Thursday, August 6, 2015

Two Writers, One love Story





Ceritanya lagi nggak ada kerjaan nih , lalu iseng-iseng buka email. scrol ke bawah. Lalu nemu email dari teman yang isinya sebuah cerpen yang waktu itu di lombakan di salah satu penebit. Syarat lomba ini harus ditulis oleh dua orang, cewek-cowok. Lomba ini diberi hastag #CerpenDuetUNSA
Dan kalau baca lagi cerpen ini, suka pengen ketawa sendiri. ternyata begini banget ya tulisanku dulu??? Plot dan Alur ceritanya masih acak-acakan.
Tapi bagaimanapun, itu tetap hasil karya ku. Eh,,,,hasil karya kami berdua. Temen duetku dari Palembang.
Begini isi cerpennya...

 Rama
Panas begitu menyengat kulit siang itu di kota Ciamis, Jawa Barat, tatkala sang surya tepat berada di atas kepala, ketika para siswa SMU Pelita berhamburan keluar halaman sekolah. Tidak biasanya pada jam segitu murid-murid sudah pulang.
Dikarenakan rapat guru, hari ini kami mendapat bonus pulang lebih awal. Semua teman di kelas nampak senang, tapi tidak bagiku, aku malah merasa bosan ketika mendapati diriku sendirian di kamar begitu tiba di rumah yang letaknya tidak begitu jauh dari tempatku belajar.
Dengan langkah gontai aku berjalan menuju meja di samping tempat tidurku, duduk, lalu menyalakan komputer yang biasanya kugunakan untuk mengerjakan tugas-tugas sekolah. Setelah menunggu beberapa saat, terlihat logo klub sepak bola favoritku, AS Roma, di layar desktop.
Jemariku mulai menari di atas keyboard, mengetikkan alamat salah satu jejaring sosial yang saat ini sedang digemari kawula muda, twitter. Bola mataku bergerak ke kiri dan kanan membaca kicauan-kicauan akun yang kuikuti, lalu turun memperhatikan isi timeline berbanding lurus dengan gerakan tanganku yang lincah mengendalikan mouse.
Seketika bola mataku berhenti saat membaca sebuah tweet dari penerbit Bintang Press yang memakai hashtag #LombaCerpenDuet, langsung saja kuklik tautan di dalamnya.
“Wuihh, keren nih, sebagai batu loncatan untuk jadi penulis!Mendadak rasa bosanku jadi hilang entah ke mana, semangatku muncul lagi. Memang sudah lama aku ingin jadi penulis, tapi belum kesampaian.
Aku mendadak galau setelah membaca peraturan lomba itu. “Gila! Kok duetnya mesti sama cewek sih?!” teriakku. Siapa yang bisa dijadikan partner untuk mengikuti lomba itu? Pacar aku nggak punya, teman cewek yang hobi nulis juga nggak ada!
            Akhirnya, aku memutuskan untuk melanjutkan draft tulisanku yang sudah menumpuk. Sampai waktu menunjukan jam satu lewat lima belas menit dini hari  ketika aku melirik jam yang menggantung di dinding kamarku, mataku belum mau terpejam.

***
“Sialan!” gerutuku saat begitu tiba di kelas. Kulempar tasku dengan kesal ke atas meja.
“Kenapa?” tanya Nata yang kemudian menghampiri, teman sebangkuku.
“Aku ngantuk banget nih, semalem nggak tidur,” jawabku sambil menguap, entah ini yang ke berapa kali.
Nata menatapku sambil mengerutkan kening.“Nggak tidur? Memangnya kenapa?” tanyanya.
            Pertanyaan Nata barusan membuyarkan pikiranku. Setelah tiga helaan napas, aku baru menjawab, aku mau ikut lomba nulis cerpen nih..” kataku lirih.
            Segitunya sampe nggak tidur semaleman? Bukannya kamu udah suka nulis dari dulu, praktis nggak ada kesulitan dong?”
“Nulis sih gampang, tapi syaratnya harus berdua, duet sama cewek,” kataku sambil mengerutkan kening. “Bingung nih, mau duet sama siapa..”
Nata tak menjawab, hanya mengangguk-anggukan kepalanya. Aku pun langsung mengeluarkan smartphone dari saku, lalu mulai berselancar di timeline.
“Nah, akhirnya ketemu juga yang lagi nyari partner!” teriakku girang begitu melihat kicauan-kicauan yang di-retweet oleh akun penerbit Bintang Press banyak yang memakai hashtag #CariPartnerCowok.

***
Aika
“Begancang woiiiii!”[1]
Nando, kakakku yang satu sekolah denganku berteriak tepat di telingaku sambil menarik tas ranselnya yang sedari tadi tergeletak manis di samping kepalaku yang kutidurkan di meja. Seperti biasa, kami pulang ke rumah berbarengan naik motor. Kali ini dia harus menungguiku selesai makan tekwan[2] di kantin.
Sambil mengunyah, jemariku mengotak-atik smartphone kesayanganku yang  berbalut gambar shaun the sheep, tokoh kartun kesukaanku. Kutelusuri timeline dengan sabar, hashtag #CariPartnerCowok dan #CariPartnerCewek masih ramai dibahas oleh akun penerbit Bintang Press bersama followers-nya.
Lama menunggu, akhirnya terdengar dentingan kecil, langsung kuklik tombol mention. Aku terlonjak kaget, seketika berdiri dari bangku, tak sadar menyenggol gelas yang langsung terbalik berputar-putar karena gerakan tanganku yang begitu cepat.
“PRAAANNGG…!!!” Gelasku jatuh meloncat dari meja, membelah tiga bagian besar dan beberapa bagian kecil yang langsung berhamburan tak jelas arah begitu menghantam lantai.
“YEEE..DAPET PARTNER COWOK..!!!” pekikku penuh semangat sambil mulai meloncat-loncat kegirangan. Langsung kuraih bahu Nando yang mulai menatapku kebingungan, kutepuk-tepuk punggungnya dengan keras.
“Astaga, malu-maluke bae[3] dio ini!” Terdengar Nando mendesis, yang langsung membuatku menarik lagi kedua tanganku dari tubuhnya.
Kulirik ke sana-sini, seluruh mata siswa-siswi berseragam putih-abu serta seluruh penghuni kantin lainnya sedang mendelik heran ke arahku. Bodo amat, yang penting aku gembira karena sudah berhasil dapat partner cowok. I’m ready for writing a good story!
“Woi, jangan balek[4] dulu, ganti dulu gelas yang pecah!”

***

Mataku hampir terpejam, tapi buru-buru aku menarik kelopaknya ke atas untuk mencegahnya. Sambil tetap terbungkuk di kasur yang terbungkus sprei polkadot hitam-putih, kulayangkan pandanganku yang mulai kabur ke arah dinding bercat hijau muda di seberang.
Aku mengerjap beberapa kali lalu menatap jelas angka-angka di jam dinding yang berbentuk matahari. Jarum pendeknya menunjuk angka tiga dan jarum panjangnya tepat menunjuk angka dua belas. Wah, sudah hampir satu jam aku menunggu telepon dari partner lomba menulisku itu.
Akhirnya, aku mengikuti lelah yang sudah terkumpul di pelupuk mataku. Kupejamkan erat kedua kelopaknya perlahan sambil mendesah malas. Gelap, hanya terdengar suara dentingan lonceng angin yang kugantung di dekat jendela dan gerakan jarum jam.
Selang beberapa menit, suara Rihanna menyanyikan bagian reff lagunya yang berjudul Love The Way You Lie mengalun dan memaksaku untuk membuka mata. Tanganku refleks meraih smartphone di bawah selimut dan membawanya ke telinga kananku.
“Met sore, ini Rama. Sori baru bisa telpon sekarang..” Terdengar suara cowok dari seberang sana, nampak cemas. Lantas bibirku bergerak melengkungkan senyum.

***

Rama
Kesibukan mulai mengisi hari-hariku, tidak ada lagi tidur siang atau kumpul-kumpul dengan teman setelah pulang sekolah. Kini waktuku dihabiskan di depan layar komputer, kadang sampai tengah malam, semua itu demi memenuhi deadline lomba cerpen yang hanya dua minggu.
Beruntung sekali lomba ini dikerjakan berdua dengan partner cewekku,  jadi terasa lebih mudah. Setiap hari kami bertukar ide, berdiskusi, merombak dan mengedit naskah kami bersama meski dari jarak jauh.
Awalnya memang sulit menulis satu cerita dengan dua pemikiran yang berbeda, butuh kekompakan di antara kita. Terkadang, lama aku terdiam memandangi lembar kerja MS. Word yang masih putih bersih di layar, bingung mau melanjutkan naskah yang dikirim Aika via email .

***
“YEAAH… akhirnya selesai juga ini naskah!” pekikku kegirangan setelah jari-jariku selesai mengetikkan ending cerpen. Kuklik icon send pada lembar email. Kemudian, kuraih ponsel yang terguling manis sejak tadi di ujung meja, hendak menghubungi Aika.
“Halo, naskahnya udah kukirim ya!” ucapku semangat setelah terdengar suara Aika dari seberang.
“Oke, nanti aku cek ya!” sahut Aika tak kalah semangat, pasti dia sedang tersenyum di sana. “Gak terasa udah kelar aja nih naskah kita, yakin menang gak?”
Aku tertawa mendengar pertanyaannya itu. “Yakin aja deh, kalau kita menang, aku bakal dateng ke Jogja langsung buat ambil hadiahnya! Ini nadzar lho!”
“Hah? Serius?!” Aika nampak tak percaya. “Oke, kalau kita menang aku bakal ke Jogja juga, biar kita ketemu dan ambil hadiahnya langsung!”
Mendengar tantangan darinya, aku senyum-senyum sendiri. “Oke, ini nadzar yang mesti kita penuhi!” Sedetik kemudian, kami tertawa bersama.

***

“Menunggu adalah pekerjaan yang membosankan”
Benar juga perkataan orang-orang, kini aku dan partner cewekku sedang menunggu hasil seleksi lomba cerpen yang kami ikuti. Dan benar-benar membosankan, satu bulan rasanya seperti satu tahun.
Nada notification di smartphone-ku berbunyi saat aku baru saja mau memasukan sendok yang berisi bakso ke mulutku.
“Ahhh, ganggu orang makan aja. Siapa sih?” gumamku seraya meraih ponsel dan menatap layarnya, ada satu mention. Keningku berkerut saat membaca isi mention tersebut.
“@aika_ku: woi @rama99 cek fanpage dan timeline penerbit Bintang Press sekarang,  pengumuman lombanya udah nongol aja tuh!” begitu kicauan Aika melalui akunnya, tiga detik yang lalu.
Terdiam sebentar, lantas kuklik tombol back, rasa penasaran langsung menggerogoti pikiranku. Bukannya pengumuman masih tiga hari lagi? Jemariku lincah menggeser kursor, mataku bergerak menyusuri timeline. Langsung kuklik tautan yang ada pada tweet penerbit Bintang Press.
Tibalah aku pada lembar pengumuman pemenang lomba cerpen yang menjadi alasan kegalauanku satu bulan ini. Mataku bergerak seiring dengan degupan jantungku. Akhirnya, kutemukan namaku dan Aika di sana!
“YEEE..AKU MENAAANG!!!” Spontan aku berteriak, tak peduli keadaan kantin yang saat itu sangat ramai. Beberapa pasang mata menatapku penuh tanda tanya.
Jari-jariku kini menari di atas keypad, sibuk membalas mention-mention yang berdatangan. Mendadak penghuni dunia maya semuanya seolah sudah kenal denganku saja, banyak yang mengucapkan selamat padaku dan Aika.
Lama aku tertegun di depan layar smartphone-ku sambil senyum-senyum sendiri, sedetik kemudian aku teringat sesuatu! Langsung saja kucari nomor Aika di contact list, lalu berlarian menuju meja kasir, meletakkan uang lima belas ribu rupiah kemudian bergegas keluar dari tempat itu.
“Halo, Ka. Gimana kabarnya mau ke Jogja?!” tanyaku tercekat.
“Hmm..gimana ya?” Aika menyahut dari seberang, nampak ragu. “Aku gak diizinin ortuku sih, waktu aku ceritain nadzar kita, kata mereka biar hadiahnya dikirim aja..”
Aku langsung lemas mendengar jawabannya itu, teringat orang tuaku juga. Pemikiran orang tua kami ternyata sama.
Tak ada kata yang terucap dari kami berdua selama beberapa detik. “Gimana kalau kita perginya diam-diam?” tanyaku kemudian.
“Diam-diam..?”

***

Sabtu pagi aku langsung menuju terminal dengan seragam sekolah yang kututupi dengan jaket hitamku. Dengan bermodalkan uang tabungan dan pinjaman dari beberapa teman, aku memantapkan diri untuk berangkat ke Jogja. Orang tuaku tidak curiga sama sekali waktu kubilang kalau malam ini aku menginap di rumah Nata. Karena besok hari Minggu, mereka pun memberi izin.
Lamanya menunggu keberangkatan menuju Jogja yang masih tiga jam lagi membuatku bosan hanya duduk di antara banyak bus. Lantas aku teringat Aika, sekarang dia pasti sedang berada di sekolah, karena dia berangkat jam satu nanti dengan pesawat.
Kuangkat smartphone-ku ke telinga, baru saja terdengar nada sambung, ada nada lain yang membuatku cemas.
“BLUP..BLUP..BLUP..!”
“Sial, lowbatt!!” pekikku agak tertahan, membuat penumpang lain yang juga sedang menunggu di sebelahku langsung melirik.
Tidak lama kemudian hal yang aku takutkan terjadi, layar ponselku berubah gelap, mati.

***

Aika
Jogja! Ya, akhirnya rengekanku mengenai nadzar itu tidak dipercaya sama sekali oleh orang tuaku, hanya dikira alasanku untuk jalan-jalan. Untungnya, namaku yang keluar ketika kumpul arisan. Giliranku setelah sekian lama menunggu akhirnya datang juga dan menerbangkanku ke Jogja.
Kulirik jam di tangan, sudah satu jam berlalu dari waktuku tiba di bandara Adi Sutjipto tadi. Kini aku menumpang taksi menuju tempat kami sepakat untuk bertemu, kantor penerbit Bintang Press.
Yang membuatku sebal adalah kabar dari Rama yang tak kunjung datang, terakhir hanya missed call yang kuterima jam tujuh pagi tadi. Sebelum berangkat ke bandara SMB II, aku sudah mencoba menghubunginya, di Soekarno-Hatta pun aku coba lagi, sampai sekarang nomornya masih belum aktif. SMS juga belum ada yang delivered.
Masih sibuk mengotak-atik keypad smartphone di tangan, supir yang membawaku akhirnya menegur. “Kantornya yang ini, Neng?” tanyanya sambil menoleh ke arahku, buru-buru aku melirik ke luar jendela. Kubuka mataku lebar-lebar, kubaca tulisan warna merah di depan gedung bercat kuning itu, ‘Penerbit Bintang Press’.
“Bener, Pak, makasih banyak!” pekikku girang.
Setelah turun dari taksi, kakiku langsung bergerak semangat untuk menyeberang jalan yang agak sepi. Wajar saja karena sekarang waktunya maghrib, hanya beberapa kendaraan yang lewat. Tepat di depan gerbang hitam kantor itu aku berdiri, terpaku, kemudian mataku melihat ke sana-sini. “Yah..kantornyo lah tutup, mano katek wong pulok..” [5]decisku pelan.
Sedetik kemudian, perutku mulai berteriak. Muncul pikiran untuk mencari pengganjal laparku dulu sampai sosok pemuda berkacamata dan berambut ikal itu, Rama, datang menghampiri. Aku berbalik menghadap ke jalan, untungnya di seberang sana ada warung-warung kecil, beberapa gerobak dengan terpal dan bangku panjang, setahuku itu yang disebut angkringan.
Bergegas aku menuju angkringan-angkringan tersebut, memilih yang masih ada bangku kosongnya lalu duduk. Kulirik sana-sini, bapak-bapak semua yang sedang asyik nongkrong, hanya ada beberapa anak muda di sini.
Mataku bergerak turun memperhatikan gorengan, sate-sate, keripik, dan sesuatu yang dibungkus di depan mataku. “Nggak jual nasi ya, Bu?” tanyaku.
“Orang baru ya?” tanya si Ibu, empunya angkringan, sambil tersenyum.
Aku terbengong sebentar, lalu memperhatikan penampilanku sendiri. Dari mana ibu ini bisa tahu kalau aku ini orang datangan? Padahal yang kubawa hanya satu tas ransel di punggungku.
“Iya, saya baru nyampe nih, dari Palembang, Bu..” kataku akhirnya sambil melengkungkan senyum, sementara jemariku sibuk mengetikkan SMS untuk Rama, lalu lanjut membuka twitter dan mention ke akunnya.

***

Rama
Secangkir Kopi Joss [6]yang hampir dingin baru saja kuhirup seteguk ketika sosok cewek berbaju putih berbalut jaket hoodie warna cokelat muda itu berjalan dari seberang mendekati bangku tempatku duduk.
Gerakan matanya nampak bingung, lalu ia memutuskan untuk ke angkringan sebelah yang masih punya satu bangku panjang kosong, nampaknya ia takut dengan bapak-bapak berwajah seram di sana-sini. Kuperhatikan ia cukup lama sampai akhirnya dia mengobrol bersama si pemilik angkringan.
“Jauh-jauh dari Palembang ke sini sendirian aja?” tanya si Ibu pada cewek berambut panjang itu sambil menyerahkan sebungkus sego kucing[7].
“Iya sih, tapi nanti di sini berdua kok, ada temen dari Ciamis,” jawab cewek itu sambil kembali melengkungkan senyumnya yang sangat manis.
Masih tak lepas mataku memandang wajah imutnya. Pikiranku berkecamuk sebentar, merasa kenal dengan suara dan wajah itu, dan aku pun mengerti maksud penggalan obrolan mereka.
Tanpa banyak pikir lagi, aku langsung beranjak dari bangkuku, kutinggalkan saja tas eiger hitamku di sana.
“Aika..?!” Aku berdiri tepat di samping kanannya.
Ia menoleh memperhatikanku. Hening, hanya suara degupan jantungku yang terdengar. Jujur saja, aku yakin sekali dialah yang jadi alasanku ke Jogja. Lama ia menatapku lekat-lekat, tiba-tiba ia tertawa renyah, memunculkan kekalutanku. “Rama? Kelaperan juga kamu rupanya?!” cetusnya.
Ah, sialan. Aku terhenyak, bingung, lantas hanya tawa yang bisa keluar dari mulutku. Akhirnya aku bertemu juga dengannya, ada rasa puas luar biasa bisa menatap wajahnya sedekat ini.
“Sori ya, tadi lama nunggu di Soetta. Trus gimana nih, kan kantornya udah tutup?” Celoteh Aika sambil lanjut membuka bungkus nasinya.
Aku pun duduk di sampingnya, meletakkan cangkir kopi yang ternyata terus kupegang dari tadi. “Ya udah, kita tunggu sampe buka,” jawabku.
“Yang jadi masalah itu, kita lupa diskusiin tempat nginep kita di mana. Kamu juga dihubungin gak bisa terus sih!” gerutu Aika yang langsung membuatku tertawa gemas.
“Kalau gak ada tempat nginep ya numpang di rumah ibu aja kalau mau, gratis kok!” si Ibu angkringan rupanya menguping pembicaraan kami sejak tadi.
“Iya, bisa jadi!” teriak kami kompak, haha ini yang biasa diucapkan Aika sewaktu kami mendiskusikan naskah lewat telepon.

***

Aika
Akhirnya! Semua hadiah sudah di tangan, dengan riang kami berjalan ke luar kantor penerbit Bintang Press. Sekarang waktunya kami pulang. Karena Rama berangkat nanti siang, dia pun menyempatkan diri untuk mengantarku ke bandara.
Setelah berpamitan dengan ibu pemilik angkringan, kami bergegas ke bandara menumpang taksi. Begitu tiba di sana, sembari menunggu waktu berangkat yang masih sisa satu jam lagi, kami ngobrol-ngobrol sejenak.
“Eh, trus gimana selanjutnya? Setelah nadzar kita terbayarkan, apa hubungan kita sebagai partner selesai juga sampe sini?” tanya Rama tiba-tiba.
“Hmm, kalo mau lanjut bikin novel duet, boleh tuh!” cetusku sambil membulatkan mata menatap cowok berkacamata itu.
Rama malah mengangguk sambil tersenyum ambigu. “Itu boleh? Tapi kalau aku mau yang lebih dari itu gimana, pacaran misalnya? Boleh?”
“HAH?!” refleks mulutku mengangap, buru-buru kugerakkan kedua tanganku untuk menutupnya. Rama malah asyik menertawaiku. “Jangan gitu becandanya!” cetusku.
“Lho? Itu serius kok!”
Aku terdiam sejenak, lantas suatu ide muncul di benakku. “Kalo gitu jawabannya nanti aku kirim via email deh!” seruku sambil tersenyum nakal.

SELESAI

Tentang Penulis
            SeptyDelyana lahir di Palembang pada tanggal 13 September 1992. Gadis yang akrab disapa Deli ini sedang belajar di FKIP B.Inggris Universitas Tridinanti Palembang. Hobinya menulis dimulai sejak ia duduk di bangku SMP. Untuk lebih mengenal Deli, bisa melalui twitter @septydelyana
            Iwan Dwi Suprianto lahir pada tanggal 28 Maret 1990 di Sukoharjo. Pemuda yang merupakan alumni SMK plus YSB Suryalaya ini gemar menulis di sela-sela aktifitasnya. Untuk lebih mengenal Iwan, bisa melalui twitter @iwantotti_10


Dan ternyata cerpen ini udah pernah di tulis sama partner duetku di blognya. Dengan judul yang sama. "Two Writers, One Love Story"




0 comments:

Post a Comment