• This is Slide 1 Title

    This is slide 1 description. Go to Edit HTML and replace these sentences with your own words. This is a Blogger template by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com...

  • This is Slide 2 Title

    This is slide 2 description. Go to Edit HTML and replace these sentences with your own words. This is a Blogger template by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com...

  • This is Slide 3 Title

    This is slide 3 description. Go to Edit HTML and replace these sentences with your own words. This is a Blogger template by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com...

Thursday, February 12, 2015

Kisah Setetes Air Hujan






Hujan kembali turun.
   Aku kembali menyapa bumi, saat awan tak lagi kuat menahan debitku dan teman-temanku. Ada saat di mana aku akan kembali ke bumi setelah mengalami proses yang panjang dan melelahkan. Ya, aku hanya setetes air hujan dari sekian banyak tetesan air hujan yang menetes dari awan.
   Jika saat aku kembali turun ke bumi dan mendarat di laut ataupun samudera, maka aku akan kembali menjalankan proses membosankan itu. Tapi, jika aku mendarat di tanah, maka aku akan diserap oleh akar-akar tumbuhan dan riwayatku berhenti di sana, atau jika aku mendarat di kendi yang digunakan untuk minum, maka aku akan mengalami proses yang lebih menyakitkan, tubuhku akan disentuh oleh suhu bertekanan tinggi dan mungkin berakhir pada lambung manusia. Itu semakin menyakitiku.
   Saat ini musim hujan dan makhluk tak bernyawa sejenisku akan sering menyapa bumi. Sering kali aku mendengar gerutuan para manusia yang merasa kesal karena kedatanganku membuat matahari tak bersinar sehingga cucian mereka tak kunjung kering. Aku juga sering mendengar seruan tumbuhan yang menyambut dengan senang hati kedatanganku, aku sangat bahagia mendengarnya. Juga hewan-hewan di daerah gersang, mereka sangat bersyukur pada Tuhan atas kehadiranku.
   Entah sudah berapa kali aku kembali menjadi tetesan air hujan. Setiap kali turun, aku selalu mendarat di laut atau genangan air yang nantinya akan menguap, dan sungguh aku lelah menjalani semua ini. Sekali saja, Tuhan, izinkan aku mendarat di kendi milik manusia, tak mengapa jika aku direbus, sungguh aku lelah.
Siang ini, saat aku turun, aku memandang permukaan bumi. Bumi tak pernah lebih baik, malah ia semakin buruk akibat ulah tangan-tangan tak bertanggung jawab. Jika disuruh memilih makhluk mana dari ciptaan Tuhan yang paling bermanfaat, maka aku akan menjawab tumbuhan. Mereka tak pernah menganggu manusia, tak pernah merusak alam, mereka tumbuh untuk memberikan manfaat berlimpah demi kehidupan manusia. Kasihan tumbuhan.
   Kupejamkan mataku erat saat tubuhku semakin dekat mendekati permukaan trotoar jalan. BUMM!!! Oh! Tubuhnku terasa begitu sakit saat membentur permukaan yang keras hasil buatan manusia ini. Lagi, aku menggerutu pada makhluk bernama manusia itu. Kenapa mereka membuat benda sekeras ini, ini sangat sakit bagi kami para hujan saat turun. Kenapa tak menggantinya dengan benda yang lebih lembut lagi? Ah! Aku sungguh tak mengerti jalan pikiran mereka.
   Di tengah rasa sakit yang sedang kunikamati ini, retina mataku menangkap pemandangan terindah yang pernah kulihat. Di halte itu, duduk seorang gadis. Entah kenapa aku merasa tak ada pemandangan yang lebih indah selain ini, ia begitu… cantik.
   Aku terus memandanginya dan berteriak dalam hati agar ia menoleh ke arahku. Tak mungkin aku berteriak menggunakan mulutku karena ia tak mungkin mendengarnya. Tampaknya ia menyukai hujan, sejak tadi yang ia lakukan hanya memandangi kami. Tapi, kenapa pandangannya terlihat sendu? Apakah kedatangan kami membuatnya bersedih? Oh! Aku sering mendengar bahwa hujan membuat hati manusia lebih melankolis, tapi sungguh, kedatangan kami tak bertujuan untuk itu. Tuhan menciptakan kami untuk kebutuhan makhluk hidup di bumi, kami sama sekali tak bertujuan untuk menciptakan suasana hati manusia menjadi seperti itu.
Gadis itu menundukkan kepala dan terlihat menghela napas. Tak lama kemudian, ia mengangkat kepalanya dan tersenyum pada hujan. Senyum terindah yang pernah kulihat, bahkan senyumnya mengalahkan senyum putri hujan yang cantik itu. Tetap tersenyum seperti itu karena aku suka melihatnya. Rambut hitam sebahunya yang lurus terlihat begitu lembut dan aku berharap suatu saat  bisa mendarat di sana. Ingin kucium aroma rambutnya, aku ingin tahu shampoo apa yang ia gunakan hingga bisa memiliki rambut seperti itu.
“AWASSS!!!”
   Aku terkesiap dari lamunanku saat temanku berteriak dari atas. Dengan cepat aku segara meminggirkan tubuhku agar tubuhnya tak menindihku. Fokusku hilang karena semakin banyak tetesan-tetesan air hujan yang turun di sekelilingku. Saat kulihat kembali gadis di halte itu, ia sudah tidak ada. Mungkin menaiki bus yang baru saja berangkat.
   Perlahan tubuhku melayang ke udara, aku akan mengalami proses membosankan itu lagi. Tapi, Tuhan, kali ini aku berharap agar aku kembali turun di tempat ini agar aku bisa melihat gadis cantik itu lagi.

~oOo~

                “Aku bebas…!” pekikku saat tubuhku baru saja keluar dari gumpalan awan.
                Kuangkat kedua tanganku ke atas, menikmati terjun pertama yang menurutku paling menyenangkan, aku kembali ke bumi dan tak sabar untuk kembali melihat wajah cantik gadis itu. Sudah tiga hari aku terkurung dalam gumpalan awan dan melewati proses itu. Aku bosan.
                Saat melayang di udara, aku terus berdoa pada Tuhan agar aku kembali mendarat di atas trotoar depan halte itu. Kupejamkan mataku erat dan tak lama kemudian, kurasakan tubuhku membentur benda keras. Perlahan kubuka mataku dan aku meloncat kegirangan. Aku kembali mendarat di tempat yang sama dan kulihat gadis itu masih duduk di sana dengan pakaian yang berbeda. Hari ini ia memakai pakaian berwarna merah muda, terlihat semakin manis.
                Tapi, raut wajah itu tak pernah berubah. Ia masih saja berwajah sedih dan kali ini terlihat seperti menahan tangis. Ia menggigit bibir bawahnya yang bergetar, mendongakkan kepala demi menahan air matanya agar tidak menetes dan menghela napasnya. Jika kemarin aku ingin mendarat di rambut hitamnya, maka kali ini aku ingin menjadi air matanya agar aku bisa tahu masalah apa yang sedang ia alami sehingga ia menangis.
                “Jangan menangis, gadis cantik! Kau tak boleh bersedih!” teriakku padanya.
Ia sama sekali tak mendengarnya, sudah dapat kupastikan itu. Matanya terlihat memerah karena menahan tangis dan ia masih menggigit bibir bawahnya juga meremas tangannya. Tidakkah manusia di sampingnya itu melihatnya yang sedang bersedih? Kenapa mereka bersikap acuh? Ah! Memang benar, saat ini sifat individualisme manusia memang benar-benar parah.
   “Kenapa kau bersedih? Kau tak boleh menangis!” aku kembali berteriak.
   “Hei! Apa kau sudah gila? Untuk apa kau berteriak seperti itu? Kau kira dia akan mendengarmu? Jangan perduli pada manusia, mereka bahkan tak perduli pada kita.”
Kutolehkan kepalaku pada temanku. Aku memandangnya sejenak dan kembali memandang gadis itu karena tak ingin kehilangannya seperti kemarin. Saat ini kulihat cairan bening itu telah menetes dari kedua sudut matanya, membasahi tebing pipinya yang tembam. Kenapa ia menangis?
   Bus datang dan aku kehilangan harapanku. Ia akan menaiki bus itu dan aku tak akan melihat sosoknya lagi. Dalam hati aku berdoa, agar ia tak lagi menangis saat aku kembali melihatnya. Yang ingin kulihat adalah senyumnya, bukan tangisannya. Jahat sekali mereka yang telah membuatnya menangis.
Pandanganku mengikuti pergerakan bus yang perlahan menjauh. Aku menundukkan kepala, rasanya begitu berat melepaskan kepergiannya. Dan saat kudongakkan kembali kepalaku, aku masih bisa melihat dirinya! Ia masih duduk di bangku itu dan tak menaiki bus. Tapi, air matanya semakin deras menetes. Ia sesenggukan, menutup wajahnya dengan kedua tangannya dan mengusap kasar air matanya. Ada apa dengannya? Apakah masalah itu terlalu berat untuknya hingga ia harus meluapkannya dengan menangis? Oh!
   Aku masih mematung di tempatku menatap ia yang menangis. Tangisnya pecah saat tak ada orang selain dirinya di halte. Hatiku miris melihat gadis secantik dirinya menangis, aku tak tega melihatnya. Jika kau ingin berbagi cerita, bicaralah pada hujan karena kami akan menyimpan rapat rahasiamu. Jangan pada manusia, mereka tak bisa dipercaya. Jika berteriak pada kami bisa melegakan hatimu, maka berteriaklah, kami rela mendengar pekikan suaramu. Lampiaskan pada kami, asalkan kau puas, itu tak mengapa.
   “Dia selalu begitu saat musim hujan tiba.”
   Aku menolehkan kepalaku pada sumber suara. Ia berbicara menatap gadis yang sama, berbicara seolah ia mengetahui segalanya.
   “Kau baru dua kali mendarat di sini?” tanyanya.
   Aku mengangguk.
   “Dulu, aku pernah menjadi bagian dari air mineral di café ternama di kota ini. Saat itu, aku berada di gelas minuman yang dia pesan. Sama sepertimu, kali pertama aku melihatnya, aku juga terpesona pada kecantikan dan senyumnya yang lembut. Tapi, saat kulihat ia menangis di hadapanku, sungguh aku tak tega melihatnya. Dia bercerita pada temannya tentang masalah hidupnya.”
   “Tentang keluarganya?”
   “Bukan, tapi tentang kekasihnya.”
   Kekasih? Jadi ia telah memiliki kekasih dan pria itu yang telah membuatnya menangis? Benar-benar pria kejam. Tega sekali ia menciptakan air mata di mata indah gadis itu.
   “Kekasihnya pergi meninggalkannya saat dia masih mencintai pria itu. Tapi, tanpa dia sadari, teman berbagi ceritanya juga mencintainya.”
   “Bagaimana kau bisa tahu?”
   “Aku menjadi saksi semua itu. Dia berbagi cerita pada seorang pria yang mencintainya. Aku bisa melihatnya dari sikap pria itu saat melihat dia menangis.”
   “Dan kenapa pria itu tak ada saat ia menangis seperti saat ini?”
  “Entahlah. Aku hanyalah tetesan air hujan yang tak tahu hal itu.”
  “Dia masih saja menangis. Apa masalah itu terlalu berat untuknya?”
   “Kurasa seperti itu. Itulah bodohnya manusia, kenapa mereka harus menangisi hal seperti itu? Setidaknya jika mereka ingin menangis, cukup sekali jangan berulang kali. Menangis sepuasnya, cukup sekali, setelah itu berhenti dan tersenyum.”
   “Manusia itu sulit dimengerti.”
                “Ya.” Ia mendongakkan kepala. “Sebentar lagi matahari akan bersinar, kau harus bersiap kembali menguap ke udara. Jangan memikirkan gadis itu, ketahuilah bahwa sesungguhnya ia adalah gadis yang tegar.”
                “Kau tahu segalanya tentang dia?”
                “Hei, setiap musim hujan aku selalu turun di tempat ini dan aku tahu tentangnya. Gadis itu tak pernah berubah, selalu bersikap menyedihkan seperti itu. Membosankan. Sudahlah! Aku harus bersiap-siap menguap.”
                Ia berjalan menjauhiku dan perlahan menguap ke udara. Kini fokusku kembali padanya. Ia tak lagi menangis, tapi masih dapat terlihat guratan kesedihan di sana. Perlahan-lahan aku menguap, oh, tidak! Kumohon, Tuhan, sebelum aku menguap aku ingin ia tersenyum.
                Aku semakin tinggi melayang di udara dan kulihat sebuah mobil berhenti di halte itu. Seorang pria keluar dari dalamnya dan gadis itu tersenyum! Oh! Siapapun engkau, aku sangat berterima kasih karena kau telah menciptakan senyuman itu lagi. Terima kasih.
               
    Untuk pertama kalinya, aku mengagumi seorang gadis.

Sunday, February 8, 2015

Senja dan Jembatan Tua

   Sore sudah berganti senja. sisa hujan yang turun mulai rintik di sela langit Jogja. saya masih celingukan di antara ruas jalan mencari sisa angkutan umum untuk mengantar saya pulang. "tumben" gumam saya. Para angkutan umum itu sudah berputar-putar melewati wajah saya. Tapi apa mau dikata, jejalan yang bahkan sampai memenuhi pintu masuk kendaraan umum itu sudah terisi. Tercium aroma kepulan asap putih dari gerobak mie ayam di seberang jalan sana, membuat perut saya bergetar, saya putuskan untuk makan dulu saja.
   "Halah mas, mas. Tukang angkot memang begitu. Lah aku kemarin sama keluargaku tumpuk-tumpukan di dalem, masih aja dia ngetem, ngakunya kosong. Iki Mas” celoteh pedagang mie ayam sambil menyodorkan satu mangkuk bergambar ayam jago merah di permukaannya.
    "Pernah mas waktu itu, penumpangnya banyak bener, sampe kempes ban mobilnya” ucapnya lagi.
    Saya tertawa mendengar pedagang mie ayam itu. logat jawanya yang kental, serasi dengan mimik wajahnya yang membuat saya terpingkal dalam hati. Saya masih asik dengan suapan mie yang masih hangat, sementara mata saya terpaku pada sebuah jembatan tua yang sudah banyak dipenuhi bekas-bekas stiker dan coretan-coretan pilog di permukaan tubuhnya. Ada sebuah sosok disana, rasanya saya familiar dengannya.
   Setelah merogoh uang sepuluh ribuan, saya langsung menuju jembatan tadi. Wanita berambut coklat gelap, dengan baju biru langitnya berdiri sambil memegang tiang batas jembatan itu. Saya tidak mengenalnya, saya bahkan tidak merasa pernah bertemu dengannya. Rasa familiar yang tadi itu? Ah, anggap saja itu alasan, mungkin saya hanya ingin melihatnya dari dekat, atau hanya ingin mengetahui bayang itu dengan jelas. Saya hanya terus melihatnya dari kejauhan. Sampai angkutan umum berwarna merah tua datang menjemput saya. Sosok itu, tetap diam di bawah bayang.

*****

   Rasanya aku tidak pernah melihat atau bertemu dengannya, tapi kenapa ia memperhatikanku begitu lekat? atau jangan-jangan ia bermaksud jahat padaku? atau jangan-jangan dia...
  Ah sudahlah, lebih baik aku diam sampai dia pergi. Sebenarnya aku tidak berencana menghabiskan waktuku di jembatan jelek ini, aku hanya bosan menunggu malam hinggap di kamarku. Aku juga tidak suka berada di satu tempat yang sama dalam waktu yang lama, tapi tidak dengan tempat ini, tidak dengan jembatan ini.
   Dia masih melihatku. Kuperhatikan ia sejenak, wajahnya terlihat lugu dan kebingungan saat menatapku. Dia hanya pria penyanggul tas hijau di atas bahunya. Mungkin dia penasaran atau benar-benar berniat jahat padaku?
   "Ketahuilah, hei... kau pria penyanggul tas hijau, aku hanya menghabiskan senjaku disini, pergi dan jangan menggangguku!" ucapku kesal dalam hati. Aku tidak bermaksud mengusirnya, aku hanya tidak suka ada seseorang yang lama-lama menatapku, membuatku gugup, atau, kesal.
   Kendaraan berwarna merah tua datang dari selatan, melenyapkan pria itu disusul deru asap knalpot hitam yang berbekas di udara. Aku masih memperhatikan kendaraan merah tua itu dari kejauhan, melihat pria mencurigakan itu pergi, menghilang disusul langit yang mulai pekat.

*****

   Sore itu masih terik. Sinar matahari yang tersisa masih mengancam awan menyingkir dari langit agar menyisakan ruang untuk tahtanya. Saya masih setia dengan sepatu vans butut di kaki saya untuk menapaki aspal panas atau sekedar tanah pasir dan batu yang kering. Sore di alun-alun Jogja memang seringkali terasa panas, apalagi tanpa dilindungi topi satu pun saya mengarungi jalan pulang dari kampus ke kos-kosan mini saya. Sesampainya di perempatan jalan, saya menyebrangi garis putih putus-putus yang melukis aspal hitam yang mengering. Saya menemukan gerobak mie ayam kemarin dengan bapak berkumis tipis di balik tenda yang menghiasi wilayah dagangnya.
    "Minta siji pak, tambah pangsit piro?"
    "Dua belas mas, komplit itu karo es teh."
    "Yowis boleh pak." ucap saya sambil duduk di bangku biru yang sudah berjajar rapi di samping meja kayu panjang. Sambil membuka emping dalam plastik kecil saya tertegun ke arah jembatan kemarin. Jembatan itu kini lengang. Belum ada siapa-siapa disana.
    "Bapak sering lihat cewek di jembatan sana nggak pak?"
    "Sering mas, tiap sore dia disitu. arep bunuh diri kali dia."
    "Hus si bapak malah bercanda."
   Mie ayam di mangkok saya sudah ludes diganti segelas es teh manis yang juga habis. Saya keluar untuk mencari wanita yang kemarin di jembatan itu, benar, dia sudah disana sekarang. Saya penasaran dengannya, kenapa ada orang aneh yang menghabiskan sisa harinya di wilayah seperti ini. Setahu saya, jarang mahasiswa atau mahasiswi yang sekedar mampir ke tempat ini hanya untuk menikmati sisa hari, selebihnya saya tidak tahu, mungkin sama seperti saya, menunggu angkutan umum untuk mengantar pulang menggantikan kaki yang sudah lelah.
   Saya sudah di sebelahnya sekarang. dua meter di sampingnya, tepatnya. Wanita itu hanya menatap kosong ke arah langit jingga yang hinggap di langit-langit angkasa. Saya memperhatikannya amat lekat, sampai mungkin ia terganggu. Dia benar-benar terganggu, dia menoleh ke arah saya. Dia hanya diam, saya juga diam. Saya palingkan wajah saya ke langit yang lapang, menahan malu karena tertangkap basah memperhatikannya. Buru-buru saya hilang dari tempat itu, menghentikan besi merah tua beroda empat dengan lambaian tangan yang menari disekap malu.

*****

   Hujan masih turun. Aku masih terbenam di kasur empukku sambil memeluk guling kecil dalam selimut. Gemericik air yang menapak jalan terdengar bising disusul angin yang menghunus di antara daun dan pepohonan di luar rumah. Ah, 
   "Aku jadi ingat pria itu." gumamku dalam hati. Sudah sekitar empat belas hari ini dia selalu datang di sebelah dua meter di sampingku menangkap akhir sore yang kerap ditutupi awan. Dia tetap seperti yang kutahu, wajahnya masih lugu. Mungkin bodoh. Tapi aku tidak peduli, dia bukan orang asing bagiku, dia tumpuan soreku. Senja juga terlukis di pelupuk matanya.
   Aku ingin mengajaknya berbicara, tapi aku takut dia bertanya sesuatu yang tidak aku inginkan.
  "Apa yang kau lakukan disini?" Aku takut kata-kata itu terucap dan membuat kami tidak lagi menikmati kaki senja di bawah bayang jembatan tua.
   Mungkin bila saat itu terjadi aku akan bercerita padanya tentang sesuatu yang akan membuat kenanganku kembali lalu tenggelam dalam tangis. Ah, air mataku jatuh. sudahlah, yang penting saat pria berwajah lugu itu bertanya demikian, aku akan meninggalkannya. Karena aku pasti bercerita padanya dan akan membencinya.
Sudah hampir satu bulan kami menyisakan sore di bawah jembatan. Menyimpan kenangan kami tanpa suara atau perkenalan.
   Masih dalam bisu. Tiba-tiba pria yang selalu dua meter di sebelahku menghampiriku dan memperkenalkan dirinya dengan sangat gagah. Aku hanya sambut tersenyum saat dia menggantungkan tangannya di udara sambil menyebutkan namanya. Kusambut tangan itu, aku ingat namanya, Denis.
    "Jadi namamu Sri toh?"
   "Ada yang aneh dengan namaku?"
   "Tidak, lucu saja. hampir sebulan kita sama-sama menikmati senja, tapi aku baru tahu namamu sekarang" ucapnya penuh riang. Aku senang melihat rambutnya yang diponi lurus tebal.
    "Maaf, aku tidak berani menyapamu."
    "Tidak apa-apa, aku yang harusnya duluan menyapamu. ngomong-ngomong, apa yang kau lakukan disini setiap sore?" petir seperti tersambar di depan hidungku. Dia menanyakannya.
    "Kok diam? Aku tidak ingin menganggapmu gila dan ingin bunuh diri seperti abang mie ayam disana itu. jadi, apa yang kau lakukan disini?" tanyanya lagi.
    "Aku menunggu seseorang, dia tak kunjung datang."
    "Dia pacarmu?"
    "Bukan, dia orang yang kucintai."
   Aku berkisah padanya. Aku bercerita tentang sosok yang masih tersimpan rapi di relungku. Aku menunggunya, tapi ia tak jua muncul, menghilang. Terakhir kali kami bertemu, adalah di jembatan ini, waktu itu dia berlutut sambil menggenggam bunga mawar di tangannya. Aku menerimanya bak putri-putri dalam dongeng yang seringkali disiarkan di TV pagi-pagi sekali. Kami tidak berkata apa-apa disitu, kami hanya menikmati waktu yang ada sambil tersenyum dengan jemari yang melekat seperti biasa. Kenangan manis itu pupus menjadi lara. Setelah mendengar kabar kehamilanku. Dia sontak terkejut dan menyuruhku melenyapkan kandungan muda di rahimku atas perbuatannya. Dia mencercaku sampai akhirnya melepaskan pelukanku di atas jembatan ini, dan tak pernah kembali lagi.
    "Untuk apa menunggu orang yang pantas untuk mati?" dia bertanya demikian. Aku masih terisak di antara sungai mataku sendiri.
    "Untuk apa menunggu orang yang tak kunjung datang?" ucapnya lagi sambil menatapku.
    "Aku mencintainya." aku terisak.
    "Cinta bukan hal bodoh seperti itu, untuk apa kau menangisinya? dia bahkan tak pantas."
    "Aku mencintainya." aku masih terisak.

*****

   Sudah hampir agak lama saya serius mengerjakan skripsi saya pada bab akhir semester saya. Saya tidak sempat ke jembatan itu lagi, karena saya harus melakukan riset ke wilayah-wilayah lain selain di kota pelajar dengan makanan khas gudegnya ini. Saya teringat wanita itu. Masihkah ia menghabiskan akhir sore di jembatan kecil yang tua itu? atau masihkah ia menyisakan sedikit senyum saat langit mulai berwarna jingga kemerahan? entahlah, yang pasti, saya menuju kesana, ke jembatan tua untuk bertemu dengannya.
   Perempatan itu masih saja ramai. Jembatan itu masih kosong. "Ada apa ini? padahal senja sudah turun dari tadi, kemana gerangan Ia?" gumam saya. Bahkan langit mulai malam, lampu-lampu warung dan gedung sekitar sudah menyala. Sudah pukul tujuh lewat sekarang. Saya tidak kunjung bertemu dengannya. Saya menyerah, mungkin dia tidak datang hari ini, aroma kepulan asap putih dari kejauhan mengundang saya lagi untuk mengisi perut yang agak kosong.
    "Pak, cewek yang sering di jembatan itu, kok nggak ada ya hari ini?" ucap saya setelah memesan.
    "Loh, mas belum tahu? mbak itu meninggal mas, bunuh diri, terjun dari jembatan."
   Tercekat saya dibuatnya. "wanita itu bunuh diri? Sri? dia bunuh diri?" Tanya saya dalam hati seolah tak percaya. Sebegitu sakitkah kenangannya sampai ia melakukan itu?
   Angin bertiup lagi, menyisakan mawar yang membusuk di pinggir aspal dekat jembatan.
   Hujan turun lagi. Bau tanah yang basah yang tidak asing itu mencuri setiap kesempatan untuk masuk lewat celah kecil di atas jendela saya. Tiba-tiba saya terjaga, melihat di balik jendela ribuan anak hujan jatuh disusul suara dentuman mereka yang keras. Sudah tiga bulan ini hujan tak henti untuk menangis. Membuat saya resah sendiri untuk melewati sisa malam yang kunjung pagi dengan kenangan yang tersimpan rapi di benak saya.
   Saya lebih suka ke jembatan itu sekarang. Entah kenapa saya menunggu wanita berambut coklat gelap itu datang lagi. Saya menunggunya sembari menghabiskan waktu untuk berdiam diri di kamar. Ada yang mengusik saya, seorang wanita yang memperhatikan saya dengan keluguan di seberang jalan dekat gerobak mie ayam yang sering saya datangi. Dia menghampiri saya, berdiri tepat dua meter di sebelah saya, tidak berkata apa-apa, masih bisu dalam hening. Menghabiskan sisa senja di bawah jembatan tua.

   "Mas, apa yang kau lakukan disini?"