Thursday, February 12, 2015

Kisah Setetes Air Hujan






Hujan kembali turun.
   Aku kembali menyapa bumi, saat awan tak lagi kuat menahan debitku dan teman-temanku. Ada saat di mana aku akan kembali ke bumi setelah mengalami proses yang panjang dan melelahkan. Ya, aku hanya setetes air hujan dari sekian banyak tetesan air hujan yang menetes dari awan.
   Jika saat aku kembali turun ke bumi dan mendarat di laut ataupun samudera, maka aku akan kembali menjalankan proses membosankan itu. Tapi, jika aku mendarat di tanah, maka aku akan diserap oleh akar-akar tumbuhan dan riwayatku berhenti di sana, atau jika aku mendarat di kendi yang digunakan untuk minum, maka aku akan mengalami proses yang lebih menyakitkan, tubuhku akan disentuh oleh suhu bertekanan tinggi dan mungkin berakhir pada lambung manusia. Itu semakin menyakitiku.
   Saat ini musim hujan dan makhluk tak bernyawa sejenisku akan sering menyapa bumi. Sering kali aku mendengar gerutuan para manusia yang merasa kesal karena kedatanganku membuat matahari tak bersinar sehingga cucian mereka tak kunjung kering. Aku juga sering mendengar seruan tumbuhan yang menyambut dengan senang hati kedatanganku, aku sangat bahagia mendengarnya. Juga hewan-hewan di daerah gersang, mereka sangat bersyukur pada Tuhan atas kehadiranku.
   Entah sudah berapa kali aku kembali menjadi tetesan air hujan. Setiap kali turun, aku selalu mendarat di laut atau genangan air yang nantinya akan menguap, dan sungguh aku lelah menjalani semua ini. Sekali saja, Tuhan, izinkan aku mendarat di kendi milik manusia, tak mengapa jika aku direbus, sungguh aku lelah.
Siang ini, saat aku turun, aku memandang permukaan bumi. Bumi tak pernah lebih baik, malah ia semakin buruk akibat ulah tangan-tangan tak bertanggung jawab. Jika disuruh memilih makhluk mana dari ciptaan Tuhan yang paling bermanfaat, maka aku akan menjawab tumbuhan. Mereka tak pernah menganggu manusia, tak pernah merusak alam, mereka tumbuh untuk memberikan manfaat berlimpah demi kehidupan manusia. Kasihan tumbuhan.
   Kupejamkan mataku erat saat tubuhku semakin dekat mendekati permukaan trotoar jalan. BUMM!!! Oh! Tubuhnku terasa begitu sakit saat membentur permukaan yang keras hasil buatan manusia ini. Lagi, aku menggerutu pada makhluk bernama manusia itu. Kenapa mereka membuat benda sekeras ini, ini sangat sakit bagi kami para hujan saat turun. Kenapa tak menggantinya dengan benda yang lebih lembut lagi? Ah! Aku sungguh tak mengerti jalan pikiran mereka.
   Di tengah rasa sakit yang sedang kunikamati ini, retina mataku menangkap pemandangan terindah yang pernah kulihat. Di halte itu, duduk seorang gadis. Entah kenapa aku merasa tak ada pemandangan yang lebih indah selain ini, ia begitu… cantik.
   Aku terus memandanginya dan berteriak dalam hati agar ia menoleh ke arahku. Tak mungkin aku berteriak menggunakan mulutku karena ia tak mungkin mendengarnya. Tampaknya ia menyukai hujan, sejak tadi yang ia lakukan hanya memandangi kami. Tapi, kenapa pandangannya terlihat sendu? Apakah kedatangan kami membuatnya bersedih? Oh! Aku sering mendengar bahwa hujan membuat hati manusia lebih melankolis, tapi sungguh, kedatangan kami tak bertujuan untuk itu. Tuhan menciptakan kami untuk kebutuhan makhluk hidup di bumi, kami sama sekali tak bertujuan untuk menciptakan suasana hati manusia menjadi seperti itu.
Gadis itu menundukkan kepala dan terlihat menghela napas. Tak lama kemudian, ia mengangkat kepalanya dan tersenyum pada hujan. Senyum terindah yang pernah kulihat, bahkan senyumnya mengalahkan senyum putri hujan yang cantik itu. Tetap tersenyum seperti itu karena aku suka melihatnya. Rambut hitam sebahunya yang lurus terlihat begitu lembut dan aku berharap suatu saat  bisa mendarat di sana. Ingin kucium aroma rambutnya, aku ingin tahu shampoo apa yang ia gunakan hingga bisa memiliki rambut seperti itu.
“AWASSS!!!”
   Aku terkesiap dari lamunanku saat temanku berteriak dari atas. Dengan cepat aku segara meminggirkan tubuhku agar tubuhnya tak menindihku. Fokusku hilang karena semakin banyak tetesan-tetesan air hujan yang turun di sekelilingku. Saat kulihat kembali gadis di halte itu, ia sudah tidak ada. Mungkin menaiki bus yang baru saja berangkat.
   Perlahan tubuhku melayang ke udara, aku akan mengalami proses membosankan itu lagi. Tapi, Tuhan, kali ini aku berharap agar aku kembali turun di tempat ini agar aku bisa melihat gadis cantik itu lagi.

~oOo~

                “Aku bebas…!” pekikku saat tubuhku baru saja keluar dari gumpalan awan.
                Kuangkat kedua tanganku ke atas, menikmati terjun pertama yang menurutku paling menyenangkan, aku kembali ke bumi dan tak sabar untuk kembali melihat wajah cantik gadis itu. Sudah tiga hari aku terkurung dalam gumpalan awan dan melewati proses itu. Aku bosan.
                Saat melayang di udara, aku terus berdoa pada Tuhan agar aku kembali mendarat di atas trotoar depan halte itu. Kupejamkan mataku erat dan tak lama kemudian, kurasakan tubuhku membentur benda keras. Perlahan kubuka mataku dan aku meloncat kegirangan. Aku kembali mendarat di tempat yang sama dan kulihat gadis itu masih duduk di sana dengan pakaian yang berbeda. Hari ini ia memakai pakaian berwarna merah muda, terlihat semakin manis.
                Tapi, raut wajah itu tak pernah berubah. Ia masih saja berwajah sedih dan kali ini terlihat seperti menahan tangis. Ia menggigit bibir bawahnya yang bergetar, mendongakkan kepala demi menahan air matanya agar tidak menetes dan menghela napasnya. Jika kemarin aku ingin mendarat di rambut hitamnya, maka kali ini aku ingin menjadi air matanya agar aku bisa tahu masalah apa yang sedang ia alami sehingga ia menangis.
                “Jangan menangis, gadis cantik! Kau tak boleh bersedih!” teriakku padanya.
Ia sama sekali tak mendengarnya, sudah dapat kupastikan itu. Matanya terlihat memerah karena menahan tangis dan ia masih menggigit bibir bawahnya juga meremas tangannya. Tidakkah manusia di sampingnya itu melihatnya yang sedang bersedih? Kenapa mereka bersikap acuh? Ah! Memang benar, saat ini sifat individualisme manusia memang benar-benar parah.
   “Kenapa kau bersedih? Kau tak boleh menangis!” aku kembali berteriak.
   “Hei! Apa kau sudah gila? Untuk apa kau berteriak seperti itu? Kau kira dia akan mendengarmu? Jangan perduli pada manusia, mereka bahkan tak perduli pada kita.”
Kutolehkan kepalaku pada temanku. Aku memandangnya sejenak dan kembali memandang gadis itu karena tak ingin kehilangannya seperti kemarin. Saat ini kulihat cairan bening itu telah menetes dari kedua sudut matanya, membasahi tebing pipinya yang tembam. Kenapa ia menangis?
   Bus datang dan aku kehilangan harapanku. Ia akan menaiki bus itu dan aku tak akan melihat sosoknya lagi. Dalam hati aku berdoa, agar ia tak lagi menangis saat aku kembali melihatnya. Yang ingin kulihat adalah senyumnya, bukan tangisannya. Jahat sekali mereka yang telah membuatnya menangis.
Pandanganku mengikuti pergerakan bus yang perlahan menjauh. Aku menundukkan kepala, rasanya begitu berat melepaskan kepergiannya. Dan saat kudongakkan kembali kepalaku, aku masih bisa melihat dirinya! Ia masih duduk di bangku itu dan tak menaiki bus. Tapi, air matanya semakin deras menetes. Ia sesenggukan, menutup wajahnya dengan kedua tangannya dan mengusap kasar air matanya. Ada apa dengannya? Apakah masalah itu terlalu berat untuknya hingga ia harus meluapkannya dengan menangis? Oh!
   Aku masih mematung di tempatku menatap ia yang menangis. Tangisnya pecah saat tak ada orang selain dirinya di halte. Hatiku miris melihat gadis secantik dirinya menangis, aku tak tega melihatnya. Jika kau ingin berbagi cerita, bicaralah pada hujan karena kami akan menyimpan rapat rahasiamu. Jangan pada manusia, mereka tak bisa dipercaya. Jika berteriak pada kami bisa melegakan hatimu, maka berteriaklah, kami rela mendengar pekikan suaramu. Lampiaskan pada kami, asalkan kau puas, itu tak mengapa.
   “Dia selalu begitu saat musim hujan tiba.”
   Aku menolehkan kepalaku pada sumber suara. Ia berbicara menatap gadis yang sama, berbicara seolah ia mengetahui segalanya.
   “Kau baru dua kali mendarat di sini?” tanyanya.
   Aku mengangguk.
   “Dulu, aku pernah menjadi bagian dari air mineral di café ternama di kota ini. Saat itu, aku berada di gelas minuman yang dia pesan. Sama sepertimu, kali pertama aku melihatnya, aku juga terpesona pada kecantikan dan senyumnya yang lembut. Tapi, saat kulihat ia menangis di hadapanku, sungguh aku tak tega melihatnya. Dia bercerita pada temannya tentang masalah hidupnya.”
   “Tentang keluarganya?”
   “Bukan, tapi tentang kekasihnya.”
   Kekasih? Jadi ia telah memiliki kekasih dan pria itu yang telah membuatnya menangis? Benar-benar pria kejam. Tega sekali ia menciptakan air mata di mata indah gadis itu.
   “Kekasihnya pergi meninggalkannya saat dia masih mencintai pria itu. Tapi, tanpa dia sadari, teman berbagi ceritanya juga mencintainya.”
   “Bagaimana kau bisa tahu?”
   “Aku menjadi saksi semua itu. Dia berbagi cerita pada seorang pria yang mencintainya. Aku bisa melihatnya dari sikap pria itu saat melihat dia menangis.”
   “Dan kenapa pria itu tak ada saat ia menangis seperti saat ini?”
  “Entahlah. Aku hanyalah tetesan air hujan yang tak tahu hal itu.”
  “Dia masih saja menangis. Apa masalah itu terlalu berat untuknya?”
   “Kurasa seperti itu. Itulah bodohnya manusia, kenapa mereka harus menangisi hal seperti itu? Setidaknya jika mereka ingin menangis, cukup sekali jangan berulang kali. Menangis sepuasnya, cukup sekali, setelah itu berhenti dan tersenyum.”
   “Manusia itu sulit dimengerti.”
                “Ya.” Ia mendongakkan kepala. “Sebentar lagi matahari akan bersinar, kau harus bersiap kembali menguap ke udara. Jangan memikirkan gadis itu, ketahuilah bahwa sesungguhnya ia adalah gadis yang tegar.”
                “Kau tahu segalanya tentang dia?”
                “Hei, setiap musim hujan aku selalu turun di tempat ini dan aku tahu tentangnya. Gadis itu tak pernah berubah, selalu bersikap menyedihkan seperti itu. Membosankan. Sudahlah! Aku harus bersiap-siap menguap.”
                Ia berjalan menjauhiku dan perlahan menguap ke udara. Kini fokusku kembali padanya. Ia tak lagi menangis, tapi masih dapat terlihat guratan kesedihan di sana. Perlahan-lahan aku menguap, oh, tidak! Kumohon, Tuhan, sebelum aku menguap aku ingin ia tersenyum.
                Aku semakin tinggi melayang di udara dan kulihat sebuah mobil berhenti di halte itu. Seorang pria keluar dari dalamnya dan gadis itu tersenyum! Oh! Siapapun engkau, aku sangat berterima kasih karena kau telah menciptakan senyuman itu lagi. Terima kasih.
               
    Untuk pertama kalinya, aku mengagumi seorang gadis.

0 comments:

Post a Comment