Suara bising roda beradu dengan rel berdesing, sesekali berdecit lalu mengeluarkan suara keras, asap mengepul seperti pipa rokok. Aku sudah mendapatkan tempat yang nyaman ketika kereta melaju. Jam empat dini hari, aku mengencangkan
jaketku, meminum teh yang baru
saja kubeli di stasiun tadi.
“Boleh saya duduk disitu?”
Aku menoleh, wanita muda dengan wajah kusut dan pucat, dia
tersenyum, kuperhatikan dia, sekilas Aku seperti pernah melihatnya, dia kerepotan dengan berbagai macam barang bawaannya. Aku balas tersenyum lalu mengangguk, menyilahkannya duduk.
“Silahkan” ujarku.
Wanita itu buru-buru menurunkan barang bawaannya, lalu duduk di kursi di hadapanku.
“Anda mau teh? udara di luar
sangat dingin.” kataku sambil
menuangkan segelas teh untuknya,
asap menguar dari gelas.
“Terima kasih, di luar memang
dingin sekali.” katanya sambil
menyambut teh yang kuberikan.
“Saya Desy” katanya lagi, lalu
menjabat tanganku.
“Ve, Verena” kataku.
“Nama yang indah, saya juga
menamakan anak saya dengan nama Ve” katanya, lalu hening.
“Anda percaya cinta pertama?”
tanyanya kemudian, aku mengangguk.
“Anda pernah mengalaminya?”
tanyanya lagi.
“Setiap orang pasti pernah
mengalaminya bukan?” jawabku
pendek, menghirup aroma teh
dalam-dalam. Ia tersenyum.
“Cinta pertama jarang berakhir
bahagia” gumamnya. Aku menatap
ke luar jendela kereta, suasana
sudah mulai remang-remang,
matahari perlahan menyembul dari balik pepohonan, embun
mengkristal. Kereta tetap melaju,
meninggalkan semua yang
dilaluinya, satu persatu dengan
cepat, pohon itu fragmen kenangan, mengumpul menjadi satu, dan aku terbawa.
“Anda kelihatannya punya masa lalu yang buruk tentang cinta pertama.” kataku padanya, tehku sudah mendingin, di luar sekarang sudah benar-benar terang, dan kereta terus melaju.
“Sepertinya iya, apakah cinta
pertama anda manis?” katanya balas bertanya, aku menatapnya sebentar, tersenyum.
“sebenarnya lumayan.” kataku
“Oh ya?”
“Lumayan menyedihkan.” kataku lagi, awan-awan bergerak, hanya
beberapa tahun, tidak bahkan
beberapa hari saja semua kejadian
berubah menjadi kenangan.
“Bisakah aku mendengar kisah cinta pertamamu?” tanya Desy, seolah kita sudah saling mengenal sejak lama, aku mendongak, menatap wanita yang baru kukenal itu.
“Tentu!” kataku pendek. Desy
mengatur posisi duduknya.
_________
Flashback....
“Hari ini latihan di rumahmu kan
Ve?” kata suara di belakangku sambil menepuk bahuku, aku terkejut. Eko!
“Iya, Dina udah kamu kasih tahu?”
tanyaku, Eko menggeleng.
“Kamu kan saahabatnya” katanya
lagi.
“Kamu kan pacarnya” balasku
“Aku kan baru tahu sekarang”
katanya lagi, aku mengangguk,
menyerah, tak ingin berdebat
dengannya. Aku membereskan buku-buku yang berserakan di mejaku.
Hening sesaat, aku diam.
“Ya udah deh, see you ya neng” kata Eko akhirnya, lagi-lagi aku hanya mengangguk, pura-pura sibuk membereskan buku-bukuku, padahal semuanya telah selesai kumasukkan.
“Nggak ngomong nih Ve? sekarang kok jadi kaku ya, Aku sama Kamu?”
Aku mengatupkan mataku rapat-
rapat, menekan dadaku keras-keras, aku tidak berani membalikkan badanku untuk menatapnya. Aku menghirup nafas dalam-dalam, aku tidak tahan.
“Lagi ada masalah ya?” katanya
serius, aku mengernyitkan alisku.
“Masalah apa?” tanyaku, Eko menatapku dalam-dalam.
“Nggak ada masalah apa-apalah Ko”
kataku akhirnya, tidak tahan dengan tatapan menyelidiknya.
Aku mengambil tasku lalu pergi, aku sungguh tidak tahan berada disini.
“Kalau ada apa-apa cerita ya Ve! aku juga kan sahabatmu” teriaknya, akunhanya mengangguk dan mengacungkan jari jempolku. Aku berjalan melewatinya, dia masih berdiri disana. Aku berjalan keluar, melihat Dina hendak berbicara, aku menunjuk ke kelas.
“Eko kan?” kataku tersenyum, Dina
mengangguk lalu balas tersenyum.
“Ntar latihan dramanya di rumah
kamu kan Ve?” tanyanya. Aku
mengangguk.
“Jangan telat ya bang!” kataku.
“Iya, iya neng!” katanya, aku lalu
berjalan meninggalkan dua
sahabatku itu, membiarkan mereka berdua membuat hatiku seperti digantungi ribuan kilo besi. Aku menekan dadaku keras-keras,
perasaan seperti ini pasti hanya
semu Ve, besok pasti akan menguap, menguap seperti kabut. Batinku.
______
“Kasetnya yang mana Ve?” tanya Eko sambil mengutak-atik tumpukan kaset di depannya. Aku sibuk membaca komik yang baru saja kubeli tadi pagi.
“Yang ada gambar cewek kompeni”
kataku tanpa menoleh.
“Cewek kompeni ya?” katanya sambil terus mencari di antara tumpukan kaset.
“Nah Ketemu.” pekiknya “Yang ini kan Ve?” katanya sambil mengacung-acungkan kaset yang didapatkannya.
“Iya masukin aja ke DVD playernya!” kataku masih tanpa menoleh. Aku mendengar Eko memasukkan DVD lalu menekan tombol play. Sunyi sesaat, aku masih asyik dengan komikku. Terdengar suara kemresek
lalu suara-suara aneh.
“Astaga! film apaan tuh Ve?!” teriak
Eko kemudian, aku terpaksa
mendongak, aku menatap televisi,
aku terkejut setengah mati karena
yang kulihat adalah gambar yang
tidak seharusnya kulihat.
“EKO! MATIINNN!!!” jeritku, aku buru-buru menutup kedua mataku, Eko lalu bergerak cepat menekan tombol stop dan mengeluarkan kaset yang
parah itu.
“Parah lu Ve! itu mah film bok*p,
film p*rno” kata Eko bergidik. Aku
menggeleng-gelengkan kepala tak
percaya dengan apa yang baru saja
kulihat.
“Ternyata kamu punya film yang
begituan ya Ve? hahahaha” Eko
terbahak-bahak, aku menempeleng kepalanya keras.
“Dasar sinting! aku juga nggak tahu ada film begituan disitu. Lagian kamu disuruh ngambil yang gambarnya cewek kompeni malah ngambil yang bukan-bukan” semprotku.
“Ini kan kompeni! lagian juga tadi
aku tanya kamu bilang iya.”
Aku diam, lalu beberapa saat
kemudian kami tertawa terbahak-
bahak, konyol! maka jadilah hatiku
bertambah kalut dengannya, aku
akan terus berpura-pura tak pernah punya perasaan apa-apa dengannya, itu lebih baik. Aku masih SMP, perasaan ini hanyalah perasaan yang dimiliki anak-anak, aku akan segera melupakan perasaanku saat aku menemukan Dewa Yunani yang lain. Hiburku.
______
Aku melihatnya disana, dia berdiri,
bergurau dengan teman sekelasnya, SMA! dia tetap sama, tidak ada yang berubah sejak aku mengenalnya dari SMP, waktu cepat sekali bergerak, tapi dia tetaplah dia.
Jantungku berhenti berdenyut,
jarakku hanya beberapa meter
darinya. Arteriku macet, sial! aku semakin dekat dengannya, ingin rasanya kubalikkan badanku lalu mencari jalan lain, terlambat, dia menoleh, melihatku. Nafasku tak beraturan, aku mencoba mengendalikan diriku.
“Hai Ve!” sapanya, senyumnya
mengembang. Aku balas tersenyum padanya, senormal mungkin, melambaikan tanganku lantas kujulurkan lidahku. Aku berlalu, juga senomal mungkin, padahal kau tahu, dadaku rasanya ingin meledak, hatiku mengembang dan tak sudi
mengempis, mengembang,
mengembang sekali.
Untung saja otakku masih bisa kukendalikan.
Melihat senyum Eko langsung
membuatku terbahak-bahak dalam
hatiku, wajahku cerah, kedua sudut
bibirku terangkat.
“Olala! rupa-rupanya Eko ya? Dewa
Yunanimu!” Astri menyenggolku, aku terkejut, aku tergagap-gagap, Astri adalah teman sebangkuku sekarang. Aku ketahuan.
“Ngaku, aku ngerti kok, tatapanmu
kepadanya, cerianya wajahmu
setelah saling sapa, ckckckck”
katanya, aku menjitaknya, dia
mengaduh. Kuteruskan membayangkannya, menggumamkan namanya berkali-kali, lalu menulis namanya sebanyak mungkin. Aku akan tertawa terbahak-bahak, cinta
kadang bisa membuat orang waras
jadi sinting, dan orang sinting
menjadi gila sepenuhnya.
Begitu SMA, hubungan Eko dan Dina selesai. Berita ini kudengar dari beberapa temanku SMP, beda
domisili itu alasannya, Eko satu
sekolahan denganku, Dina tidak. Aku gembira.
Jahatkah aku???
Aku masih punya kesempatan dengan Dewa Yunaniku. Tapi kesendirian Eko tak bertahan lama, ia akan dikabarkan telah bersama cewek X, wanita Y,
dan si Z, terakhir aku dengar dia
telah bersama Vita, teman sekelasnya.
Aku? tetap berdiri sendiri, perasaanku akan kacau jika
dia bersama wanita lain, dan akan
berseri-seri saat hubungannya
dikabarkan kandas, aku tetap tak
bergerak.
Semenjak SMA aku tidak pernah
sekelas dengannya, perlahan-lahan
dia mulai berubah, sekarang ketika
dia melihatku, Ia seperti tak melihat siapa-siapa, aku orang asing baginya, ini membuatku terluka, tapi perasaanku tak jua mau hengkang dari hatiku, pun aku tak punya keberanian mendekatinya.
“Nggak ada perkembangan Ve?” tanya Astri di sampingku, aku kusut, soal kimia yang kukerjakan tidak juga mampu kuselesaikan.
“Perkembangan apa?” kataku balas
bertanya.
“Yaelah, siapa lagi yang ada dalam
otakmu sekarang? Dewa Yunani lah.” kata Astri, aku mendengus.
“Nggak ada. Stagnan, jalan di tempat, grakkk!” kataku. Astri ngakak, aku melengos.
“Makanya neng, PDKT, Usaha!
Minimal biarkan dia tahu
perasaanmu. Berapa lama kamu
mendem tuh perasaan?”
aku pura-pura sibuk.
“5 tahun neng. Nggak jebol tuh hati?”
Aku diam.
“Nggak ada kesempatan.” ujarku pendek
“Banyak kesempatan, kamu yang
males nyari, kamu yang nggak berani.”
Aku masih diam. Selama ini yang
kulakukan hanyalah melihatnya dari jauh, mengawasinya, lalu berpura-pura. Aku berusaha menyadarkan diriku bahwa jalanku dan jalannya berbeda.
“Dia makin jauh Tri, makin ga kenal, kelas 3 ini malah aku dan dia nggak pernah nyapa.” Aku menghela nafas dalam-dalam.
“kayanya aku musti
belajar ngeikhlasin Dewa Yunani Tri, aku udah nyerah pada pertarungan yang tidak pernah kulawan. Aku menyedihkan ya Tri? aku bodoh ya? mencintai orang yang sama sekali nggak
menyukaiku” Astri menggeleng,
memelukku.
“Kalau emang jodoh, kita pasti bakal ketemu ya Tri?” kataku lagi.
Astri menusap-usap punggungku,
menguatkan.
“Itu sudah tepat. Semangat Verena!”
Astri mengepalkan tangannya, aku
hanya tersenyum.
Biarlah aku tetap menjadi
penggemarnya, pemujanya! itu cinta yang indah. Aku menekan dadaku berulang-ulang. Dewa Yunani, menguaplah seperti kabut!!!
______
“Siapa? Kenapa?!” teriakku keras, Astri menempelkan jari telunjuknya di bibirnya, menyuruhku diam.
“Vita hamil gara-gara Eko,” kata Astri sekali lagi, petir menyambarku, banjir bandang meluluh lantakan semua serpihan hatiku, Eko, Eko, Eko,
aku menggumamkan namanya
berulang-ulang. Eko, Eko, kamu Eko?
Vita? aku setengah tak percaya.
“Jangan becanda kamu Tri.” teriakku, air mataku ambrol. Astri menggeleng.
“Si Vita udah keluar Ve, Ekonya masih sekolah, soalnya mau ujian nasional, maafin aku ve” kata Astri.
Eko, Eko, aku terus menggumamkan namanya
berulang-ulang.
“Dia cowok baik-baik Tri” isakku.
“Dunia bisa berubah Ve!” bisik Astri memelukku. Aku masih tidak bisa percaya. Duniaku runtuh.
______
Aku suka caranya memakai tas
gendong hanya dengan menggantungkannya pada satu sisi
lengan saja, aku suka caranya
berjalan, aku suka caranya duduk
dan melepaskan tasnya di meja.
Keren! Keren sekali! Aku suka caranya bicara, lembut tapi bertenaga, sedikit tapi mengena, tidak berkoar-koar seperti ayam.
Aku suka gaya berpakaiannya, tidak terlalu rapi, tapi sopan, sesuai aturan tapi keren. Aku suka caranya bertanya, caranya tertawa, dan caranya memandang. Matanya
adalah kombinasi tujuh warna
pelangi, matahari terbit, aurora, dan bintang gemintang, cerah bersinar-sinar, damai menentramkan.
Aku suka guyonannya meski guyonan itu telah kudengar ribuan kali, bagian terindah aku suka melihatnya menyanyi. Ahhh apa yang ada dalam fikiranku? aku menyukai hampir semua hal tentangnya.
Aku gila? aku berlebihan?
Aku pengagumnya, dia tidak tahu.
Biarlah, biarlah seperti itu, akan
kuperhatikan kau dari sini,
langkahmu, tatapanmu, gayamu.
Tetap, tetaplaah seperti itu, jangan
ada yang berubah. Jangan sadar!
kumohon jangan sadar ada aku
disini yang menatapmu dengan mata yang berbinar-binar. Biarkan aku yang sadar dulu, bahwa tak ada
artinya menatapmu dengan binar-
binar itu. Dewa Yunani, menguaplah, hilanglah dibawa
angin, tolong menguaplah dari
hatiku!!!
______
Aku masih berdiri di stasiun, membawa beberapa barang bawaanku, lalu melangkah pergi. Seseorang memegang pundakku, aku menoleh.
“Desy?” kataku, Desy tersenyum
kepadaku, lalu merogoh kantung
celananya, mengeluarkan sesuatu
lalu memberikannya padaku.
“Hadiah untukmu, ahh bukan,
maksudku kenang-kenangan, ucapan terima kasihku karena telah menceritakan sesuatu yang hebat dalam perjalanan kali ini. Semoga kau mendapatkan cintamu dalam pencarianmu. Semoga cinta yang kau dapatkan nanti tidak akan menguap
seperti kabut. Jika kau menemukannya, lekas ungkapkan,
jangan kau pendam! Seberapapun
besarnya harga dirimu.” ucapnya,
memelukku, aku dilanda kebingungan.
“Terima kasih” kataku, Desy berbalik lalu melangkah pergi, aku terpaku, menatap punggungnya yang makin
lama makin menjauh. Aku membuka sesuatu yang diberikan kepadaku, aku tertegun, mengamati benda itu.
aku sangat mengenali benda ini.
Gantungan kunci panda, hadiah
yang kuberikan pada Eko saat ulang tahunnya dulu, tepat ada tulisanku disana. Kenapa benda ini bisa berada padanya?
Jantungku berdegup kencang, aku
perlahan mengingat wajah Desy,
dia? Vita? istri Eko? Tapi bukankah
Vita sudah meninggal saat
melahirkan anaknya?
Aku merinding
0 comments:
Post a Comment