“Kamu bisa temui aku?”
“Kapan?”
“Sekarang?”
“Tapi ini masih hujan,”
“Ini penting.”
Sebuah telepon kuterima saat hujan deras mendera. Telepon dari seseorang yang telah lama aku kenal. Suaranya begitu
mengkhawatirkan, berulang kali aku mencoba menelponnya, tapi selalu gagal. Entah, karena jaringan yang sedang
bermasalah, atau memang ponselnya yang dimatikan dari sana. Telepon darinya benar-benar membuatku kalang kabut
ditengah petir yang menyambar. Sudah satu hari penuh, hujan ini mengguyur, membasahi tanah yang sekian lama kerontang.
Kupacu motorku, menembus hujan yang kian mendera, angin, dan petir, tak kuhiraukan, aku ingin segera menemuinya.
Aku tidak ingin terjadi apa-apa dengannya.
Sudah seminggu hujan ini datang, dan sudah seminggu pula, kabar musibah sering
kudengar.
Jas hujan yang kupakai rupanya tak mampu lagi menahan rembesan air, sedikit demi
sedikit bajuku basah. Kulitku mulai
merasakan dingin yang meyelinap lembut ke kulitku. Saat hujan deras seperti ini, tempat yang paling nyaman berada di
rumah, bukan di jalan seperti ini. Bukankah
dalam keadaan seperti ini kecelakaan bisa
saja terjadi.
Bulan ini, musim penghujan telah
tiba. kami harus lebih ekstra hati-hati.
Kecelakaan dan bencana, di saat seperti
ini sangat rwan terjadi.
Aku terus memacu motorku, meski pandanganku tertutup kabut, aku tidak ingin berhenti meski sekedar berteduh, aku
hanya ingin segera sampai ke tempat di mana Raya berada. Teleponnya yang tiba-tiba mati, membuatku tanda tanya, apa
sebenarnya yang telah terjadi.
Ehmmmm …. Sebenarnya belum lama aku mengenal gadis kelahiran Semarang itu. Kesamaan hobi, dan juga kesamaan profesi membuat aku lebih dekat mengenal gadis berambut sebahu itu. Selama ini, ia sering membantu pekerjaanku, ia juga yang telah mengenalkan aku pada orang-orang
penting. Sehingga, cita-citaku pelahan-lahan menemui hasil. Bagiku, dia bukan sekedar teman, ia seorang bidadari yang tak mengenal pamrih. Tak sedikitpun ia meminta aku untuk berbuat sama dengan apa yang telah ia lakukan kepadaku, tak
juga ia terkesan egois, ia selalu mau mengerti apa dan bagaimana keadaanku. Meski terkadang ia pun kekanak-kanakan. Tapi, begitulah perempuan, ia tak bisa
menyembunyikan keinginannya untuk dimanja.
Lampu-lampu di jalanannya mulai menyala, malam telah beranjak, demi keselamatan, aku tak lupa menyalakan lampu di motor yang aku tunggangi.
Hujan semakin deras, jalanan semakin berkabut, angin pun
menerpa mantelku yang terus menyingkap hingga memudahkan air membasahi badanku.
Mataku masih tajam memandang ke depan Aku harus fokus berkendara di tengah
cuaca yang tidak bersahabat ini. Meski aku sangat memikirkan keadaan Raya, aku juga
tidak ingin terjadi sesuatu menimpa diriku.
Mataku semakin perih. Air hujan
tak henti-hentinya menampar mukaku dengan butiran-butirannya. Pandanganku
sedikit kabur, keseimbanganku pun mulai tak terjaga, tepat di tikungan tajam, sebuah truk melintas, aku mengusap air
yang membasahi mukaku dengan tangan, dan tiba-tiba sebuah lampu truk menerpa
mukaku, aku tergelagap, kaget dan segera membanting setir motorku ke kiri, hingga
aku harus terjatuh. Untunglah, kecelakaan kecil ini tak membuatku terluka. Aku
bangunkan motorku yang ikut terguling bersamaku, truk itu telah meninggalkanku, entah ke mana. Kuatur nafasku sejenak,
menenangkan diri dari gememetarnya badanku. Inilah yang aku takutkan.
Sesaat diriku telah kembali
tenang, aku memacu motorku lagi,
menembus hujan, menjumpai Raya.
“Apa aku terlambat?” ucapku
saat tiba di rumah Raya
“Hampir saja,”
“Hampir?!”
“Iya,” Raya memberikan handuk.
Aku membersihkan badanku, Raya
meminjamiku kaos dan celana milik Kakaknya. Di rumah sebesar ini ia hanyabtinggal dengan Bik Surti, pembantu yang telah berpuluh tahun bekerja di rumahnya.
Sedangkan kedua orang tuanya, jarang pulang, mereka sibuk dengan urusan bisnisnya. Sedangkan Kakaknya, kuliah di
kota budaya, Jogjakarta.
“Kau memanggilku,”
“Iya,”
“Ada apa?”
“Temani aku,”
“Hah…?” mulutku menganga.
“Keberatan?”
“Tidak, tapi…”
Raya mengambilakan segelas teh hangatuntukku. Di lantai dua rumhanya, aku menikmati secangkir teh, di tengah guyuran
hujan yang semakin deras. Aku tidak habis pikir, kenapa ia tega melakukan ini kepadaku, ditengah hujan yang sangat rawan kecelakaan, ia menyuruhku datang
ke rumahnya, hanya untuk menemaninya sambil minum teh.
Oh, Tuhan….
“Ada yang ingin aku tunjukan
kepadamu,”
“Apa?”
Raya meraih tanganku, ia membawaku mendekati sebuah jendela. Aku tak melihat
sesuatu yang menarik, bahkan jendela sudah biasa aku lihat. Raya hanya diam, sambil memandangi jendela yang berlapis
kaca. Ah… apa menariknya jendela itu, bukanhkah itu hanya jendela biasa, yang berukiran Jepara. Sesekali mata Raya
menatap keluar jendela, aku pun dengan reflek mengikuti ke mana matanya tertuju.
Aku masih tidak mengerti apa yang ia lihat, dan apa yang akan ia tunjukan kepadaku.
Aku hanya melihat hujan semakin mengalir deras dari langit dan rembasan air hujan yang membasahi kaca jendela.
“Apa yang hendak kau tunjukan?”
“Itu,” tunjuknya
“Hujan…?!”
“Iya…”
“Oh, Tuhan…” aku menghempaskan
nafas panjangku.
“Aku suka hujan,”
“Lalu?”
“Aku ingin menikmatinya
bersamamu,”
Gila! Aku pikir ada apa ia menelponku untuk datang ke rumahnya, ternyata hanya
karena ingin menunjukan hujan
kesukaannya. Oh… bukankah di tempatku juga sedang hujan, dan, bukankah juga bisa
dibicarkan lewat telepon? Lalu apa
istimewanya hujan, bagiku hanya air yang turun dari langit, tak lebih sama sekali.
Justru aku sangat membenci hujan.
“Kau tahu, kenapa aku suka hujan?”
“Tidak,”
“Ia bening, seperti embun,”
Aku mendekati Raya yang tengah berdiri di depan jendela. Suara lembutnya, membuatku tertarik untuk mendengarkan
cerita tantang hujan kesukaannya itu.
“Lalu?”
“Ia juga memberi kesegaran,”
“Sama dengan air, bukan?”
“Tidak, hujan beda dengan air,”
“Bedanya?”
Raya memalingkan wajahnya kepadaku. Mata kami berbenturan, ia tersenyum, sangat
menawan, bahkan menurutku lebih menawan senyumnya daripada hujan yang
sedari tadi tidak berhenti.
“Hujan datang setahun sekali, itu
bedanya.”
“Hanya itu?”
“Banyak,” Raya meminum tehnya
“Apa?” kejarku
“Ia juga memberikan kebahagiaan."
Aku semakin tidak mengerti dengan jalan pikirannya. Pikirannya semakin membuatku
penasaran apa sebenarnya yang ingin ia sampaikan mengenai hujan itu. Adakah keistimewaan hujan selain membuat banjir
dan susah manusia? Sejak awal aku
mengenalnya, ia selalu saja bicara
setengah-setengah. Ia enggan bicara to the poin, mungkin membuat orang penasaran adalah ciri khasnya atau dengan begituvia menjadi puas.
“Kau lihat,” tunjuk Raya pada
segerombolan anak kecil.
“Iya,”
“Mereka begitu bahagia,”
“Begitulah anak kecil,” kilahku.
“Itu juga,” tunjuk Raya lagi.
Aku mengikuti telunjuk Raya yang mengarah kapada segerombolan anak remaja. Di tangan mereka menggenggam beberapa payung tapi tidak di pergunakan, bahkan
ada anak remaja yang rela hujan-hujanan sambil mengikuti seorang Bapak-bapak.
Mereka itulah yang biasa kami sebut ojek payung. Mereka meyewakan payungnya
kepada orang yang membutuhkan dengan imbalan sekian ribu.
“Iya, aku melihatnya,”
“Mereka pasti bahagia,”
“Benarkah?”
“Hujan memberikan rejeki bagi
mereka,”
“Ya, kau benar,” aku mengangguk
setuju
Malam semakin larut, hujan pun tak ada tanda-tanda untuk berhenti. Aku masih
menikmati guyuran hujan dengan Raya di pinggir teras lantai dua. Ia tak henti-hentinya membahas tentang hujan. Tak ada
kata lelah di bibirnya, ia selalu menunjukan betapa ia menggilai hujan.
“Kau mau tahu apa yang paling aku
sukai dari hujan?”
“Apa?”
Eka menggandeng tanganku, menuruni anak tangga, hingga di luar dugaanku, ia mengajakku keluar rumahnya. Di halaman
rumahnya, ia menari, melebarkan
tangannya, menengadahkan wajahnya, ia biarkan rintikan hujan mengguyur tubuh
indahnya. Aku hanya bisa diam dan
memandangi, apa yang dilakukannya, ini adalah kali kedua aku kehujanan. Raya
berlari, di bawah guyuran hujan, layaknya anak kecil yang gembira ketika hujan datang, begitulah sikap yang aku tangkap
dari seorang gadis berusia 25 tahun itu.
“Dany…” bisik Raya
“Iya,”
Raya menatapku lekat. Tatapan matanya begitu dalam. Ini adalah kali pertama aku merasakan debaran jantung yang sangat
kencang, sejak aku mengenalnya. Tangan Raya perlahan meraih pundaku, ia dekatkan mulutnya ke telingaku. Jantungku, tak bisa
aku kendalikan, ia semakin kencang berdetak. Di bawah guyuran hujan ini, ia
memelukku bergitu erat.
“Aku suka hujan, Dany.”
“Ya, aku tahu…”
“Ia lambang keromantisan, aku tak bisa menghitung butiran bening yang telah membasahiku, begitu juga aku tak bisa menghitung rasa syukurku karena bisa mengenal dirimu Dany.” desah Raya.
0 comments:
Post a Comment