Sudah
dua hari ini aku melihat lelaki yang bertopi itu duduk sendirian di
depan sebuah toko di perempatan jalan. Tapi anehnya ia selalu
melakukannya di malam hari. Dan apabila pagi atau siang hari ia tak
nampak di depan toko itu. Aku sebagai warga kampung yang rumahnya
terdekat dengan toko itu sudah selayaknya memiliki rasa curiga dan
berusaha mengikuti gerak-gerik lelaki itu.
Malam
berikutnya kembali aku melihat lelaki bertopi itu duduk sendiri di
depan toko. Sesekali ia menundukan wajahnya dan sesekali pula ia
memandangi beberapa mobil dan motor yang lewat. Dari kejauhan kuikuti
gerak-gerik lelaki yang mencurigakan itu. Sebenarnya aku sendiri
berkeinginan untuk dapat mendekati lelaki itu. Basa-basi atau sekedar
berbicara ringan. Siapa tahu ia dalam kesusahan mencari alamat
keluarganya di sekitar kampung ini. Atau mungkin siapa tahu dia
betul-betul ingin mencuri toko itu. Atau mungkin? Berbagai pertanyaan tiba-tiba muncul dan mengisi penuh pikiranku.
“Maaf, boleh saya duduk di sini?” Tanyaku pada lelaki yang bertopi itu ketika ia akan menyulut rokoknya.
“Silakan.” jawabnya acuh sambil mematikan api koreknya.
“Terima
kasih.” kataku berusaha sesopan mungkin sambil duduk di sebelahnya.
Kulirik lelaki itu diam termangu sambil mempermainkan asap-asap
rokoknya. Ia nampaknya tidak mempedulikan kedatanganku di sisinya.
“Barangkali
sedang menunggu seorang teman?” Tanyaku sekedar basa-basi untuk
mencairkan suasana. Ia menoleh dan menatapku tajam-tajam. Di keremangan
lampu lima watt, nampak jelas sorot matanya menatap tajam ke wajahku. Ia
seperti berusaha mengelupas kulit di wajahku, menikamkan kecurigaan
dengan api sorot matanya.
Sesekali
rokoknya diisapnya kuat-kuat lalu asapnya dihembuskan sembarangan ke
wajahku. Kutarik nafas dalam-dalam, aku semakin tak mengerti tentang
status lelaki ini.
“Dan kau sendiri?” Katanya tiba-tiba kepadaku dengan suara yang berat.
“Aku?”
“Ya, kamu.”
“Ah, aku sendiri hanya ingin duduk di sini. Tak lebih.”
“Hemm…kenapa
memilih duduk di sini dan tidak di tempat lain saja?” Tanyanya ketus
sambil memperbaiki letak duduknya. “Apa kau ingin mencari teman duduk
atau ngobrol?” Lanjutnya dengan suara semakin datar.
“Benar.
Aku memang membutuhkan seorang teman sekaligus kawan ngobrol untuk
sekedar membunuh rasa sepi.” jawabku berbohong. Dan lelaki itu hanya
diam saja tanpa reaksi sedikit pun. “Kebetulan aku sering melihat
saudara duduk sendiri di tempat ini. Barangkali kita ada kesamaan.”
“Maksudmu, aku sedang kesepian?”
“Mungkin begitu.” jawabku sekenanya.
“Saudara
jangan mengacau. Aku bukan tipe orang seperti yang anda sebutkan tadi,
kesepian. Jangan samakan aku dengan anda. Dan lagi, aku paling tidak
suka pada seseorang yang menaruh prasangka sekehendak hatinya.” kata
lelaki itu tiba-tiba dengan suara yang bergetar dan nadanya kurang menyukai
basa-basiku. Sepertinya ia tersinggung dengan kata-kataku tadi.
“Maaf, aku sebenarnya ….”
“Ya,
aku tahu maksud saudara.” potongnya. “Aku sendiri melihat anda tidak
hendak mengganggu ketenanganku. Aku lihat dari tutur kata dan
gerak-gerik saudara. Baiklah, malam ini kita mulai menjadi kawan.”
lanjutnya sambil menjabat tanganku kuat-kuat. Aku pun membalasnya. Ah,
ternyata dengan kerendahan hati dapat juga meluluhkan lelaki ini yang
sebelum kukenal wajahnya terlihat amat angkuh, egois, dan pendiam.
“Sudah beberapa hari ini aku melihat anda duduk sendiri di sini. Barangkali ada yang dicari atau dinanti di sekitar daerah ini?”
“Pertanyaan yang penuh kecurigaan.” jawabnya sinis sambil melemparkan sisa rokoknya.
“Tidak.
Sama sekali tidak.” kataku sambil mencoba mengurangi suasana yang kaku
dan kurang enak. “Sama sekali aku tidak mencurigaimu.” lanjutnya sambil
kupegang lengan tangannya.
“Ya…ya….,
aku tahu. Aku juga tidak menuduh anda begitu. Apalagi menuduh anda
sebagai bagian dari siskamling di kampung ini. Tidak. Kuanggap anda
sudah sebagai kawan, meski baru kenal beberapa waktu yang lalu. Maaf.
Aku sebenarnya ingin juga meminta pendapat anda sebagai kawan. Biasanya
kawan selalu siap memberikan pertolongan atau saran jika diminta.
Bagaimana?”
Ada
kesan suasana sudah mulai cair. Nada suaranya sudah datar dan sedikit
agak bercanda. Aku mencoba menatap wajahnya yang bertopi itu. Ia
tertunduk.
“Langsung saja. Saran apa yang harus kuberikan?”
“Hei,
kita harus ingat kalau segala persoalan itu harus diurut secara teratur
dan sistematis, biar nantinya bisa jelas dan lancar.” suara lelaki itu
sedikit serak dengan nada menasehati.
“Oke, kalau itu memang keinginan anda.”
“Hemmm,
begini”. Ia terdiam sejenak, sepertinya ada beban berat yang tak ingin
disampaikan kepadaku. “Saya punya istri sedang hamil lebih delapan
bulan”, ucapnya pelan sambil menengadah ke langit. “Anda tentu sudah
mahfum kalau wanita yang sedang hamil selalu mempunyai permintaan yang
aneh-aneh.”
“Ngidam maksudmu?”
“Ya.
Dan yang aneh istriku tidak mengidam seperti wanita hamil lainnya yang
minta buah-buahan atau makanan lainnya. Istriku hanya punya keinginan
supaya saya mau melepaskan topi yang saya pakai ini.” katanya dengan
sedih sambil menunjukan ke arah topi yang ia pakai. “Sebenarnya istriku
sudah meminta hal ini sejak kandungannya berumur dua bulan. Tapi aku
masih pikir-pikir untuk melepaskan topi ini dan sebisa mungkin aku akan
mempertahankan topi yang saya pakai ini. Topi ini punya sejarah panjang
dalam hidupku.” sambungnya lagi sembari menyalakan sebatang rokok.
“Ohhh,
begitu. Kenapa tidak dituruti saja permintaan istrimu itu? Kukira topi
yang anda pakai tidak ada pengaruhnya sama sekali dalam kehidupan
sehari-harimu. Topi hanyalah sebuah benda penangkal terik matahari,
titik. Jadi kukira pakai topi atau tidak sama saja. Anak yang ada dalam
kandungan istrimu tentu lebih penting dibanding topi itu." kataku
sedikit menasehati dan sekaligus permohonan agar keinginan istrinya
didahulukan dari pada mempertahankan topi yang tak jelas manfaatnya.
“Jangan
sok tahu. Ini masalah prinsip dan sekaligus menyangkut identitas diri.
Anda tahu, aku memakai topi ini sudah lebih dua puluh tahun lamanya dan
aku amat sangat mencintai topi ini. Inilah identitasku.”
“Tetapi
semuanya kan demi istri dan anak yang ada dalam kandungannya. Kenapa
anda begitu sampai hati terhadap istri? Kenapa hanya masalah topi atau
identitas, anda harus egois terhadap istri? Kenapa…..”
“Cukup!”
Ia memotong ucapanku dengan sedikit membentak. Aku terkejut melihat
perubahan sikapnya yang tiba-tiba itu. Lalu lelaki itu berdiri, berkecak
pinggang, dan dimasukan tangan kanannya di saku celananya. Sebentar
kemudian ia nampak menarik nafas dalam-dalam. Aku hanya mampu tertunduk
menyesali apa yang sudah kuucapkan tadi.
Ketika
aku mendongakan kepala, lelaki itu sudah pergi ke arah selatan. Makin
lama makin jauh dan akhirnya lenyap di tikungan jalan.
Dua
malam berikutnya aku menjumpai lelaki itu duduk sendiri dan tak memakai
topi. Akhirnya mau juga ia melepaskan topinya, pikirku. Ketika aku
mendekat dan duduk di sampingnya, ia tak bereaksi sedikit pun. Sementara
di lantai dekatnya duduk, berserakan putung-putung rokok. Ia nampak
gelisah dan merokok tak putus-putus. Sekilas wajahnya nampak murung.
“Anda
lihat kalau malam ini aku tak memakai topi.” ucapnya agak gemetar.
“Topi itu telah kukubur bersama istri dan anakku. Istriku meninggal saat
melahirkan dan bayinya menyusul beberapa menit kemudian. Istriku
mengalami pendarahan yang hebat saat aku pulang dari sini beberapa malam
lalu.” katanya lagi dengan sedih dan gemetaran.
“Ahhh!”.
Hanya itu yang sempat keluar dari bibirku. Dan lelaki itu pun beranjak
pergi entah ke mana.
Sementara gerimis mulai turun. Malam semakin dingin
dan sepi, seperti lelaki aneh itu yang hilang ditelan malam.
Pria Aneh Bertopi ~ Coretan Pena Iwantotti >>>>> Download Now
ReplyDelete>>>>> Download Full
Pria Aneh Bertopi ~ Coretan Pena Iwantotti >>>>> Download LINK
>>>>> Download Now
Pria Aneh Bertopi ~ Coretan Pena Iwantotti >>>>> Download Full
>>>>> Download LINK