Monday, March 3, 2014

Gadis Sejuta Pesona

"Sebenarnya ini bukan malam." ucapnya
dengan nada lirih menggetarkan bibir
merah mudanya.
"Lalu?" Tanyaku kemudian.
"Seperti belahan bumi yang lain, kita
hanya sedang bergantian matahari." rangkaian katanya selalu memeras otakku.

Aku tak pandai menggabungkan kata demi kata dengan prosa berkelas borju. Yang kata orang-orang bilang, sajak mewah itu bisa bernilai mahal melebihi emas permata.
Agak berlebihan mungkin, namun seperti
itulah makna kata bagi para pujangga yang mengagungkan hidup dalam kata.

Dia, gadis manis bertato lebah diujung
pergelangan tangannya. Dia, gadis dengan paras wajah teduh yang selalu tersenyum pada siapapun yang menyapanya di sepanjang jalan. Dia, hampir tidak pernah aku melihatnya dalam topeng kemuraman.

Namanya Kemuning. Dia gadis berkulit
putih, peranakan jawa-manado sepertinya. Aku baru 3 hari mengenalnya lebih dekat.

Seperti mahasiswa tingkat satu pada
umumnya. Berjalan menundukan kepala
setunduk-tunduknya demi menghindari
teriakan para mahasiswa tingkat tua yang sudah mulai beroyot.

Aku. Peranakan sunda-jawa. Kulitku putih bersih, kelihatannya. Aku sebenarnya tidak begitu menyukainya, ini membuatku tampak seperti laki-laki pemuja laki-laki.

"Karena bergantian mataharilah, gelap itu dinamakan malam" jawabku sekenanya.
"Seperti tawa dan tangis, mereka hanya
saling menggantikan", rangkaian kata-
katanya semakin membuatku tak mengerti harus berbuat seperti apa.

"Ya, mungkin begitu", jawabku lirih
memalingkan pandanganku. Sekilas dia
nampak tersenyum masam. Apalah
artinya, aku tak pernah benar untuk
mengartikannya.

"Hanya karena kamu, aku bisa bertaruh
tentang kehidupan" mulut manisnya
memang selalu pintar menyulam kata-kata menjadi anggun terdengar.

Dia mahasiswi tercantik di universitas
pinggiran kota. Dia wanita anggun dengan rambut ikal yang selalu tertata rapi menutupi buah dadanya. Dia dua tahun lebih tua usianya di atasku.
Aku mengetahuinya setelah hampir tiga bulan aku menguntitnya. Dia selalu duduk di ujung bangku di samping rak buku empat tingkat di perpustakaan kampus. Dan selalu tumpukan buku berbau usang dengan tampilan vintage-nya, menutupi separuh muka halusnya.

Dan selalu, aku hanya berani memandangnya, menikmatinya  mengkhayalkannya dari satu sudut di
ujung berlawananan dengan posisinya.
Kartu pengenal biru muda miliknya itu
yang membuatku berniat mendekatkan
hasrat jiwa lelakiku untuk sekedar
bertegur sapa dengannya.

Aku sudah hampir satu semester menjadi bagian dari universitas di pinggiran kota. Sampai aku berusia hampir kepala dua, tubuhku sepertinya hanya diijinkan Tuhan untuk tumbuh ke atas. Berat badan jauh dari setengah tinggi badanku. Aku tidak percaya diri.

"Apakah itu anugrah untukku?" Tanyaku dengan satu kepulan asap rokok dari rongga hidung.
"Bisa kamu rasakan saja, seperti apa
seharusnya kamu merasakan." Dia berkata dengan bibir yang semakin bergetar.

"Kamu anugrah terindah yang pernah ada, pernah aku miliki." Aku mencoba berpuitis agar terlihat seperti lelaki normal pada umumnya.
"Tidak perlu mengagungkanku, aku sama
seperti yang lain," ucapannya menamparku halus, menggetarkan isi rongga perut dan mendesirkan aliran darah di tubuhku.

Dia berhasil kutemui diujung jalan kota
ini. Kuajak berjabat tangan, kupaksa dia
menyebutkan namanya, kuraih lengannya
untuk kugamit, kubuat dia tertawa. Masih ada beberapa adegan lagi yang kulakukan saat moment perkenalan itu.

Saat aku bisa membaui aroma tubuhnya yang wangi menggoda. Satu-satunya rasa yang kurasakan sepanjang hari itu adalah bahagia.

Hari berikutnya setelah perkenalan itu,
aku membuatnya terhipnotis. Bercerita,
berbagi kisah, bahagia, kesedihan, dan
semuanya terdengar merdu dari
keharmonisan kata-katanya. Sungguh
menjadi aku yang terhipnotis dengan
pesonanya.

"Aku begini karena aku tak cukup banyak kelebihan untuk mencintaimu atau bahkan hanya sekedar suka." Ungkapanku sudah merusakan garis mata coklat keemasan yang membingkai bulat matanya.

"Aku pikir ini hanya sandiwara."
"Kamu lebih cukup dewasa untuk
mengertinya."

Bendungan air matanya kulihat sudah tak sanggup menahan. Aku melihat kesedihan yang membungkus senyumnya.
Ini hari ketiga, malam ketiga pertemuan
kami. Bukan hanya terhipnotis karena
pesonanya, tapi aku terhipnotis oleh
rasanya yang dalam untukku.

Kesalahanku adalah merusak senyumannya. Olah kata kami mulai melemah saat pertemuan ini.
Aku lebih memilih menunggunya bercakap daripada harus memulainya dengan percakapan luka yang menggores pilu matanya. Ada yang berbeda. Tentu saja bukan yang kita kenakan, tapi rasa yang kita teriakan. Tiga hari. Dan aku harus berlari dari ini.

"Apa yang kamu minta apakah akan sama dengan apa yang kau berikan?"
Pertanyaannya dalam, menilisik ujung
hatiku yang entah sebenarnya diisi oleh
perempuan mana.

"Aku tidak akan memintanya lagi."
"Lalu harus bagaimana untuk kita?" Nada bicaranya mulai meninggi, dan kutebak, tak ada satu jam ke depan, perempuan ini akan lari dari hadapanku.

Hening yang menjawab, aku sungguh
bukan laki-laki pada umumnya yang
mampu menganalogikan perasaan dengan
bait-bait kata yang menggetarkan.
Dia sudah menjauh dari hadapanku
setengah jam lalu. Kemuning.

Aku masih terpaku dengan secangkir kopi yang terus mengendapkan intisarinya.

Dentang waktu selalu meninggalkan banyak cerita. Hanya tangis dan tawa yang tak pernah meninggalkan. Selalu ada. Meskipun terkesan sangat lama...

0 comments:

Post a Comment