[Senja Busung, Kepri] |
Di sudut kota ini dia tinggal, kota yang cukup besar. Selalu terlihat
asri terkenal dengan budayanya. Namun, dia tak pernah bisa merasakan
bagaimana rasanya asri? Seperti apakah budaya yang selalu diistimewakan
dan dipuji kebanyakan orang, bahkan orang-orang dari luar kota pun
berkunjung sekedar untuk mengerti. Yah… benar sekali, hanya untuk
melihat dan mengerti. Setiap tahun diperingati dengan mengadakan
festival dan berbagai event. Bagaimana dengan kawanku ini, dia lebih
istimewa menurutku. Namun, tak seorang pun bisa melihat dan mengerti
keistimewaanya. Dulu dia begitu berguna dan dibutuhkan, namun kini dia
rapuh. Dia rapuh oleh perbuatan orang-orang yang tak bisa mengerti, tak
bisa mengerti perasaan dan perjuangannya untuk orang-orang di
sekitarnya.
“Tenanglah kawan, aku akan selalu ada untukmu. Aku menjadi teman suka
dukamu.” kataku padanya dengan iba melihat keadaannya, dia hanya
terdiam. Seperti dugaanku, dia memang pendiam dan selalu diam. Jarang
sekali aku mendengarnya bicara, tertawa bahkan marah, hampir tidak
pernah. Dia tak pernah mau merepotkan apalagi merugikan orang lain,
kembali kukatakan padanya. Tak usah bersedih dengan keadaanmu sekarang,
masih ada aku dan aku akan selalu bersamamu, aku tak akan
meninggalkanmu. Dia masih saja diam. jutaan peserta lomba klakson itu
yang menjawab karena kulihat sebuah mobil tak kunjung memutar rodanya
padahal lampu sudah berganti hijau.
Sebuah Bis kota berhenti tepat di dekat kami.
Bushhh … asap hitam ke luar dari cerobong pencernaannya tepat di muka kami. Agrhhh … betapa aku ingin memaki sopir Bus itu, namun kuurungkan niatku
saat kulihat kawanku ini tersenyum. Bagaimana bisa dia ini malah
tersenyum.
“Bagaimana kau akan memaki sopir Bus itu, memangnya kau itu siapa? Lagian bukan salah dia juga, siapa suruh kau nangkring disini?”
“Aku hanya ingin bersamamu” jawabku singkat sambil menghapus noda dimukaku.
“Untuk apa kau disini? Tak ada yang bisa kau harapkan dariku. Aku sudah tak berguna, lebih baik kau pergi cari makan, aku tau kau lapar. Lihatlah tubuhmu mulai kurus sejak aku tak bisa memberikan apa-apa padamu.”
“Tak masalah bagiku, aku sudah pernah gemuk karena kebaikanmu. Kalaupun sekarang aku kurus, anggap saja sedang dalam proses menuju seksi” kataku sambil berjalan layaknya di atas catwalk dengan sedikit menggoyangkan bokongku yang kurasa memang terlihat kurus, tapi aku senang karena kulihat dia tersenyum dengan sikapku barusan.
Plastik besar bertuliskan sebuah nama toko, aku kenal nama toko itu.
Plastik itu milik seorang Ibu yang kebetulan berdiri di dekat kami
bersama anaknya, dia letakkan plastik itu di bawah hingga aku mampu
mencium isi plastik itu, benar sekali. Plastik itu berisi roti, aku
mencium aromanya dan kebetulan aku sedang lapar. Aku berjalan pelan,
mindik-mindik lebih dekat dengan Ibu itu, aku bermaksud mengambil roti
itu dari dalam plastik. Sudah tak sabar aku ingin segera menggigitnya,
hampir saja aku mendapatkan roti itu. Dia mendorongku hingga terjatuh,
alhasil Ibu itu melihatku dan segera mengangkat plastiknya. Aku segera
berlari.
“Sejak kapan kau mencuri untuk mengisi perut kecilmu itu?”
“Ah … kau itu, aku lapar kawan. Kebetulan lama aku tak makan roti, kalau bukan karena kau pasti aku sudah dapatkan roti itu”
“Lebih baik kau kelaparan daripada harus mencuri, jangan pernah kau merugikan orang lain. Sekecil biji semangka kita berguna untuk orang lain maka Allah akan menggantinya sebesar buah semangka kebaikan untuk kita.”
“Ah … kau itu, aku lapar kawan. Kebetulan lama aku tak makan roti, kalau bukan karena kau pasti aku sudah dapatkan roti itu”
“Lebih baik kau kelaparan daripada harus mencuri, jangan pernah kau merugikan orang lain. Sekecil biji semangka kita berguna untuk orang lain maka Allah akan menggantinya sebesar buah semangka kebaikan untuk kita.”
“Halah … itu hanya katamu, kau fikir aku mau sepertimu yang selalu dimanfaatkan orang lain tapi setelah kau rusak dan kumuh mereka tak peduli padamu. Kau itu hanya sebuah tempat sampah yang kecil tak berguna, sudah rusak penuh dengan kotoran dan menjijikan. Bahkan sudah tak ada orang yang membuang sampah padamu, apalagi membersihkanmu.”
Spontan aku berkata kalimat kasar itu padanya. Aku … aku tak sengaja, aku benar-benar tak bermaksud begitu. Dia terdiam dengan cacianku barusan, tapi aku masih malu untuk minta maaf. Aku terdiam sambil melihat Ibu itu mengupas roti untuk anaknya, kubayangkan betapa lezatnya roti itu jika masuk dalam mulutku. Kupejamkan mata untuk pura-pura tidak melihat.
“Bukalah mata kau kawan, semoga ini cukup untuk mengisi perutmu”
Dia memberiku sebuah roti, roti yang tadi kulihat dikupas oleh Ibu itu. Aku masih terdiam memandangnya, bagaimana dia mendapatkan roti itu?
“Ibu itu membuangnya padaku, karena rotinya terjatuh dan kotor.”
Aku menerima roti itu darinya, mataku mengembun. Aku malu, aku baru saja menghinanya. Aku benar-benar tikus yang tak tau diri, mungkin benar katamu, kawan. Sekecil biji semangka kebaikan akan Allah gantikan sebesar buah semangka, bahkan aku yang bermaksud buruk saja masih diberi kebaikan oleh Allah. Kawan, aku minta maaf. Aku minta maaf karena aku telah menyakiti hatimu.
Dia memberiku sebuah roti, roti yang tadi kulihat dikupas oleh Ibu itu. Aku masih terdiam memandangnya, bagaimana dia mendapatkan roti itu?
“Ibu itu membuangnya padaku, karena rotinya terjatuh dan kotor.”
Aku menerima roti itu darinya, mataku mengembun. Aku malu, aku baru saja menghinanya. Aku benar-benar tikus yang tak tau diri, mungkin benar katamu, kawan. Sekecil biji semangka kebaikan akan Allah gantikan sebesar buah semangka, bahkan aku yang bermaksud buruk saja masih diberi kebaikan oleh Allah. Kawan, aku minta maaf. Aku minta maaf karena aku telah menyakiti hatimu.
“Aku tidak sakit hati olehmu, mungkin karena kau sedang proses menuju seksi makanya sedikit emosi padaku." katanya padaku sambil tersenyum, aku benar-benar beruntung punya teman
sepertinya. Kutinggal sebentar dia untuk mencari minum karena roti itu
berhenti di tenggorokanku.
“Wah… sudah rusak, paling juga nggak papa jika kuambil. Lumayan untuk
dijual bisa jadi baru lagi, daripada disini tak berguna." kudengar
kalimat itu keluar dari mulut seorang pemulung yang kemudian
mengambilnya dan memasukkannya ke dalam karung. Aku berteriak minta
tolong sekeras mungkin,
"Tolong … jangan bawa temanku. Tolong… tolong…
temanku diculik."
Tak ada yang peduli bahkan tak ada satu orang pun yang
mendengar atau menghirauku. Aku tahu kenapa tak ada yang mendengarku,
karena aku hanya seekor tikus. Aku menangis dengan sisa roti dalam
mulutku dan melihatnya dalam karung pemulung lambat laun menjauh.
Maafkan aku kawan, aku janji akan selalu mengingat pesanmu. Aku berusaha
agar berguna untuk orang lain dan tidak merugikan siapapun.
"Sekecil
biji semangka untuk sebesar buah semangka ..."
Tanjungpinang, 28 Oktober 2016