Wednesday, March 26, 2014

Senja Dalam Pena

Dalam langkah kecil, seorang anak malu-malu. Menunduk penuh arti, dalam balutan senja yang tenang dan damai sore itu.
Tangannya mendekap erat sebuah buku
harian kecil berwarna cokelat dengan
balutan pita berwarna putih di covernya.
Ia menetap lekat, sangat lekat. Pemandangan tak berujung di hadapannya.

Perlahan ia membuka buku harian yang
sedari tadi di dekapnya. Menghela nafas
panjang. Sembari sekali-kali menerawang sekitar. Angin sepoi-sepoi menyibakkan rambut sebahunya.

Semburat sandikala menyapu pandangannya. Kicauan burung menciptakan harmoni yang begitu indah,
kala lelah mengurung mereka dan senja
yang mulai mucul untuk mengantarkan
mereka ke peraduan tempatnya sedikit
menghela nafas setelah lelah seharian
bertarung dengan waktu.Lembaran pertama ia buka, dilihatnya foto keluarganya.
Ada Ibu, Ayah, dan dua orang adiknya. Raut wajah penuh keceriaan dan hangatnya kebahgiaan begitu terasa, bahkan terpancar dari setiap pemandangan yang berhasil di
abadikan dari sebuah lensa.

Ia kemudian mencoba menjajaki halaman
berikutnya. Lembar demi lembar catatan
yang dibuka, seakan menyapanya, dengan lembut. Mencoba mengiringnya ke waktu
yang lalu. Mencoba meyakinkan dirinya,
bahwa peristiwa-peristiwa dalam lembar kenangan itu pernah ada, pernah terjadi.

Lembar demi lembar mengiring ingatannya ke alam mimpi yang kerap kali membuatnnya terbuai. Satu per satu
bayangan itu muncul. Bayangan tentang
kejadian yang dulu pernah begitu
diharapkannya.
Tapi, sekarang...........
Dunia berkata lain. tidak ada maksud
mendeskriminasi, menjudge, dsb. Ada yang berkata bahwa "Hidup adalah pilihan, bahkan tidak memilihpun itu adalah sebuah pilihan".

Tata hidup yang begitu indah pernah digambarkannya. Tapi, ia haya manusia. manusia biasa yang hanya mampu bemimpi dan berusaha, namun ada dzat Maha Agung yang memiliki kuasa untuk
menentukan segalanya.
Sembari menengadahkan kepalanya, ia
menghela nafas, memutar otak, seakan
berfikir keras. Diambilnya pena cokelat
dari saku bajunya. Melihat lembaran
kosong pada buku hariannya, tangannya
menjadi gatal untuk sedikit menorehkan
goresan di setiap helainya.

"Aku telah sampai di tempat ini, tidak mungkin untuk mundur lagi. Suatu saat
akan kubuktikan bahwa aku tidak berada
di tempat yang salah.....
Bukankah.....tidak ada kesuksesan yang
pernah dijual murah?!"

Senyum simpul tersungging dari bibir
manisnya, sembari menyaksikan semburat senja yang menggelinding perlahan menuju peraduannya.

      Puncak Suryalaya, 26 Maret 2014

0 comments:

Post a Comment