Wednesday, January 22, 2014

Kau...

Oktober, 2013

Semuanya berakhir hari ini. Penantian
buta itu terhempas begitu saja sore tadi,
entah keberanian darimana yang membuatku mampu mengucap selamat tinggal dan semua yang kurasakan.

Padahal jika kupikir ulang, bagaimana aku bisa mengucapkan selamat tinggal kepada orang yang selama ini tidak pernah menjadi milikku?

Tapi sudahlah...
Aku yakin ini bukan sesuatu yang salah,
karena bukankah selama inipun aku sudah
cukup lelah, tiap saat terus mengalah, ya
kan? Apapun yang terjadi besok, aku harus mampu membawa senyum.

"Althought it just a pretend."

Biar sajalah, cukup bantal, guling
dan setumpuk kertas di kamarku yang
memahami, bahwa hatiku tak lagi bertepi.

Kututup buku kumpulan puisiku. Malam ini, tidak seperti malam-malam sebelumnya, ada duka yang bergelayut mesra di pinggir hatiku, ada duka yang tak terbayangkan sebelumnya.

Tiba-tiba dadaku sesak, apa yang terlewati kembali teringat dan menari-nari di angan, mempermainkanku dan seakan menyuruhku untuk mengingkari apa yang sudah menjadi keputusan.

Air bening itu kembali mengalir, menyusupi kelopok mataku yang lelah.
Kucoba berdiri terbalik, kutaruh kepalaku di bawah dan kakiku diatas, persis seperti saran Vic Chou pada Sanchai di film Meteor Garden, tapi nihil… Air bening itu tetap mengalir.

Kuputuskan keluar dari kamarku
yang pengap, kupandangi meja makan, dapur, ruang tv, semua sepi. Aku baru sadar, ternyata ketika kesedihan bercumbu dengan kesunyian, mereka hanya mampu melahirkan satu hal yaitu Keputus-asaan.
Kembali kumasuki kamar yang pengap, kucoba memejamkan mata. Uh gak bisa !
Pukul sepuluh lewat, handphoneku
berdering…

“ Halo !” sahutku lemah. Tidak ada suara, diseberang sana sunyi, tapi tiba-tiba mengalun sebuah lagu yang baru kudengar satu-dua kali.

Aku hanya bisa terdiam melihat kau pergi, dari sisiku, dari sampingku...
Tinggalkan Aku seakan semuanya, yang
pernah terjadi, tak lagi kau rasa...

Jantungku berdebar, tiba-tiba adrenalinku melonjak naik, kepalaku pusing, ada sesuatu yang ingin segera keluar dari mulutku, tapi semua tertahan seiring bait-bait lagu yang
begitu menampar.
Hanya satu orang yang mampu melakukan ini, cuma satu orang yang
kukenal punya kebiasaan sebegini unik.

Ya…
Dia, cuma dia.
Tak pernah sedikitpun Aku bayangkan,
betapa hebatnya cinta yang kau tanamkan…
Hingga waktu beranjak pergi, kau mampu hancurkan hatiku…
Ada yang hilang dari perasaaanku, yang
terlanjur sudah kuberikan padamu…

Hancur?  Siapa yang hatinya lebih hancur, dia atau aku?
Siapa yang lebih terluka? Dia atau aku?

Air bening itu benar-benar memaksa keluar, aku benar-benar gak kuat, tangisku pecah, semuanya benar-benar di
luar dugaan. Ironisnya aku tetap duduk
terpaku mendengar apa yang dia mau,
hingga...
KLIK,..
Telpon terputus. Aku diam sesaat, apa yang harus kulakukan, malam ini siapa yang bisa kumintai sarannya, lagipula
siapa yang benar-benar peduli padaku.

Aku benar-benar sendiri malam ini, benar-benar sendiri.

"Ini kenyataan." Gumanku.
"Kenyataan seringnya cuma menyakitkan." Gumanku lagi.
"Dan kenyataan itu aku sendiri yang menciptakannya."

*Kau... Kau sosok perempuan misterius, sosok yang (pernah) menanamkan benih cinta dalam relung hati ini.
Hanya benih, tanpa diberi kesempatan untuk berubah menjadi bunga.

0 comments:

Post a Comment