Friday, August 15, 2014

Menyapa Angin

Ya Allah... Berilah aku keberanian untuk mengucapkan selamat pagi kepadanya....!!!!

*****

   Pagi tak pernah terasa pagi bagiku. Tidak ada perbedaan pagi,
siang, sore dan malam yang signifikan aku pikir. Semuanya
sama, gelap terang terasa sama.
Karena selalu ada dia yang
menetralkan suasana hatiku.
Bagiku, dialah angin pagi yang
berhembus semilir dalam
benakku, berputar-putar seperti
angin siklon yang tiada henti.
Menjadi pelampiasan yang terus bergelut dalam hari.
Dia adalah dia, yang kupuja dan
kunikmati di pagi hari.

“Hei, pagi?”
Dia menengok ke arahku sebentar
kemudian kembali mencermatiku
buku cetaknya yang agak tebal.
Apakah dia mendengarku? Atau
hanya mencari gerakan untuk melepas rasa penat yang menumpuk?

“Hei, pagi?”
Dia kembali menoleh,
menampakkan binar wajahnya yang berseri seperti angin segar di
sore hari.
Aku terdiam cukup lama.
Memandangnya dalam ruang
semuku yang berlapis gelap, walau esok telah pagi sekali pun.

“Hei, pagi?”
Semua salam dan sapaku ternyata
tercekat di tenggorokan, ditarik
dan dimasukkan paksa ke dada.
Semuanya semu. Tidak ada yang
benar-benar kuucapkan untuk ia
dengar. Entah tadi ia menoleh ke
sini untuk apa, aku pun tidak tahu.
Yang jelas keberanianku selalu
luntur begitu saja, aku tak pernah
mampu mengucapkannya. Aku
tak pernah mampu bersikap
persuasif untuk mengadakan adu
argumentasi dengannya. Mengapa
aku begitu penakut?

Dan hari ini, ketika para penuntut
ilmu yang kukira ilmu tidak memiliki kesalahan hendak.bergegas ke pengadilan pendidikan, aku lagi-lagi hanya
terkurung dalam keinginan konyol
yang tak akan pernah bisa kuraih.

Aku hanya dapat melirik malu-
malu pada sesama penanti bus di
halte biru yang atapnya penuh
dengan bunga bugenvil. Membuat
suasana menjadi terlihat bersahaja dengan cinta. Seperti
alur drama yang dibuat-buat.

Hampir dua tahun ini aku
menjalani rutinitas konyol di pagi
hari, menunggu bus di halte
hanya untuk bertemu dengannya.
Berusaha bangun pagi agar tidak
terlambat ataupun melewatkan
kehadirannya. Memilih berdesak-
desakan di bus daripada diantar
dengan motor. Selalu datang
tepat waktu , agar bisa melihat
sosoknya dari awal hingga akhir.
Semua hanya karena angin itu.
Angin yang tak pernah mampu
kujangkau, karena ia terus
berhembus. Mengalir secara cepat
bagaikan kilat. Padahal ia
hanyalah angin.

Seolah mataku tak pernah bisa lepas darinya, berbagai pertanyaan selalu muncul
beriringan dengan sosoknya. Siapa
namanya? Dari mana ia? Bisakah
aku mengenalnya lebih jauh?
Segala pertanyaan yang
berhubungan dengannya melekat
erat. Membuat rasa penasaranku
semakin menguar dan terhembus
kemana-mana.

Aku hanya tahu dia murid dari
SMA Harapan – tak lebih. Itu pun
karena seragam identitas yang
dipakainya. Aku tak pernah
berani mendekat, atau menggeser
jangkah kakiku hanya untuk
melihat nama yang terjahit di
bajunya.

Aku hanyalah pemujanya yang
menghabiskan berwaktu-waktu
demi mempertahankan masa
untuk dapat melihatnya. Kalian
pikir itu sia-sia? Tidak juga –
bahkan mungkin memang tidak.
Karena dengan melihatnya,
bebanku yang bertumpuk bisa
hilang.
Tuhan, izinkanlah aku, untuk
mengucapkan selamat pagi
kepadanya. Sekali saja. Agar dia
mengenangku sebagai teman
penanti bus di kala pagi hari.
Aku jadi berpikir, apakah ia
peduli dan memberikan respon
terhadap kehadiranku? Atau
jangan-jangan ia malah tidak
pernah tahu bahwa aku selalu di
sini untuk menemaninya di pagi
hari.

Ah, ia terlalu suka bergaul dengan
bukunya. Bukan dengan sesamanya. Atau setidaknya, kami
berdua bisa mengobrol banyak di
sini.
Dan sebuah persegi panjang
bermesin dengan lapisan baja
yang beroda pun berhenti tepat di
depan kami. Menghentikan
dimensi-dimensi yang telah
terjalin sedemikian rupa.
Melepaskan momentum yang
menimbulkan aksi dan reaksi
yang tidak diharapkan.
Kehadiran bus itu menghancurkan
segalanya, mengakhiri kisahku di
pagi ini bersama dia. Akankah
ada esok pagi untuk melihatnya
kembali?

***

Jika aku harus bercerita tentang
cinta pertama. Maka, aku akan
menjawab, "Ya, mungkin dia
memang cinta pertamaku."
Padahal dalam pernyataanku ini,
aku belum tentu tahu apa itu
cinta beserta maknanya. Aku
mengenal cinta, tapi aku belum
tentu benar-benar memahaminya.
Tapi, setidaknya, aku memiliki
cinta. Di mana aku bisa mencintai
seseorang yang aku pikir - ya, dia
memang pantas untuk dicintai.
Karena semua orang memang
punya hak paten dalam hal ini.

“Bagaimana dengan misi selamat
pagi-mu itu?” tanya Asri memulai
pembicaraan. Aku hanya
merespon dengan gelengan pelan.
“Gagal lagi?”
“Ya, entah yang sudah keberapa
kali,” jawabku sambil menghela
napas pelan-pelan.

Ayolah, Marry, kamu adalah
perempuan dan dia laki-laki.
Apakah aku benar-benar seberani
itu untuk mengucapkan selamat
pagi kepadanya? Apakah aku
benar-benar punya nyali untuk
memulai segalanya. Di mana-mana laki-laki-lah yang seharusnya
menjejakkan kakinya duluan.
Seperti Adam, yang terlebih
dahulu ada ketimbang Hawa.
Masa aku yang harus mencoba
memulainya. Toh, lagipula ia
belum tentu memberikan respon.
Aku malah terlihat agresif dalam
posisi ini.

Biarlah mengalir seperti angin.

Tapi bagaimana jika ia tersendat?
“Kamu pasti bisa.” ujar Asri
memberi semangat.
Aku pasti bisa? Kupikir tidak, semua ini hanyalah ruang semu yang tidak berbatas.

“Tidak, kurasa tidak.”
Asri menatapku tajam, dia tahu benar bahwa aku punya misi "selamat pagi" untuk anak dari SMA Harapan itu. Tapi, dia tidak
pernah tahu benar, bahwa aku
akan menyerah. Menyerah untuk
meninggalkan misi konyol itu –
misi yang aku perjuangankan
hanya demi sebuah cinta pertama.

“Kenapa? Kamu menyerah?
Secepat itukah?”
“As, dengar aku baik-baik. Kurasa
ini adalah solusi terbaik daripada
aku harus termangu sendirian di
halte. Aku perempuan dan dia
laki-laki. Orang-orang masih
menganggap bahwa perbuatan
yang akan aku lakukan ini tidak
lazim. Hal ini lebih baik
dilakukan oleh pria dulu, daripada
wanita. Lagipula, ini tidak secepat
yang kau pikirkan. Ini lama, dan
ini dua tahun – atau lebih,
mungkin? Jadi kurasa, ini
memang puncak usahaku. Ada hal
yang jauh lebih penting untuk
dilakukan bukan?” ujarku – alibi
untuk memotivasi diri sendiri.

Selebihnya, ada bayang-bayang
yang mengalir indah di dalam
otakku, menelusuri tubuhku sampai ke hati.
Ya, ia ada dalam hatiku. Menjelma
sebagai nadi yang terus berdegub
walau bayang nyatanya tidak ada
di sini.
Asri terdiam untuk beberapa saat
– kemudian menatapku tajam.

“Pertama adalah pertama. Tidak
sama dengan yang kedua maupun
yang ketiga. Dan yang pertama,
tidak akan pernah terjadi untuk
kedua kalinya, begitu pula angka-
angka urutan yang lain. Simak
baik-baik, Marry, segalanya tidak
terjadi dua kali. Pertama adalah
pertama.”
Dan ucapan Asri terus terngiang-
ngiang dalam benakku, menguar
tajam bersamaan dengan
bayangnya.
Segala tidak terjadi dua kali.
Pertama adalah pertama.

***

“Hai, pagi? Hari ini hari yang
cerah, ya? Tapi sayang bus-nya
tidak kunjung datang. Ngomong-
ngomong kamu naik bus jurusan
apa?”
Tertelan...
Semua sukses tertelan.
Dan lagi-lagi aku tak sanggup
mengatakannya. Lidahku kelu,
dan bibirku terekat erat satu
sama lain. Tidak ada yang bisa
kusuarakan di sini.
Suasana halte tampak sepi karena
waktu baru bergulir ke angka
setengah tujuh, membuat orang-
orang masih enggan untuk
menguarkan aura semangatnya
untuk keluar dari rumah.
Beda denganku, yang masih punya
misi. Sebuah misi konyol yang aku
pun masih belum mengerti –
mengapa aku melakukannya.
Semuanya di luar nalar, semuanya
diluar kontrol logika. Karena yang
berjalan adalah perasaan, tentu
emosi yang mewakilinya.
Terkadang, aku merasa sangat
konyol. Ini tidak masuk akal!
Menjadi pemuja rahasia di kala
matahari masih enggan untuk
bersinar. Menjadi seorang stalker
sejati di pagi hari. Mencuri-curi
gerak-geriknya ketika bayangan di
tanah memanjang dan membelakangiku.

Mengapa aku dengan tega
menghabiskan setiap pagi hanya
untuk memujanya. Memuja cinta
urutan kesatu. Padahal, belum
tentu menjadi yang terakhir.
Harusnya aku ingat, pernyataan
apa yang jadi pondasi keruntuhan
ini. Bukankah ia belum tentu
memperhatikanku seperti aku
memperhatikannya. Bukankah ia
belum tentu peduli padaku,
seperti aku peduli pada gerak-
geriknya. Bahkan mungkin, ia belum tentu tahu bahwa aku ada
di sini.

Karenanya, beranikan untuk
menyapanya. Buat kesan bahwa
kau ada. Jangan biarkan angin
berhembus dan menggoyangkanmu begitu saja. Tunjukkanlah bahwa keberadaanmu yang ibarat rumput, meyakinkan angin yang kasatvmata, bahwa ia ada. Dan jangan biarkan ia berhembus begitu saja.
Jangan biarkan ia melaluimu tanpa
tahu, bahwa kamulah yang
memberi warna pada
keberadaannya. Jangan.

Sebuah suara berbisik.
Memberikan sebuah tombak
semangat yang memberanikanku.
“Apa kabar? Bagaimana kabarmu?”
Tidak ada jawaban. Karena semua
kalimat itu lagi-lagi tertelan
Aku rumput di pagi hari yang
pengecut. Lebih pengecut dari
bakteri sekali pun.
Tuhan, mengapa sulit sekali untuk
memberi salam selamat pagi
untuknya.
Aku masih berkutat dengan angin
pagi yang menyesakkan. Angin
pagi yang menyumbat otakku
untuk berpikir sampai akhirnya
ada sebuah suara yang
memanggilku – entah yang
keberapa kali. Yang jelas, aku
sedang terjun bebas ke dalam
alam bawah sadarku.

“Permisi, mau tanya.”

Bayang-bayang itu kembali
berdegub di dalam nadiku. Tiba-
tiba auranya menguar ke segala
penjuru. Entah itu barat atau
timur. Semua serasa di dalam
kotak dimensi yang mengurungku
dan dia.
Dengan segala keterkejutan yang
ada. Aku berusaha untuk menoleh
kea rah suara itu. Suara angin
pagi. Angin tak pergi begitu saja,
ia peduli pada seonggok rumput
yang sekarat di pagi hari.
“i... Iya?”
Dan benar, memang dia.
Bayanganku tentang dia sukses
sudah! Aku tahu bagaimana dia
secara visual, dan kini aku tahu
benar tentang dia secara audio.
Bagus, angin yang indah.
Dan tentu saja, hari ini aku tidak
perlu mencekik leherku sendiri
karena ia tidak mau berkompromi. Laki-laki itu, malah yang terlebih dahulu bersuara.

“Jam berapa ya? Aku lupa bawa
jam tangan.” dengan gelagapan
aku menarik tanganku dan
mencoba mengecek pukul berapa
sekarang. Aku tak habis pikir, apa
yang aku idam-idamkan selama
dua tahun terakhir akhirnya
terjadi.
Dia berbicara padaku. Dia sedang
berbicara padaku. Padaku! Aku!
Aku bukan rumput yang
terlupakan! Dia telah meraih
anganku!

“Jam setengah tujuh lebih lima." jawabku, sebisa mungkin kulancarkan agar tidak
menimbulkan spekulasi yang
tidak-tidak pada benaknya.
Tapi, aku heran, mengapa ia tidak
melihat jam di ponselnya. Atau
jangan-jangan, ia memang punya
tujuan terselebung.
Aku berharap yang tidak-tidak.
Segalanya tampak terancang
indah. Jika akulah sang
Penghendak maka pasti akan
lebih indah lagi dari ini.
Sayangnya, aku bukan Dia. Dia
yang begitu Agung menciptakan
takdir. Sedang aku, malah
menyebutnya kebetulan karena
aku tak percaya kenyataan pahit.
Aku menganggapnya sebagai ilusi.
Padahal, Tuhan, pasti
menciptakan rancangan waktu
yang lebih indah daripada yang
aku pikirkan.
“Oh, makasih,” jawabnya –
tersenyum. Lagi-lagi, bayanganku
tentang dirinya semakin
sempurna. Aku kini melihat
senyumnya. Sebuah simbol yang
mendekatkan jarak antar dua
manusia. Itulah senyum, itulah
fungsi senyum yang sebenarnya.

“Kamu naik bus jurusan apa?”
Aku tergagap. Ini pertanyaan
yang tadi tersimpan erat dalam
benakku. Dan kini, ialah yang
dengan sukarela menanyakannya.
Haruskah aku menjawab, “Kau
tahu, aku ingin menanyakan hal
ini terlebih dahulu untukmu."

“Aku naik bus jurusan Samirana,”
“SMA Garuda?” tebaknya. Aku
hanya mengangguk malu.
Bagaimana bisa pembicaraan ini
mengalir begitu saja. Aku ingin,
pembicaraan ini akan terus
mengalir. Seperti angin yang tak
pernah berhenti berhembus. Tapi,
aku ingin angin tahu, bahwa ia
meninggalkan jejaknya padaku.
“Kalau kamu?” aku mencoba balik
pertanya, berharap akan timbul
pertanyaan-pertanyaan berikunya.
“Aku naik bus jurusan Braja. Mau
ke SMA Harpan.” ujarnya sambil
lagi-lagi – tersenyum.

Pembicaraan terus berlanjut.
Kami berbicara tentang hal-hal
sederhana sampai yang rumit.
Dari yang tidak terpikirkan
sampai yang menjadi beban.
Segalanya kami saling bercerita
Saling memberi informasi.
Aku harap ini tak berakhir pagi
ini. Aku harap ini tak berakhir
hari ini saja. Masih ada hari esok
untuk saling bertukar sapa dan
bercerita. Aku harap tak akan
berakhir.

Tiiinnnn....!!!!

Suara klakson tiba-tiba membuyarkan lamunanku. Aku
berada di luar trotoar, mendekati
tempat pemberhentian bus. Dan
semua bus telah geram dengan
keberadaanku yang tidak tepat.
Aku segera berjalan mundur
sambil menunduk – malu.
Dan tiba-tiba semua terlihat
begitu nyata dengan eksata-eksata
yang ada. Ekspektasiku hancur
sudah. Lebur dalam hembusan
angin yang mengalir entah kemna
Ternyata semua hanyalah semu.
Tidak ada yang benar. Semua
hanya berada dalam pikiranku.
Beradu dalam ilusi yang aku pikir
– itu pasti nyata.

Tapi ternyata tidak ada
perkacapan sistematis yang
terjadi, semua hanyalah ilusiku –
yang sering kukatakan kebetulan.
Makanya aku menyebutnya
kebetulan – karena akulah yang
membuatnya dalam alam pikirku.
Bukan takdir – yang nyata Tuhan
ciptakan.
Karena takdir Tuhan tak bisa
kuprediksi. Aku hanya bisa
berekspektasi sampai segalanya
menjadi doa-doa – semoga
menjadi kenyataan. Sampai
akhirnya, aku tak bisa
membedakan mana yang nyata
dan mana yang semu.

Kulihat, laki-laki itu telah
bergegas masuk ke dalam bus.
Bus jurusan Bantala, dan bukan
bus jurusan Samirana seperti apa
yang ada di dalam ilusi.
Semua tiba-tiba terhempas, dan
hempasannya terhembus oleh
angin. Aku ilusi, aku hanyalah
ilusi pagi yang memuja-muja
emosi terindah pertama yang tak
kunjung mendekat.
Semua terhempas, terinjak oleh
roda-roda mesin berbaja yang
melaju dengan kecepatan tinggi.
Angin meninggalkan rumput yang
telah terporak-porandakan. Tidak
ada yang nyata. Dan klakson-
klakson hina itu telah
menghancurkan khayalanku.
Aku menatap laki-laki itu. Laki-
laki yang ingin aku sapa setiap
pagi. Tapi ternaya, aku tidak
punya keberanian untuk bertukar
sapa dengannya.

Sampai akhirnya kami tidak
pernah bertemu lagi di halte, aku
belum juga bisa mengucapkan
selamat pagi kepadanya. Entah di
mana ia sekarang. Kelu dan sesal
masih tertinggal.
Misiku yang telah terpendam
bertahun-tahun, akhirnya
kunyatakan gagal. Pertama adalah
pertama, dan tak akan
tergantikan.
Walaupun aku tak pernah mampu
dan aku tak pernah berani
mengucapkan selamat pagi
kepada-nya. Tapi rutinitas setiap
pagi itu akan terus kukenang.
Sebuah perjuangan konyol untuk
melihat sosoknya di pagi hari
Sosok yang telah terhormat
menjadi bagian dari kisah
romanku. Dialah yang jadi awal.
Yang jadi cinta pertama sebagai
angin yang tak pernah melihat
sejumput rumput.

Mungkin, esok – entah berapa
lama masa yang akan terlewatkan.
Aku mulai berekspektasi (lagi) –
bahwa aku akan bertemu dengannya lagi. Dan pada hari di
mana aku akan bertemu dengannya, lidahku tiada kelu lagi, bibirku tiada rekat lagi. Dan aku akan sanggup mengatakan. "Selamat Pagi Angin..."

0 comments:

Post a Comment