Suara riuh anak-anak, kadang memekik kadang bersahutan, semua larut dalam kegembiraan.
Di aula sederhana berdinding retak dengan cat tembok yang mulai meluntur mereka riang gembira bersama sosok gadis bertubuh luwes yang kadang menari dan mengikuti suara nyanyian dari mulut anak anak usia sekolah dasar.
Dyah mengangkat tangannya yang menggenggam beberapa bungkusan putih mencoba menghindari tangan-tangan kecil yang coba meraih benda itu dari tangannya, sebuah hadiah yang siap diberikan kepada siapa saja yang mampu menjawab pertanyaan yang disampaikan kepada anak-anak itu.
Fadli memandangi keriuhan itu dengan senyuman, disudut dimana teronggok meja dan kursi kecil. Ia begitu mengagumi sosok gadis yang sekian lama menjadi kekasihnya, satu sosok yang jika boleh ia nobatkan pada hatinya sebagai sosok sempurna. Bersama anak-anak yatim piatu itu waktu akhir minggu selalu dilalui Dyah bersama Fadli, di satu panti asuhan yang menampung sekian banyak anak-anak korban bencana.
“Membuat mereka tertawa adalah suatu kebahagiaan bagiku, Fadli.” ujar Dyah ketika satu kali Fadli bertanya mengapa Dyah tak pernah berhenti mengunjungi anak-anak yang nasibnya begitu malang.
Fadli mengenal Dyah sebagai gadis yang begitu peduli pada anak-anak terlantar, ia begitu jatuh hati tatkala tangan-tangan halus Dyah tak ragu menggandeng beberapa anak jalanan yang lusuh untuk sekedar mengajaknya bermain, dan nyanyian senda guraunya melantun di antara anak-anak panti asuhan yang tak mengerti siapa ayah dan bundanya.
Kesederhanaan, kedermawanan seolah melengkapi kecantikan Dyah di mata Fadli. Fadli tak pernah putus berharap suatu saat kelak Dyah bisa menjadi pendamping hidupnya meski Dyah beberapa kali menampik keinginan Fadli itu.
“Kepada siapakah kelak kamu akan mempersuntingku Fadli, tak pernahkah kamu berpikir aku ini anak yang tak lagi memiliki orang tua. Mereka dan semua penduduk kampung hilang ditelan bencana, aku hanya mempunyai mereka yang sama-sama tinggal di panti asuhan yang kebahagiaannya direnggut oleh alam dan tak mungkin dihindari.” bulir airmata Dyah jatuh bagai biji delima manakala Fadli bertanya apakah ia boleh menjadi pendamping hidupnya.
“Engkau adalah milik Tuhan, Dyah. Siapapun yang diperbolehkan Tuhan menjadi walimu akan aku datangi dengan sekuat tenaga. Engkau cahaya, pemberi arti dalam hidupku dan pengisi kebaikan yang tengah aku cari. Aku mencintaimu apa adanya...” seru Fadli pada Dyah yang tergugu.
Bibir Dyah yang ranum, dengan tepian yang meliuk keatas membentuk sebuah senyum tak mencerminkan hidupnya yang getir. Ia hidup seorang diri sejak balita tatkala bencana merenggut seluruh keluarganya. Perjuangan hidupnya di sebuah panti asuhan dalam kesepian usapan lembut seorang ayah dan bunda membawanya menyadari bahwa hidup harus dilanjutkan dan tak berhenti hanya larut dalam kesepian, Ia berjuang menyelesaikan sekolahnya dan bekerja menghidupi dirinya hingga ia bertemu Fadli , lelaki teman bekas teman kuliahnya yang setia menemani kemanapun ia pergi, dengan cintanya.
Suatu hari, Dyah mengambil cuti kerjanya dan memilih setiap hari mendatangi anak-anak di panti asuhan tempat ia dibesarkan. Fadli tak henti menemani, meskipun hanya sekedar mengantar dan menjemput Dyah ke panti asuhan sebelum dan sesudah pulang dari kantornya.
“Kenapa kamu tiba-tiba memilih cuti untuk bersama anak-anak itu Dyah, bukankah akhir minggu kita sudah bersama mereka dan mereka sudah cukup gembira?” Tanya Fadli sedikit heran.
“Aku ingin lebih dekat dengan mereka, aku ingin sebisa mungkin lebih sering mengisi hidup dengan mereka, anak-anak yang tidurnya selalu diselimuti oleh rasa kehilangan.” jawab Dyah sambil menatap Fadli. Fadli hanya mengangguk, ia larut dalam kekaguman ketika wajah dan mata yang cantik itu menatap kedua matanya.
“Fadli, seberapa besarkah cintamu untukku?” Tanya Dyah
“Aku tak tahu, aku tak bisa mengukurnya, teramat besar mungkin, hingga sulit mengukurnya. Mungkin lebih besar dari rasa cintamu kepada tempat ini.” Jawab Fadli.
“Tak bisakah kamu mengukurnya, maukan kau membuktikannya?” kejar Dyah, Fadli tak sanggup menjawab dengan kata-kata, ia hanya mengangguk.
“Baiklah, jika kamu begitu mencintaiku. Berilah aku waktu satu hari untuk berpikir, jangan kamu menghubungi aku, jangan kamu bertemu aku dan cobalah untuk satu hari saja tidak memikirkan aku. Bisakah Fadliku sayang!” pinta Dyah dengan semangat.
“Seandainya hal ini bukan kamu yang meminta, mungkin aku tak akan sanggup. Aku akan membuktikan cintaku itu dengan permintaanmu, Aku ingin kamu menjadi istriku!” jawab Fadli tegas, disambut isak tangis Dyah yang tiba-tiba penuh haru.
“Terima kasih Fadli, terima kasih untuk cinta kamu, Jumpai aku disini jum'at pagi, aku akan menjawab semuanya” Isak Dyah yang merasakan jemarinya hangat digenggam dan dikecup oleh Fadli.
__________*****__________
Detik serasa panjang ketika Fadli meninggalkan Dyah di halaman depan Panti asuhan. Malam itu Dyah tak ingin kembali ketempat kostnya, ia ingin bermain dan menikmati kebersamaan bersama anak-anak, menghiburnya, untuk kemudian membuat suatu keputusan bagi Fadli, bagi cinta Fadli.
Selama ini, mereka berdua tak seharipun tersekat kabar, meski hanya sapaan Assalamualikum di pagi hari lewat telephone ataupun selarik SMS kala berjauhan jarak.
Cintalah yang menghiasi persahabatan mereka dan memberi asa untuk saling melengkapi, dan dihari yang panjang itu, Fadli diminta untuk membuktikan cintanya dengan hal yang tak pernah ia lakukan sebelumnya.
Tak semudah yang dibayangkan oleh Fadli, melupakan sejenak Dyah yang begitu mengelorakan hatinya adalah pekerjaan berat yang harus dilalui. Ia menyibukkan diri dalam pekerjaannya hingga detik, menit dan jam berlalu menguji rasa cintanya pada Dyah.
Ketika melirik jam usai shalat subuh, Fadli tak kuasa untuk mencoba meraih handphonenya dan berusaha mendial nomor Dyah tetapi urung karena ingat kalimat terakhir Dyah yang meminta agar ia menjumpainya di Panti asuhan untuk mendapatkan jawaban cintanya.
Mentari pagi menerobos diantara pohon, memantulkan warna cerah buah-buahnya yang tumbuh di halaman panti asuhan. Beberapa orang juga tengah bergegas memasuki jalan berekerikil yang asri ketika Fadli memarkir kendaraannya di sisi samping pintu utama.
Degup jantung Fadli serasa tak beraturan ketika ia melangkah menuju ruang aula yang biasa diisi riuh rendah tawa anak-anak. Pagi itu tak ada tawa, sepi memagut dan keheningan seolah menghantarkan degup jantung Fadli yang kian mengeras menanti jawaban pasti cintanya.
“Mbak Dyah ada?” Tanya Fadli kepada satu anak perempuan di salah satu selasar menuju ruang aula. Ia tiba-tiba menggamit tangan Fadli dan membawanya ke satu ruang yang lebih kecil di sisi utara aula. Begitu banyak wajah murung dan isak tangis tatkala Fadli menerobos dikerumunan orang lalu mendapati sesosok tubuh yang tengah terbaring pada ruang yang putih bersih dengan aroma bunga melati serta alunan ayat suci.
Seseorang membuka penutup wajah pada sosok yang terbaring dan Fadli menemukan wajah tersenyum dari gadis yang amat dicintainya itu, Dyah. Gadis yang amat diharapkan pagi itu memberi jawaban bagi harapan hidupnya yaitu memintanya menjadi pendamping hidup sebagai istri namun ia kini pergi untuk selama-lamanya.
Fadli tak kuasa menahan tangis, hatinya pedih namun suara tangis dari mulutnya tak mampu ia bungkam diantara beberapa orang yang menatap dirinya dengan penuh kesedihan.
“Inalillahi wa inaillaihi Rojiun!” tubuh Fadli bergetar, ia tak mengerti arti pagi itu. Orang yang dicintainya, seseorang yang penuh keindahan memberikan kebahagiaan pada orang lain dan tak pernah berhenti mengundang tawa bagi anak-anak yang tak memiliki siapa-siapa, kini pergi untuk selama-lamanya dalam skenario bersama Sang Pemilik Jiwa...
Secarik kertas putih dalam amplop disodorkan pada Fadli oleh seorang anak kecil dari samping jenazah, kertas itu begitu harum dan dititipkan pada anak tersebut untuk disampaikan kepada Fadli di Jum'at pagi jika ia tiba.
Fadli merobek surat itu dan membacanya perlahan, sementara isak tangis tetap tiada henti dari anak-anak kecil dan seluruh penghuni panti asuhan.
Assalamualaikum Fadli...
Lelaki yang penuh hormat telah menyayangiku, seorang gadis yang tak henti hidup dalam kesendirian namun tak pernah berhenti memerangi rasa kesepian bersamamu.
Jika kamu membaca surat ini ketika aku sudah terbaring, maka kamu telah membuktikan cintamu padaku sepenuh jiwa, dan yang paling penting kamu telah membuktikan bahwa kamu adalah lelaki sejati yang mampu menghadapi apapun yang terjadi. Terutama bisa hidup tanpaku di sisimu.
Sejak pertama bertemu, penyakit kanker darah ini sudah menyerang diriku, dan aku tak sanggup melawan hari-hari melawan keganasannya, apalagi menyiksamu dengan derita yang aku hadapi. Aku hanya menghitung hari demi hari bersama kebahagian kamu dan anak-anak di Panti Asuhan ini.
Wahai pangeran pendamping surgaku, jalankanlah hidup sehari lagi seperti hari yang kau lakukan kemarin, dan ulangilah selalu setiap hari tanpa mengenang aku.
Aku tahu kamu mencintaiku, tapi aku lebih yakin padamu untuk mampu menjalani hidup tanpa diriku.
Hapuslah air matamu dan aku mohon lanjutkanlah niatku untuk membahagiakan anak-anak yang ada di sini bersamamu, paling tidak untuk satu hari lagi tanpa diriku...
Ijinkanlah aku menghadap Tuhan tanpa menyakiti dirimu.
Lovely - Dyah.
Fadli bersimpuh di sisi Dyah yang tengah tersenyum, seorang yang rela hidupnya tak membebani siapapun dengan deritanya. Tadi malam, Ia meninggalkan kesendirian kembali kepada anak-anak yang selama ini ia coba bahagiakan, anak-anak yang kehilangan orang tua karena keganasan alam seperti dirinya ,juga meninggalkan Fadli dengan segenap cinta yang bersama dimiliki.
Fadli menatap anak-anak yang berkerumun dengan kitab suci ditangan mereka, dan berjanji untuk tidak meninggalkan mereka meski tanpa Dyah di sisinya dalam kesendirian.
"Selamat jalan Dyah... Bidadari pendamping surgaku." ucap Fadli lirih di sela isak tangisnya.
0 comments:
Post a Comment