“Hampir dua puluh tahun kita berpisah. Cukup lama kan?”
“Ya, cukup lama. Alangkah cepatnya waktu berlalu. Rasanya baru kemarin kita sama-sama lulus SMA. Sekarang…”
“Sekarang
kau sudah jadi publik figur, selebriti, tenar dan punya harta
berlimpah. Sedangklan aku, akhhh…nasibku tak berubah banyak”.
Barangkali
senyumku getir. Terbukti bibirku terasa begitu kaku ketika kulempar
senyum kepadanya. Lalu mata yang bak kejora itu, masih tetap
memandangku, penuh harapan dan kerinduan.
“Aku maklum, banyak wartawan datang ke sini untuk mewawancaraimu. Tapi maksudku bukan itu. Aku hanyalah penulis freelance
saja. Aku menemuimu hanya sekedar ingin ngobrol sembari melepas
kerinduan. Hanya sekedar ingin mengenang masa silam, masa sekolah yang
begitu indah. Itu saja. Hasratku untuk menjumpaimu begitu besar dan
cukup menyesakan dadaku beberapa tahun belakangan ini. Selama ini aku
hanya bisa melihatmu lewat televisi, koran, dan majalah-majalah. Kutahan
keinginan menemuimu yang bergejolak itu. Terus terang saja, aku was-was
kau tak pernah ingat lagi padaku. Umumnya orang yang sudah dikagumi dan
menjadi bintang sinetron atau iklan, mudah lupa. Bahkan tidak mau
mengakui kawan lamanya lagi”, alasanku panjang lebar coba kusampaikan
padanya.
“Kau
terlalu berprasangka, To. Aku tidaklah seburuk tulisan
wartawan-wartawan yang senang menggosipkan orang itu, yang dengan
seenaknya mengatakan aku sombong, egois, senang merebut lelaki milik
wanita lain, dan sebagainya…dan sebagainya. Yach, beginilah kalau hidup
menjanda. Sering kena fitnah”, ucapnya lemah.
Yach,
beginilah kalau hidup menjanda, kuucapkan ulang dalam hati. Akhhh…tak
perlu heran kalau artis sering ganti-ganti pasangan hidup, ejekku dalam
hati. Ruangan sunyi, kami membisu.
Sore
yang sejuk dengan angin semilir dan sisa-sisa sinar mentari memancar
lembut lewat ventilasi jendela dan pintu yang sedikit terkuak. Anak-anak
rambut Ratih yang menjuntai di keningnya berayun lembut oleh semilir
angin. Ratih menyulut sebatang marlboro, menawarkan rokoknya padaku.
“Aku tak merokok”, halus kutolak.
“Banci?”
“Bukan. Sekedar membiasakan diri agar dapur tetap mengepul dengan teratur”.
Kuteguk
sisa air jeruk yang terhidang di meja. Pandangan mataku berkeliling.
Rumah ini meskipun mungil tapi sangat mewah. Perabotnya serba luks dan
modern, berkombinasi dengan lampu kristal dan barang-barang yang antik.
Sungguh serasi. Sayang rumah sebagus ini hanya berpenghuni seorang.
Di
dekat teras rumah tampak dua mobil terparkir. Yang satu merk toyota
alphard warna hitam dan satunya lagi honda jazz warna biru. Sahabatku
yang satu ini benar-benar sudah makmur. Tak ingin aku berpikir bahwa aku
iri hati padanya.
Ingat
masa silam, aku terlena. Wahai, eloknya masa muda. Dulu, ya dulu, aku
pernah amat sangat terpesona pada perempuan yang ada di hadapanku ini,
sewaktu kami masih sama-sama menuntut ilmu di sesebuah SMA di Jogja.
Namun sekarang, ya sekarang, tak tahulah, apakah aku masih mencintai dan
terpesona amat sangat atau tidak. Yang jelas, kendati pun aku sudah
beristri dan dikaruniai dua orang anak, kenadati ia sudah menjadi artis
terkenal dan hidup menjanda, aku masih saja merindukan dan mengenangnya.
Terkadang dia hadir dalam mimpi-mimpiku.
Dan saat ini, sore ini, di ruang tamu yang sejuk dan harum, hutang rinduku impaslah sudah.
“Astanto? Kau melamun?” Terdengar suara Ratih yang lembut. Aku terhenyak. Cepat-cepat kukuasai lagi diriku.
“Ya, aku melamunkan suka duka kita bersama dulu, saat-saat yang penuh keceriaan. Kau masih ingat, Ratih?” Ucapku sedikit gugup.
“Ingat apa?” Pandangannya menembus jantungku, bagai pisau tajam perlahan-lahan menusuk tengah dadaku.
“Jangan
bego. Kau sudah lupa waktu kita berdua-duaan di kelas kosong. Kemudian
dilihat oleh pak Bur si penjaga sekolah yang sudah pikun itu, lalu kita
beri ia uang tutup mulut sebanyak lima ratus perak supaya tidak melapor
kepada wali kelas kita yang galak itu”, kataku. Ratih ketawa
terbahak-bahak, sedang aku hanya senyum dikulum saja.
“Ohh,
tentu saja aku masih ingat peristiwa itu. Bahkan aku masih ingat ketika
kita dihukum berdiri di depan kelas karena tidak menyelesaikan tugas
matematika yang bikin kepala berdenyut-denyut. Aku masih ingat
kawan-kawan kita yang cerewet, yang badung, atau yang baik hati, bahkan
teman-teman yang suka mencemburui kita”.
“Baik.
Baik, ternyata ingatanmu masih sempurna, Ratih. Lalu mengapa waktu kita
telah lulus SMA dan kau pindah ke Jakarta, kau tak pernah memberikan
alamatmu. Kau tak mau menghubungiku lagi. Sampai lima tahun kemudian
engkau muncul sebagai artis sinetron pendatang baru yang menarik
perhatian publik. Nasibmu memang beruntung”, ucapku tertekan.
“Sengaja
aku berbuat demikian untuk menghindarimu. Kalau aku harus jujur, aku
jatuh cinta pada seorang pengusaha muda ketika aku dan keluarga sedang
berlibur di Bogor. Kebetulan awal tahun itu juga ayahku tugasnya
dipindahkan ke Jakarta. Lelaki yang pengusaha muda itu kemudian menjadi
suamiku yang pertama, yang kemudian menceraikanku tak lama setelah
putriku lahir. Hubungan kami memang kurang harmonis, karena ternyata aku
dijadikan madunya”.
“Kau meremehkan aku?”
“Tidak. Kukira cinta kita dulu sebatas cinta monyet saja. Yah, cinta anak sekolahan yang sangat rapuh dan mudah bubar”.
Kemudian
Ratih menceritakan bahwa orang tuanya juga masih tinggal di Jakarta
ini. Anaknya juga dititipkan di sana. Ratih sengaja tinggal terpisah
dari orang tuanya dengan alasan kegiatannya dalam pembuatan sinetron
sangat ketat, belum lagi menjadi host di stasiun televisi swasta untuk acara tengah malam.
Ada kesunyian yang menghimpit di antara kami. Sekali-kali terdengar deru kendaraan di jalanan depan rumah Ratih.
Lagi-lagi
pandangan kami beradu. Tatapannya agak ganjil kali ini, binal dan
menantang. Beberapa detik kulawan sorot mata Ratih yang menghunjam itu.
Bulu kudukku meremang. Sinar mata itu, nampak begitu haus kasih sayang
dan kesepian!
“Jangan menatapku seperti itu, Ratih”, pintaku sambil memandanginya.
Ia
kembalai menyulut sebatang marlboro. Dan kembali menatapku cukup lama.
Pelan ia bangkit dari tempat duduknya dan mendekatiku. Aku sadar apa
yang akan dilakukannya.
Serta merta aku berdiri.
“Jangan Ratih, jangan!” Cegahku.
“Kenapa To? Tak akan ada orang yang tahu apa yang akan kita lakukan”, ucapnya sambil mengelus pundakku.
“Bukan
begitu, Ratih. Ingatlah, aku sudah berkeluarga. Istriku teramat setia.
Jangan kaupaksa aku untuk mengkhianatinya. Jangan juga kau buktikan
padaku bahwa apa yang dikatakan wartawan-wartawan yang kau jelek-jelekan
tadi itu benar. Kumohon padamu, Ratih. Kita sudah bukan lagi remaja
atau usia anak sekolahan. Sadarlah, Ratih”.
Ratih menunduk di sampingku. Ketika tengadah, tampak dua sungai kecil mengalir di pipinya yang halus itu. Aku menunduk iba.
“Maafkan
aku, To. Aku benar-benar kesepian. Tidak bahagia. Aku hampir gila”,
suaranya bergetar sambil menyandarkan kepalanya di bahuku.
“Tak
ada yang perlu dimaafkan, Ratih. Kita akan tetap bersahabat. Aku akan
merasa bahagia jika kau bersuami lagi untuk yang terakhir kalinya dan
menjadi ibu rumah tangga yang baik. Aku yakin, kau mampu berbuat itu”.
“Akan kucoba, akan kucoba sekuat hatiku”.
Lembayung
mewarnai langit Jakarta saat aku pamit untuk pulang. Di pintu gerbang,
sebelum kami berpisah, Ratih masih sempat berkata.
“Istrimu pasti cantik. Anak-anakmu pasti juga cakep-cakep seperti bapak dan ibunya. Iya ka?”
Aku tersenyum seraya mengangkat bahu.
“Well, tapi kau lebih cantik dan dewasa dibanding waktu di SMA dulu”, jawabku.
“Ooo…ya. Sampaikan salam untuk istri dan anak-anakmu. Sesekali ajaklah mereka ke Jakarta. Aku ingin mengenalnya”.
“Pasti, Ratih. Pasti”, ucapku sambil melambaikan tangan.
Senyum Ratih mengembang tapi terasa seperti lembab udara Jakarta yang menggelisahkan.