Pages - Menu

Monday, March 30, 2015

Ratih....

                    




   “Hampir dua puluh tahun kita berpisah. Cukup lama kan?”
  “Ya, cukup lama. Alangkah cepatnya waktu berlalu. Rasanya baru kemarin kita sama-sama lulus SMA. Sekarang…”
   “Sekarang kau sudah jadi publik figur, selebriti, tenar dan punya harta berlimpah. Sedangklan aku, akhhh…nasibku tak berubah banyak”.

   Barangkali senyumku getir. Terbukti bibirku terasa begitu kaku ketika kulempar senyum kepadanya. Lalu mata yang bak kejora itu, masih tetap memandangku, penuh harapan dan kerinduan.
   “Aku maklum, banyak wartawan datang ke sini untuk mewawancaraimu. Tapi maksudku bukan itu. Aku hanyalah penulis freelance saja. Aku menemuimu hanya sekedar ingin ngobrol sembari melepas kerinduan. Hanya sekedar ingin mengenang masa silam, masa sekolah yang begitu indah. Itu saja. Hasratku untuk menjumpaimu begitu besar dan cukup menyesakan dadaku beberapa tahun belakangan ini. Selama ini aku hanya bisa melihatmu lewat televisi, koran, dan majalah-majalah. Kutahan keinginan menemuimu yang bergejolak itu. Terus terang saja, aku was-was kau tak pernah ingat lagi padaku. Umumnya orang yang sudah dikagumi dan menjadi bintang sinetron atau iklan, mudah lupa. Bahkan tidak mau mengakui kawan lamanya lagi”, alasanku panjang lebar coba kusampaikan padanya.

   “Kau terlalu berprasangka, To. Aku tidaklah seburuk tulisan wartawan-wartawan yang senang menggosipkan orang itu, yang dengan seenaknya mengatakan aku sombong, egois, senang merebut lelaki milik wanita lain, dan sebagainya…dan sebagainya. Yach, beginilah kalau hidup menjanda. Sering kena fitnah”, ucapnya lemah.
   Yach, beginilah kalau hidup menjanda, kuucapkan ulang dalam hati. Akhhh…tak perlu heran kalau artis sering ganti-ganti pasangan hidup, ejekku dalam hati. Ruangan sunyi, kami membisu.
   Sore yang sejuk dengan angin semilir dan sisa-sisa sinar mentari memancar lembut lewat ventilasi jendela dan pintu yang sedikit terkuak. Anak-anak rambut Ratih yang menjuntai di keningnya berayun lembut oleh semilir angin. Ratih menyulut sebatang marlboro, menawarkan rokoknya padaku.
   
   “Aku tak merokok”, halus kutolak.
   “Banci?”
   “Bukan. Sekedar membiasakan diri agar dapur tetap mengepul dengan teratur”.

   Kuteguk sisa air jeruk yang terhidang di meja. Pandangan mataku berkeliling. Rumah ini meskipun mungil tapi sangat mewah. Perabotnya serba luks dan modern, berkombinasi dengan lampu kristal dan barang-barang yang antik. Sungguh serasi. Sayang rumah sebagus ini hanya berpenghuni seorang.
   Di dekat teras rumah tampak dua mobil terparkir. Yang satu merk toyota alphard warna hitam dan satunya lagi honda jazz warna biru. Sahabatku yang satu ini benar-benar sudah makmur. Tak ingin aku berpikir bahwa aku iri hati padanya.
Ingat masa silam, aku terlena. Wahai, eloknya masa muda. Dulu, ya dulu, aku pernah amat sangat terpesona pada perempuan yang ada di hadapanku ini, sewaktu kami masih sama-sama menuntut ilmu di sesebuah SMA di Jogja. Namun sekarang, ya sekarang, tak tahulah, apakah aku masih mencintai dan terpesona amat sangat atau tidak. Yang jelas, kendati pun aku sudah beristri dan dikaruniai dua orang anak, kenadati ia sudah menjadi artis terkenal dan hidup menjanda, aku masih saja merindukan dan mengenangnya. Terkadang dia hadir dalam mimpi-mimpiku.

   Dan saat ini, sore ini, di ruang tamu yang sejuk dan harum, hutang rinduku impaslah sudah.

   “Astanto? Kau melamun?” Terdengar suara Ratih yang lembut. Aku terhenyak. Cepat-cepat kukuasai lagi diriku.
  “Ya, aku melamunkan suka duka kita bersama dulu, saat-saat yang penuh keceriaan. Kau masih ingat, Ratih?” Ucapku sedikit gugup.
  “Ingat apa?” Pandangannya menembus jantungku, bagai pisau tajam perlahan-lahan menusuk tengah dadaku.
  “Jangan bego. Kau sudah lupa waktu kita berdua-duaan di kelas kosong. Kemudian dilihat oleh pak Bur si penjaga sekolah yang sudah pikun itu, lalu kita beri ia uang tutup mulut sebanyak lima ratus perak supaya tidak melapor kepada wali kelas kita yang galak itu”, kataku. Ratih ketawa terbahak-bahak, sedang aku hanya senyum dikulum saja.
  “Ohh, tentu saja aku masih ingat peristiwa itu. Bahkan aku masih ingat ketika kita dihukum berdiri di depan kelas karena tidak menyelesaikan tugas matematika yang bikin kepala berdenyut-denyut. Aku masih ingat kawan-kawan kita yang cerewet, yang badung, atau yang baik hati, bahkan teman-teman yang suka mencemburui kita”.
  “Baik. Baik, ternyata ingatanmu masih sempurna, Ratih. Lalu mengapa waktu kita telah lulus SMA dan kau pindah ke Jakarta, kau tak pernah memberikan alamatmu. Kau tak mau menghubungiku lagi. Sampai lima tahun kemudian engkau muncul sebagai artis sinetron pendatang baru yang menarik perhatian publik. Nasibmu memang beruntung”, ucapku tertekan.
  “Sengaja aku berbuat demikian untuk menghindarimu. Kalau aku harus jujur, aku jatuh cinta pada seorang pengusaha muda ketika aku dan keluarga sedang berlibur di Bogor. Kebetulan awal tahun itu juga ayahku tugasnya dipindahkan ke Jakarta. Lelaki yang pengusaha muda itu kemudian menjadi suamiku yang pertama, yang kemudian menceraikanku tak lama setelah putriku lahir. Hubungan kami memang kurang harmonis, karena ternyata aku dijadikan madunya”.

  “Kau meremehkan aku?”
  “Tidak. Kukira cinta kita dulu sebatas cinta monyet saja. Yah, cinta anak sekolahan yang sangat rapuh dan mudah bubar”.

   Kemudian Ratih menceritakan bahwa orang tuanya juga masih tinggal di Jakarta ini. Anaknya juga dititipkan di sana. Ratih sengaja tinggal terpisah dari orang tuanya dengan alasan kegiatannya dalam pembuatan sinetron sangat ketat, belum lagi menjadi host di stasiun televisi swasta untuk acara tengah malam.
Ada kesunyian yang menghimpit di antara kami. Sekali-kali terdengar deru kendaraan di jalanan depan rumah Ratih.
Lagi-lagi pandangan kami beradu. Tatapannya agak ganjil kali ini, binal dan menantang. Beberapa detik kulawan sorot mata Ratih yang menghunjam itu. Bulu kudukku meremang. Sinar mata itu, nampak begitu haus kasih sayang dan kesepian!

   “Jangan menatapku seperti itu, Ratih”, pintaku sambil memandanginya.
Ia kembalai menyulut sebatang marlboro. Dan kembali menatapku cukup lama. Pelan ia bangkit dari tempat duduknya dan mendekatiku. Aku sadar apa yang akan dilakukannya.
Serta merta aku berdiri.

   “Jangan Ratih, jangan!” Cegahku.
   “Kenapa To? Tak akan ada orang yang tahu apa yang akan kita lakukan”, ucapnya sambil mengelus pundakku.
  “Bukan begitu, Ratih. Ingatlah, aku sudah berkeluarga. Istriku teramat setia. Jangan kaupaksa aku untuk mengkhianatinya. Jangan juga kau buktikan padaku bahwa apa yang dikatakan wartawan-wartawan yang kau jelek-jelekan tadi itu benar. Kumohon padamu, Ratih. Kita sudah bukan lagi remaja atau usia anak sekolahan. Sadarlah, Ratih”.

   Ratih menunduk di sampingku. Ketika tengadah, tampak dua sungai kecil mengalir di pipinya yang halus itu. Aku menunduk iba.

   “Maafkan aku, To. Aku benar-benar kesepian. Tidak bahagia. Aku hampir gila”, suaranya bergetar sambil menyandarkan kepalanya di bahuku.
  “Tak ada yang perlu dimaafkan, Ratih. Kita akan tetap bersahabat. Aku akan merasa bahagia jika kau bersuami lagi untuk yang terakhir kalinya dan menjadi ibu rumah tangga yang baik. Aku yakin, kau mampu berbuat itu”.
  “Akan kucoba, akan kucoba sekuat hatiku”.

  Lembayung mewarnai langit Jakarta saat aku pamit untuk pulang. Di pintu gerbang, sebelum kami berpisah, Ratih masih sempat berkata.
  “Istrimu pasti cantik. Anak-anakmu pasti juga cakep-cakep seperti bapak dan ibunya. Iya ka?”
 Aku tersenyum seraya mengangkat bahu.

  “Well, tapi kau lebih cantik dan dewasa dibanding waktu di SMA dulu”, jawabku.
  “Ooo…ya. Sampaikan salam untuk istri dan anak-anakmu. Sesekali ajaklah mereka ke Jakarta. Aku ingin mengenalnya”.
  “Pasti, Ratih. Pasti”, ucapku sambil melambaikan tangan.

Senyum Ratih mengembang tapi terasa seperti lembab udara Jakarta yang menggelisahkan.

Sunday, March 29, 2015

Pria Aneh Bertopi



   Sudah dua hari ini aku melihat lelaki yang bertopi itu duduk sendirian di depan sebuah toko di perempatan jalan. Tapi anehnya ia selalu melakukannya di malam hari. Dan apabila pagi atau siang hari ia tak nampak di depan toko itu. Aku sebagai warga kampung yang rumahnya terdekat dengan toko itu sudah selayaknya memiliki rasa curiga dan berusaha mengikuti gerak-gerik lelaki itu.

   Malam berikutnya kembali aku melihat lelaki bertopi itu duduk sendiri di depan toko. Sesekali ia menundukan wajahnya dan sesekali pula ia memandangi beberapa mobil dan motor yang lewat. Dari kejauhan kuikuti gerak-gerik lelaki yang mencurigakan itu. Sebenarnya aku sendiri berkeinginan untuk dapat mendekati lelaki itu. Basa-basi atau sekedar berbicara ringan. Siapa tahu ia dalam kesusahan mencari alamat keluarganya di sekitar kampung ini. Atau mungkin siapa tahu dia betul-betul ingin mencuri toko itu. Atau mungkin? Berbagai pertanyaan tiba-tiba muncul dan mengisi penuh pikiranku.

   “Maaf, boleh saya duduk di sini?” Tanyaku pada lelaki yang bertopi itu ketika ia akan menyulut rokoknya.
   “Silakan.” jawabnya acuh sambil mematikan api koreknya.
   “Terima kasih.” kataku berusaha sesopan mungkin sambil duduk di sebelahnya. Kulirik lelaki itu diam termangu sambil mempermainkan asap-asap rokoknya. Ia nampaknya tidak mempedulikan kedatanganku di sisinya.
   “Barangkali sedang menunggu seorang teman?” Tanyaku sekedar basa-basi untuk mencairkan suasana. Ia menoleh dan menatapku tajam-tajam. Di keremangan lampu lima watt, nampak jelas sorot matanya menatap tajam ke wajahku. Ia seperti berusaha mengelupas kulit di wajahku, menikamkan kecurigaan dengan api sorot matanya.
   Sesekali rokoknya diisapnya kuat-kuat lalu asapnya dihembuskan sembarangan ke wajahku. Kutarik nafas dalam-dalam, aku semakin tak mengerti tentang status lelaki ini.
   “Dan kau sendiri?” Katanya tiba-tiba kepadaku dengan suara yang berat.
   “Aku?”
   “Ya, kamu.”
   “Ah, aku sendiri hanya ingin duduk di sini. Tak lebih.”
   “Hemm…kenapa memilih duduk di sini dan tidak di tempat lain saja?” Tanyanya ketus sambil memperbaiki letak duduknya. “Apa kau ingin mencari teman duduk atau ngobrol?” Lanjutnya dengan suara semakin datar.
   “Benar. Aku memang membutuhkan seorang teman sekaligus kawan ngobrol untuk sekedar membunuh rasa sepi.” jawabku berbohong. Dan lelaki itu hanya diam saja tanpa reaksi sedikit pun. “Kebetulan aku sering melihat saudara duduk sendiri di tempat ini. Barangkali kita ada kesamaan.”

   “Maksudmu, aku sedang kesepian?”
   “Mungkin begitu.” jawabku sekenanya.
  “Saudara jangan mengacau. Aku bukan tipe orang seperti yang anda sebutkan tadi, kesepian. Jangan samakan aku dengan anda. Dan lagi, aku paling tidak suka pada seseorang yang menaruh prasangka sekehendak hatinya.” kata lelaki itu tiba-tiba dengan suara yang bergetar dan nadanya kurang menyukai basa-basiku. Sepertinya ia tersinggung dengan kata-kataku tadi.
   
   “Maaf, aku sebenarnya ….”
  “Ya, aku tahu maksud saudara.” potongnya. “Aku sendiri melihat anda tidak hendak mengganggu ketenanganku. Aku lihat dari tutur kata dan gerak-gerik saudara. Baiklah, malam ini kita mulai menjadi kawan.” lanjutnya sambil menjabat tanganku kuat-kuat. Aku pun membalasnya. Ah, ternyata dengan kerendahan hati dapat juga meluluhkan lelaki ini yang sebelum kukenal wajahnya terlihat amat angkuh, egois, dan pendiam.
  
   “Sudah beberapa hari ini aku melihat anda duduk sendiri di sini. Barangkali ada yang dicari atau dinanti di sekitar daerah ini?”
    “Pertanyaan yang penuh kecurigaan.” jawabnya sinis sambil melemparkan sisa rokoknya.
   “Tidak. Sama sekali tidak.” kataku sambil mencoba mengurangi suasana yang kaku dan kurang enak. “Sama sekali aku tidak mencurigaimu.” lanjutnya sambil kupegang lengan tangannya.

  “Ya…ya…., aku tahu. Aku juga tidak menuduh anda begitu. Apalagi menuduh anda sebagai bagian dari siskamling di kampung ini. Tidak. Kuanggap anda sudah sebagai kawan, meski baru kenal beberapa waktu yang lalu. Maaf. Aku sebenarnya ingin juga meminta pendapat anda sebagai kawan. Biasanya kawan selalu siap memberikan pertolongan atau saran jika diminta. Bagaimana?”

Ada kesan suasana sudah mulai cair. Nada suaranya sudah datar dan sedikit agak bercanda. Aku mencoba menatap wajahnya yang bertopi itu. Ia tertunduk.

   “Langsung saja. Saran apa yang harus kuberikan?”
   “Hei, kita harus ingat kalau segala persoalan itu harus diurut secara teratur dan sistematis, biar nantinya bisa jelas dan lancar.” suara lelaki itu sedikit serak dengan nada menasehati.
“Oke, kalau itu memang keinginan anda.”
“Hemmm, begini”. Ia terdiam sejenak, sepertinya ada beban berat yang tak ingin disampaikan kepadaku. “Saya punya istri sedang hamil lebih delapan bulan”, ucapnya pelan sambil menengadah ke langit. “Anda tentu sudah mahfum kalau wanita yang sedang hamil selalu mempunyai permintaan yang aneh-aneh.”

   “Ngidam maksudmu?”
   “Ya. Dan yang aneh istriku tidak mengidam seperti wanita hamil lainnya yang minta buah-buahan atau makanan lainnya. Istriku hanya punya keinginan supaya saya mau melepaskan topi yang saya pakai ini.” katanya dengan sedih sambil menunjukan ke arah topi yang ia pakai. “Sebenarnya istriku sudah meminta hal ini sejak kandungannya berumur dua bulan. Tapi aku masih pikir-pikir untuk melepaskan topi ini dan sebisa mungkin aku akan mempertahankan topi yang saya pakai ini. Topi ini punya sejarah panjang dalam hidupku.” sambungnya lagi sembari menyalakan sebatang rokok.

   “Ohhh, begitu. Kenapa tidak dituruti saja permintaan istrimu itu? Kukira topi yang anda pakai tidak ada pengaruhnya sama sekali dalam kehidupan sehari-harimu. Topi hanyalah sebuah benda penangkal terik matahari, titik. Jadi kukira pakai topi atau tidak sama saja. Anak yang ada dalam kandungan istrimu tentu lebih penting dibanding topi itu." kataku sedikit menasehati dan sekaligus permohonan agar keinginan istrinya didahulukan dari pada mempertahankan topi yang tak jelas manfaatnya.

   “Jangan sok tahu. Ini masalah prinsip dan sekaligus menyangkut identitas diri. Anda tahu, aku memakai topi ini sudah lebih dua puluh tahun lamanya dan aku amat sangat mencintai topi ini. Inilah identitasku.”
   “Tetapi semuanya kan demi istri dan anak yang ada dalam kandungannya. Kenapa anda begitu sampai hati terhadap istri? Kenapa hanya masalah topi atau identitas, anda harus egois terhadap istri? Kenapa…..”

   “Cukup!” Ia memotong ucapanku dengan sedikit membentak. Aku terkejut melihat perubahan sikapnya yang tiba-tiba itu. Lalu lelaki itu berdiri, berkecak pinggang, dan dimasukan tangan kanannya di saku celananya. Sebentar kemudian ia nampak menarik nafas dalam-dalam. Aku hanya mampu tertunduk menyesali apa yang sudah kuucapkan tadi.
   Ketika aku mendongakan kepala, lelaki itu sudah pergi ke arah selatan. Makin lama makin jauh dan akhirnya lenyap di tikungan jalan.

  Dua malam berikutnya aku menjumpai lelaki itu duduk sendiri dan tak memakai topi. Akhirnya mau juga ia melepaskan topinya, pikirku. Ketika aku mendekat dan duduk di sampingnya, ia tak bereaksi sedikit pun. Sementara di lantai dekatnya duduk, berserakan putung-putung rokok. Ia nampak gelisah dan merokok tak putus-putus. Sekilas wajahnya nampak murung.
   “Anda lihat kalau malam ini aku tak memakai topi.” ucapnya agak gemetar. “Topi itu telah kukubur bersama istri dan anakku. Istriku meninggal saat melahirkan dan bayinya menyusul beberapa menit kemudian. Istriku mengalami pendarahan yang hebat saat aku pulang dari sini beberapa malam lalu.” katanya lagi dengan sedih dan gemetaran.
   
  “Ahhh!”. Hanya itu yang sempat keluar dari bibirku. Dan lelaki itu pun beranjak pergi entah ke mana.
   
   Sementara gerimis mulai turun. Malam semakin dingin dan sepi, seperti lelaki aneh itu yang hilang ditelan malam.

DIAM...




   DIAM ITU LEBIH BAIK, why...???

Kadang-kadang kita hanya perlu DIAM dalam memberi komentar...
Kadang-kadang kita hanya perlu DIAM dalam menegur...
Kadang-kadang kita hanya perlu DIAM dalam memberi nasihat...
Kadang-kadang kita hanya perlu DIAM dalam memprotes...
Kadang-kadang kita hanya perlu DIAM dalam persetujuan...

Tapi...
Biarlah DIAM kita, mereka paham artinya...
Biarlah DIAM kita, mereka terkesan maknanya...
Biarlah DIAM kita, mereka maklum maksudnya...
Biarlah DIAM kita, mereka terima tujuannya...

Karena...
DIAM kita mungkin disalah artikan...
DIAM kita mungkin mengundang prasangkaan...
DIAM kita mungkin tidak membawa maksud apa-apa...
DIAM kita mungkin tak berarti...

Maka...
Jika kita merasakan DIAM itu terbaik, seharusnya kita DIAM..
Namun seandainya DIAM kita bukanlah sesuatu yang bijak...berkatalah sehingga mereka DIAM...!!!

True...???????


Panumbangan, 29 Maret 2015.

Thursday, March 26, 2015

Hope and Pray


(Google)
Terkadang kita merasa rendah diri,
Merasa diri tak layak berharap apa-apa
Merasa diri tak layak punya impian
Merasa diri tak layak bahagia.








   Karena masa lalu yang mengajarkan kita menjadi begitu berhati-hati untuk memasang impian, menjadikan kita begitu takut untuk berharap apapun. Kita memujuk diri bukan berputus asa, cuma takut kecewa lagi, namun sejujurnya kita sudah tak percaya lagi.
   Saat kita merasa tak layak bahagia, saat kita merasa tak layak berharap...
   Periksalah kembali!!! Pada siapa yang telah membuat kita berpaling itu. Jangan karena ujian, membuat kita putus asa dengan Rohmat dan Kasih sayang Allah.



Ya Allah....
Kadang kala aku takut akan getirnya ujian
dan, aku bimbang pahitnya massa lalu
Hingga membuat aku berpaling
Membuat aku merasa tak layak memiliki massa depan
Ya Allah...
Lindungilah aku dari putus asa
dan, jauhkan aku dari putus harapan
Dimana saat ujian menghimpit kehidupan
Aamiin...

Wednesday, March 11, 2015

Hujan dan Kehidupan

  
11, Maret 2015


 Hujan datang lagi. Beribu tetes jatuh setiap detiknya. Menapaki bumi sepanjang hari, seolah tak pernah lelah dengan keadaan ini. Menerjunkan diri ke berbagai belahan bumi. Mulai dari kubangan kerbau, resapan tanah, hingga ke muara laut, semua dilakoni.

**—**

   Di dalam sebuah pertemuan, pada suatu pagi yang dingin.
"Aku datang untuk mengajarkanmu bahwa hidup adalah perputaran. Kau harus percaya itu!" Ucap hujan kepadaku yang sedang setengah limbung."
Aku berpetualang sampai ke negeri manapun, lalu dapat pula kembali kesini lagi. Karena apa? Karena aku punya harapan." Lanjutnya. Aku berusaha mencerna kata-katanya. Kali ini aku ling lung.
"Mengikuti arus Ciliwung, lalu menerjunkan diri ke Niagara, lantas juga membekukan diri di Antartika."
    Aku mulai terkesima. Sepertinya aku mulai dapat mengerti perkataannya. Dengan wajah sok lugu, aku berkata "Lalu kenapa sekarang kau menjadi bah di Ibukota? Coba jelaskan padaku dengan serta-merta!"
    Ia terdiam sebentar, lalu tertawa sejadi-jadinya. Aku diam. Tertawa pun enggan. Apakah itu lucu? Memang perangainya aneh. Ia masih terbahak. Cukup lama.
    "Kau tahu kenapa sebabnya? Kau tahu!" Ia menggelegar seperti malaikat pencabut nyawa. Aku ingin menarik perkataanku tadi. Bodoh! Mengapa aku menanyakan pertanyaan retoris macam itu?
    "Manusia memanglah bodoh! Aku datang untuk menunjukkan padamu, bahwa hidupmu tak selalu indah. Bahwa keindahan hidupmu seringkali pudar karena ulahmu sendiri!"
   Aku dikeroyok perasaan bersalah. Rasanya ingin menghilang dari hadapannya. Triiing.... Tapi sayangnya belum ada teknologi teleportasi macam itu. Ah, sial!
   Tiba-tiba, pintu tak terkunci itu terketuk. Aku tak tahu siapa yang hendak datang. Berharap ada yang segera mengevakuasiku dari keadaan darurat ini. Sang sampah datang. Aku kaget bukan kepalang. Dengan pakaian lusuhnya, ia melangkahkan diri tanpa pura-pura. Para ajudannya menyertai, lalat dan belatung. Baunya menusuk hidung, aku jadi makin murung.
    "Jawab! Kenapa kau diam?" Sang sampah menggebrak meja. Jiwaku jadi luluh-lantah. Rasanya ingin hilang ke negeri antah berantah. Aku digandrungi mereka berdua, rasanya ingin muntah.
    "Aku… A-a-ku…"

**—**

   Hujan datang lagi. Menghanyutkan jejak-jejak kenangan. Kulihat televisi, katanya “Banjir Mengepung Ibukota”. Kulihat koran, katanya “Air Bah Lumpuhkan Jakarta”. Aku meneguk segelas teh panas. Melakoni lagi hidup ini, sebagai penyaksi antara hidup yang penuh sensasi-ilusi.