menjadikanku sebagai manusia yang
bisa bersyukur dengan segala bentuk cinta terhadap makhluk ciptaan-Nya. Lewat lagu dan puisi yang tercipta.
Enam dawai akustik telah berpesan
bahwa maksud hati kadang kala
menjadi salah karena jauh dari
sempurna.
Selamat menikah Terre. Gapailah
indah cahaya pada manisnya sebuah bina keluarga. Terima kasih Tuhan.

Dari hati, atas nama AKUSTIK dan
meriahnya CINTA.

Friday, February 21, 2014

Binar Matamu

Ada satu hal sulit kutepis meski
pahit dalam nyata, mencintai
seseorang yang tidak memiliki rasa yang sama.
Kau tak menunjukkan rasa benci, juga perasaan sayang. Kau selalu hadir jelas di depan mata, tapi tak pernah tertembus sayangku ke dalam hatimu.

Melihat, jernih permukaan air tak
bisa kulihat dalamnya perasaanmu. Saat-saat gundah menyergap dan ingatanku tentang perjanjian kita terngiang, kita akan berpisah.

Bukan saja karena waktu, tapi
cerita kita berakhir bersama.
Bahkan tak ada pelukan akhir
sebelum kita benar-benar saling
menjauh.
Mungkin, detik ini juga sebenarnya hatimu telah menjauh,
sejak kulihat binar matamu bukan
untukku, tetapi untuknya.

Thursday, February 20, 2014

Filosofi Warna Senja

Lagi-lagi senja...
Lagi-lagi senja...
Setiap kali nulis cerpen selalu waktu kala senja...

Apa sih yang menarik dari senja hari???

Suatu ketika ada yang bertanya
padaku seperti itu tentang makna "Senja" bagiku, yang kelihatannya terlihat begitu istimewa.

Lalu aku menjawab.

"Kau tau ada berapa warna yang
terlihat saat kau lihat senja datang?"

“Merah, Orange, Putih,
Dan Kuning." Jawabnya.

Benar sekali, warna-warna itu
adalah warna yang paling dominan
ketika senja mulai mucul.

filosofinya seperti ini:

Merah:  jika hati sedang diliputi
rasa bahagia maka warna merah ini mewakili perasaan yang
menggebu-gebu, merah juga
menggambarkan sebuah
kehangatan.

Orange:  Dia adalah simbol yang
mewakili perasaan friendly, jika
perasaan itu tumbuh maka suatu
hubungan akan terjalin lebih akrab
layaknya jalinan seorang teman.

Putih:  Semua orang paham betul dengan karakter warna yang satu ini, selain membawa rasa nyaman, putih juga memberikan kesan sesuatu yang tulus, jika di kaitkan dengan perasaan, berarti
perasaan ini tumbuh dari rasa
ketulusan, kemurnian, kesucian,
atau bahkan sebuah pengabdian.

Kuning: Biasanya ini diartikan
dengan sebuah “kemenangan”,
kuning mengartikan juga sebagai
lambang ‘kebanggaan’, atau sebuah
“kemewahan”, perasaan yang di
liputi warna ini berarti sebuah
perasaan yang sangat luar biasa,
bersamanya kita akan merasa
‘berbangga’ diri, merasakan sebuah
kemenangan merebut hati, merasa mewah memilikinya…

*cwiwwww........ :)  :)  :)  :)

Mata Senja

Aku melihatnya berdiri di antara
barisan daun daun pohon kakao
yang cebol. Terlihat samar menyatu dengan warna dedaunan
yang menguning dan memerah
dalam waktu bersamaan. Entah dia
hanya ingin aku, atau pandangan
manusia di sekitar yang mulai
menyempit dan mendangkal
tergilas zaman, suatu keyakinan
bahwa hanya akulah yang tahu dia
ada tiba tiba terbit.
Tanpa banyak gerak, sepasang mata warna senja itu mengunci ku di dalamnya. Pupil mataku mengembang-mengempis merumuskan wujud yang tengah menatap ku pada jarak seratus meter itu. Namun semakin keras mata berusaha, semakin pudar pula pandangan.

Sampai aku menyerah, membiarkannya mewujud sesuka
hati, dan dia perlahan menyublim.
Warna senja mulai menggelap,
menjadikan cakrawala yang mulanya jingga emas menjadi
burgundi. Seperti warna anggur
dari daratan eropa, anggur vampir.
Kicauan prenjak senyap sudah,
berganti suara gemerisik serangga
serangga malam, dan sesekali terdengar desis ular sawah.

Sekelebatan kamu bergerak halus
dan cepat, menyisakan suara
desahan perawan yang kelelahan
di penghujung malam pertama.
Sosok mu lebur berelaborasi
dengan dedaunan yang gelap
terenggut malam. Aku berdiri
perlahan, mengamati mu pudar
menjadi sekitar. Sebuah tangan
yang tegap memegang pundak ku,
menuntun ku pulang, pertanda
waktu bermain telah usai. Itu
pertama kalinya kita bertemu, di
senja yang terpantul di matamu.

Kata ibu aku terlahir dengan
kondisi yang aneh. Tidak menangis
seperti bayi pada umumnya. Aku
bergumam. Suaranya seperti orang berkumur. Dokter yang menangani persalinan memukuli pantatku, mencubit pergelangan tanganku hanya demi mendengar aku menangis. Walaupun lima menit kemudian aku memang menangis keras, bukan karena naluri, tapi lebih kepada rasa perih yang menjalar di sekujur tubuh.

Yang tidak mereka tahu (termasuk
ibuku) adalah aku memang sedang
bercakap-cakap dengan sesuatu
yang pertama kali aku lihat segera
setelah keluar dari garba ibu. Dia
menyambutku dengan ekspresi
sedih. Berkata bahwa selamat aku
terlahir di dimensi tengah.

Dimensi yang paling berat karena
semua anugerah serba setengah,
setengah hati, setengah akal,
setengah mati, setengah hidup
dan setengah lainnya. Kaumnya
menyebut dimensi ini dimensi
abu-abu, tempat salah dan benar
melebur menjadi kabur. Untuk
bertahan di dalamnya, aku haruslah sekuat karang sekaligus
selembut angin. Membingungkan
bukan?.

Sampai rasa perih itu menjalar dan dia teman ku yang pertama mulai mengabur dalam
genangan air mata.

Tujuh belas tahun setelahnya aku
melepas ibu dalam hening di
suatu malam dimana pada sore
harinya aku bertemu si mata
senja.
Sejak itu, si mata senja selalu
mendapat tempat eksklusif di
ingatanku. Bukan karena kehadirannya membawa kabar
duka kepergian ibu, melainkan
ketenangan mistis yang dipancarkan sepasang mata
menakjubkan itu meresap
memenuhi ku, sehingga saat
melepas ibu, bukan rasa sedih
yang ada, namun kerelaan yang
luar biasa, yang mengherankan ku
sendiri. Karena itulah, aku kembali
ke tempat ini, tempat pertama
kalinya aku bertemu dengan
sosoknya.

Sudah delapan tahun berlalu sejak
kematian ibu, selama itu pula
kehidupan ku pasang surut seperti
air laut. Kehidupan Jakarta yang
robotis kadang menggerogoti
lubang sepi yang kian lama kian
lebar dan jelas perlu ditambal.
Rumah bergaya kolonial Belanda
itu masih kokoh, dengan berhektar-hektar pohon kakao di halaman belakangnya.

Beberapa rumah yang lebih kecil, milik pegawai pabrik pangkat rendah, berjejer berhadapan dengan bekas rumah bapak dulu. Sejak pensiun dua tahun lalu, bapak tinggal di rumah istri keduanya, ibu tiriku.

Sudah dua tahun juga aku dan
bapak putus komunikasi. Kabar
yang kudengar, bapak kena stroke
akibat jatuh di kamar mandi.
Setelah urusanku di sini selesai,
mungkin aku akan mampir, melihat bagaimana hidupnya dua tahun ini bersama keluarga barunya.

Kuparkir jip tepat di halaman
depan bekas rumahku. Saat itu
matahari sudah condong ke barat
walau langit masih secerah siang.
Angin sore bertiup pelan, melembut melewatiku. Bau tanah
basah menyergap pertanda hujan
baru saja usai. Perumahan kecil di
tengah kebun kakao ini sepi.

Beberapa manusia-manusia yang
penasaran, melihatku dengan
pandangan yang membuatku risih.
Aku berjalan menuju pinggir lapangan kecil yang berada di
samping rumah besar ini.
Kutemukan rerumputan yang
cukup lebat sebagai alas duduk,
walaupun sedikit basah, kupasrahkan tubuh lelah ini dalam
karpet alam itu. Sambil menunggu
senja, kunyalakan musik di ponsel.

Ingatan-ingatan berkelebat seperti
film yang diputar dalam kecepatan
tinggi. Masa kecil, pertengkaran
bapak dengan ibu, kematian ibu,
obat tidur yang berserakan di
lantai, ekspresi bapak yang datar,
kuliah di jakarta, mantan mantan
pacar yang membosankan, kelulusan yang hening, bapak yang
menikah, bapak yang punya anak
lagi, bapak yang bahagia dengan
keluarganya, pertemuan dengan
Bhisma, pernikahan sederhana,
tahun tahun yang bahagia, anak
yang tak kunjung datang, Bhisma
yang putus asa, Bhisma yang
menuduh, Bhisma yang melacur,
Bhisma yang kecanduan, Bhisma
yang menyedihkan, Bhisma yang
selalu aku cinta, Bhisma yang
teronggok di ruang khusus RS
umum. Bhisma yang selalu
termaafkan dan...sepasang mata
senja yang dulu pernah menyapa.

Aku tersadar. Desau angin hilang, dan waktu seakan berhenti bergulir. Hening yang solid mendekapku. Aku mengamati sekeliling. Senja datang.

Akhirnya... Langit warna burgundi, sama seperti waktu itu. Aku mencarimu dalam diam. Mengamati deretan kakao yang gelap dan rapat. Tidak seperti saat itu, kali ini aku begitu berusaha menemukanmu. Apa diriku tidak sejernih dulu sampai sepasang mata senjamu enggan bertatapan.

Hampir putus asa aku dalam diam, berusaha berkonsentrasi pada pemandangan statis sampai mataku yang jelata menemukan junjungannya.

Sepasang mata senja. Apa kabar
kawan lama?

Pesonamu selalu sanggup
menundukkan hasratku. Dari yang
blingsatan mencarimu, gerakanku
melamban, sampai benar benar
terhenti. Kita saling memandang,
dalam diam. Mencoba mencari
sesuatu yang aku yakin ada dalam
dirimu.

Rambutmu melambai terurai
malam. Beriak tenang bagai
gelombang air danau. Di antara
pepohonan kakao yang cebol, aku
kembali menemukanmu. Senja
sudah lalu, namun sepasang mata
itu tetap menyimpannya dalam
wadah abadi milik sesosok mahkluk dimensi lain.

Aku meminta, kamu berikan.
Aku bertanya, kamu hanya
diam.
Terka !!! perintahmu.
Cari !!! serumu.

"Ingatkah kau padaku?" Tanyamu.

"Aku ingat." balasku.

"Kita pernah bertemu bukan?"

Kamu setuju. Mengangguk.

Saat aku masih berlumur darah garba ibu. Kamu berdecak kesal.

"Maaf." Pintaku

"Sekarang kamu sudah tau bukan."

"Ya." jawabku.

"Perbatasan selalu menyakitkan."

"Ya." jawabku.

"Sedikit lagi semuanya akan kembali seperti semula."

"Aku tidak mengerti."

"Tidak perlu." katamu.

"Lalu?"

Bunyi ponsel. Nyaring. Susi, suster jaga.

" Halo?"
Tidak jelas kata-kata yang kudengar. Ucapan dan isakan
keluar dalam waktu bersamaan, menimbulkan suara berdeguk yang menjijikkan. Cukup dua puluh
detik, dan selesai sudah.

Ketenangan yang aneh mengaliri
persendianku, meringkus sesak
yang kutahan berbulan bulan
lamanya. Inilah yang kucari.

Pembebasan.bSosokmu sudah pudar. Menyatu dengan malam.
Aku duduk sendiri, berteman
sunyi. Angin kembali bertiup. Kali
ini, putarannya berpusar di dalam
ragaku. Pelan, menyejukkan.

Setetes air mata jatuh, kata-kata
perpisahan mengalir bersamanya.

Aku memencet nomor yang
kukenal. Nada sambung terdengar,
lalu suara bariton menyapa.

"Bapak, Bhisma sudah pulang.
Minta doanya!".

*Nggak tahu sebenarnya ini cerpen kisahnya bagaimana. Ini cerita di tulis pas pikiran sedang kacau.

Sunday, February 16, 2014

Langit Biru

Mendakiku dan kejejaki angin tertunduk.
Berlariku dan kukejari kinar bertanduk.
Aku temukan baraku, bak menyeka asa di hamparan langit biru.
Aku tertelan dalam raga yang setengah utuh.
Masih ada lagi sisa yang harus aku penggal hingga menjadi padu.
Harus ada setelan tertata.
Hatiku harus melangkah ke arah yang lebih kekar, bukan langkah ambigu.

Aku terkesima melihat buaiannya, tertunduk malu memasang raut wajah kikuk setengah bingung. Itu aku, tapi entah mengapa semua orang sangat tertarik dengan namaku.

"Kiran Sasikirana, apa artinya itu?"
"Aku tak tahu, belum kutanyakan
pada ibuku."
"Kalau begitu besok tanyakan pada
ibumu!"

Orang - orang hanya tertawa, aku
selidiki gelagat wajahnya. Ternyata
ada yang lucu dengan tingkahku,
katanya. Tak tahu arti nama sendiri.
Ibuku tak pernah menceritakannya.
Akupun tak begitu tertarik, apalagi
bertanya. Sebenarnya apa yang
menarik di dalam hidupku? Rasanya tak ada samasekali.

"Artinya adalah Cahaya bulan yang
amat terang." Jelas ibuku.
"Kapan aku menanyakannya,
sebenarnya aku pun tak mau tahu
artinya apa." kataku dalam hati.

"Kau lupa kalau ibumu paranormal? Aku bahkan tahu apa yang sedang kau pikirkan."
"Benarkah? Lalu tahukah ibu tentang perasaanku selama ini?" Kataku dalam hati.

Aku tak bergeming dalam sekatan
ibu yang mulai membacakan
mantranya. Aku tak tahu apa yang ia lakukan, aku selalu melihat guratan lelah di dahinya setiap kali ia habis membaca mantra.

Siapa dia? Ibuku,
sesuai KTP dan akta kelahiranku.

"Nah, sudah tahu arti namamu apa?"
Tanya kakak senior lagi kepadaku.
Entah apa yang membuatnya begitu penasaran.
"Cahaya bulan yang amat terang."
Jawabku ringkas, berharap ia puas
dan berhenti menggangguku.
"Itu sesuai dengan dirimu."
Tungkasnya, membuatku kaget.

Semula aku merasa ia akan
melakukan sesutu yang menyakitiku seperti anak baru lainnya yang ia bully.

"Ini untukmu. Mulai sekarang, sering-seringlah tersenyum karena kau itu manis, kau adalah cahaya bulan yang amat terang." Laki-laki itu tersenyum renyah, memberikan setangkai bunga dan
meninggalkanku. Ia pergi dengan
teman - temannya.

Apa maksudnya? aku tak mengerti.
Rasanya aku ingin menari. Berdecak kagum akan diriku, aku merinding, seperti inikah yang dinamakan tersipu? aku tak tahu lagi seperti apa warna wajahku. Mungkin merah atau sedikit berubah menjadi bara.
Hatiku terasa luluh, ada aliran sejuk yang menenangkan dan membuatku terbawa arus. Bahagia.

Perasaan bahagia itu cuma terjadi
selama satu jam lima belas menit.
Setelahnya aku kembali terpuruk, di dalam kelas menjadi yang terbodoh, nilai jelek, tak berprestasi dan tak punya teman. Itu aku? ya aku masih ingat itu namaku. Pelajaran bahasa indonesia, kami harus membuat
puisi tentang ayah. Aku terpaku,
melemas, memutuskan untuk pergi meninggalkan kelas. Aku benci puisi, aku benci pelajaran bahasa indonesia, aku ingin melarikan diri. Dimana saja, tempat dimana aku
bisa menangis.

"Ada apa ini? kenapa Bulan menjadi mendung?" Berdiri tegak seorang anak lelaki melihatku, seorang gadis yang memandangi taman, dia si kakak senior.

"Sedang apa kau disini?
pergilah."Kataku ketus.
Ia hanya mengernitkan keningnya. Aku sebenarnya tak mau ia pergi, tapi bibirku berkata lain.

"Kalau begitu aku membencimu."
Katanya lagi.
"Kenapa kau membenciku?" tanyaku penasaran. Aku tak mau orang ini benar-benar membenciku.

"Aku tahu namamu dan kau tak tahu namaku. Itu tak adil! Namamu KirannSasikirana, bahkan aku tahu artinya
Cahaya Bulan yang amat terang.!"

Benar juga aku selalu melihatnya
tapi tak tahu siapa namanya.

"Namaku Lintang Lazuardi. Kau tahu artinya apa?" katanya lagi.
"Tidak, apa?"
"Bintang di langit biru, dan itu
berarti aku bisa terus bersama -
sama dengan bulan yang amat
terang. Karena tempat kita sama -
sama di langit biru." terangnya lagi
sambil tersenyum.

Andaikan saja aku bisa
mengatakannya. Aku juga ingin
berada di langit bersama bintang,
hanya satu yang seperti dirinya.
Lidahku keluh, gemetar, sesuatu
membuncah di dadaku. Tak bisa
terlalu lama memandangnya, aku
takut meledak. Hatiku.

"Jadi ini gara-gara pelajaran bahasa
indonesia?"tanyanya lagi melihat
setumpuk lebam habis nangis
dikantong mataku.
"Bukan, ini karena puisi."
"Kau tak suka puisi?"
"Ya. kami disuruh menulis puisi
tentang ayah."
"Bukan karena puisi tapi karena
ayah?"

Mengapa ia terlalu banyak tahu
tentang diriku. Aku bahkan tak
mengatakan apapun. Ia seperti ibu.

"Apakah kau juga paranormal?"
Tanyaku memastikan.
"Tidak. Aku separuh dari dirimu."
Ia mengatakan dengan mantap, aku tak bergeming. Andai ia tahu, andai ia tahu kalau aku disini karena ayah. Aku benci ditanya tentang ayah, karena aku tak punya ayah. Aku lahir tanpa ayah, ibu dan orang lain yang mengatakan, aku anak terlarang yang lahir di luar nikah.

"Bukankah sudah kukatakan.
Berhentilah membenci dunia dan
tersenyumlah. Karena kau adalah
bulan yang amat terang, yang indah bila terus tersenyum bersamaku."
"Bersamamu?"
"Ya, bintang dan bulan harus
bersama. Memberikan sinar dan
terangnya kepada dunia. Karena
mereka membutuhkan kita. Lebih
dari kita membutuhkan mereka.".

"Apa maksud dari semua itu?" aku
gemetaran, berusaha memastikan
apa yang ingin ia katakan.
"Kemarilah." Lintang menarik
tanganku tanpa ijin dan seketika
kami sudah berada di suatu tempat. kolong langit.
"Lihat itu. Aku hanya ingin satu
yang seperti dirimu disana,
bersamaku. Kelak dan selamanya."
Lintang masih terus menunjuk
kearah langit sementara aku masih
tak bisa percaya. Tuhan memberikan bintang paling indah di dalam hidupku. Lintang Lazuardi.

Monday, February 3, 2014

IP4R 777 [Sweet Memory]

Dear all friends Ip4r_777???

Ingatkah kalian saat pertama kali kita
semua bertemu? Di gedung SMK PLUS YSB Suryalaya yang saat itu baru terdapat Empat ruangan. Tiga kelas dan Satu kantor... Ahhh, sungguh miris jika di bandingkan dengan SMK yang sekarang.

Aneh, asing, lucu, semua berpadu menjadi rasa yang begitu indah.

Ingatkah kalian saat pertama kali kita
semua berada dalam satu ruangan yang tak seberapa besar? Hanya cukup menampung sebuah ranjang lusuh dan beberapa perabotan lainya.  Ruangan yang di sewa AgusSule, AsepDamuk, N'ju itu seolah telah menjadi Basecamp bagi kita menghabiskan siang yang beranjak sore. Kita?? Ya ada AgusSule, AsepDamuk,AsepFajar,N'ju, Dadan juga saya pribadi, iwanTotti

Saling pandang, saling senyum, tertawa?
Semua begitu lekat dalam ingatan.
Menyertai setiap hariku di sekolah baru.
Kala itu, aku tak mengenal siapapun.
Semua nya baru bagiku. Tapi tak ada rasa takut dalam hatiku karena aku yakin
kalian semua akan menjadi malaikat dalam hari-hariku selanjutnya.

Ingatkah kalian ketika pertama kali kita
berkumpul dalam satu ruangan kelas?
Semua tampil dengan wajah polos khas
siswa/I baru. Diam, sibuk dengan
pikirannya masing-masing. Tak satupun
yang lari kesana kemari. Saat itu seakan
takkan ada cerita menarik yang kan
terjadi. Ya, memang takkan ada. Karena
cerita baru akan dimulai.

Hari demi hari berlalu. Wajah polos itu
kini berganti dengan wajah ceria penuh
tawa. Tak ada lagi ragu dan takut. Kini
semua telah berpadu dalam rasa. Cerita
pun menjadi semakin berwarna.

Berkumpul bersama membentuk sebuah
kelompok. Kelompok? Ya IP4R_777.

Kenapa harus ip4r_777? Aku juga nggak tahu. Tapi kata AgusSule ip4r_777 itu adalah singkatan dari "Ikatan Pemuda Ripuh" yang didirikan pada 07-07-2007.

Wowww udah lama ya?

Ingatkah kalian ketika kita saling
bercerita lantas bulir demi bulir air mata
mulai berjatuhan? Ya, cerita itu adalah
cerita sedih tentang kehidupan kita. Tapi
ingatkan kalian ketika setelah itu kita
tertawa bersama saling memberi semangat satu sama lain?

Hai AsepDamuk? Ingatkah kamu saat kamu mengajak aku bolos sekolah hanya untuk bermain PS di tempatnya Om Edi??? Hahaha... itu pengalaman yang tak mungkin terlupakan. Dan sialnya bagi AgusSule yang kebagian tugas membawa tas sekolah kita saat pulang.

Tak terasa sekarang anggota ip4r sudah bertambah. Ada si jack, Momon, DadanKuwu. Dan... ahh aku lupa siapa lagi.
Entah mereka karena sama-sama ripuh atau yang lainnya yang mendasarinya ikut bergabung.

Hingga akhirnya kita sepakat membuat kaos khusus anggota ip4r_777. Aku sudah lupa berapa harganya untuk membuat kaos itu.
Kaos warna hitam dengan tulisan "No Comment" warna merah di bagian depan. Lalu dengan lambang ip4r berbentuk prisma dengan gambar kepala iblis di tengahnya. Hahaha... lucu, kenapa mesti seperti itu lambangnya?

Dan sampai saat ini, baju itu masih ada. Kalau kalian masih ada nggak Lurr???

Masih ingat nggak kalian? Waktu itu kita sengaja bikin baju yang sama untuk kado pernikahan wali kelas kita? Ibu Pipit?
Masih ingatkah?
Masihkah Beliau menyimpan baju itu???

Cerita pun seakan tak pernah ada
habisnya. Bukan hanya suka dan tawa
tapi juga duka dan air mata. Masih
teringat jelas dalam ingatanku ketika kita
tak saling menyapa karena suatu hal,
ketika persahabatan pecah beberapa
waktu. Tapi itu tak lama. Karena kini
kita semua kembali menjadi sahabat untuk selamanya. Bunga-bunga indah mulai bersemi dalam cerita kita.

Ingatkah kalian ketika seisi kelas heboh
karena suatu hal? Ketika kita menangis
bersama karena hal itu? Semua memang
tak berlangsung lama karena kini semua
telah baik-baik saja.

Tak terasa sang perpisahan pun semakin
mendekat. Mencoba untuk memisahkan
kita dan cerita kita. Perpisahan karena kita mempunyai tujuan. Tujuan menggapai cita-cita kita Tak terbayangkan betapa sulit rasa yang akan diungkap. Tak terbayangkan berapa tetes air mata yang akan jatuh ketika kita disadarkan bahwa kita akan berpisah untuk sementara. Ya, hanya sementara. Karena aku yakin suatu
saat nanti kita akan dipertemukan dalam
cerita yang jauh lebih indah.

Perpisahan memang menyakitkan. Tapi
perpisahan bukanlah akhir dari segalanya.
Ia adalah awal dari sebuah pertemuan
baru yang akan jauh lebih indah. Kita
disatukan bukan karena ikatan darah tapi
karena kita memiliki rasa yang sama.
Itulah persahabatan. Hal terindah yang
akan selalu dikenang setiap orang.

Satu semboyan anak-anak ip4r_777 yang masih selalu ku ingat.
"Try Life to Better".

:')  :')  :')