Pages - Menu

Friday, October 28, 2016

Sepenggal Pesan


[Senja Busung, Kepri]


   Di sudut kota ini dia tinggal, kota yang cukup besar. Selalu terlihat asri terkenal dengan budayanya. Namun, dia tak pernah bisa merasakan bagaimana rasanya asri? Seperti apakah budaya yang selalu diistimewakan dan dipuji kebanyakan orang, bahkan orang-orang dari luar kota pun berkunjung sekedar untuk mengerti. Yah… benar sekali, hanya untuk melihat dan mengerti. Setiap tahun diperingati dengan mengadakan festival dan berbagai event. Bagaimana dengan kawanku ini, dia lebih istimewa menurutku. Namun, tak seorang pun bisa melihat dan mengerti keistimewaanya. Dulu dia begitu berguna dan dibutuhkan, namun kini dia rapuh. Dia rapuh oleh perbuatan orang-orang yang tak bisa mengerti, tak bisa mengerti perasaan dan perjuangannya untuk orang-orang di sekitarnya.

  “Tenanglah kawan, aku akan selalu ada untukmu. Aku menjadi teman suka dukamu.” kataku padanya dengan iba melihat keadaannya, dia hanya terdiam. Seperti dugaanku, dia memang pendiam dan selalu diam. Jarang sekali aku mendengarnya bicara, tertawa bahkan marah, hampir tidak pernah. Dia tak pernah mau merepotkan apalagi merugikan orang lain, kembali kukatakan padanya. Tak usah bersedih dengan keadaanmu sekarang, masih ada aku dan aku akan selalu bersamamu, aku tak akan meninggalkanmu. Dia masih saja diam. jutaan peserta lomba klakson itu yang menjawab karena kulihat sebuah mobil tak kunjung memutar rodanya padahal lampu sudah berganti hijau.

   Sebuah Bis kota berhenti tepat di dekat kami.
   Bushhh … asap hitam ke luar dari cerobong pencernaannya tepat di muka kami. Agrhhh … betapa aku ingin memaki sopir Bus itu, namun kuurungkan niatku saat kulihat kawanku ini tersenyum. Bagaimana bisa dia ini malah tersenyum.

   “Bagaimana kau akan memaki sopir Bus itu, memangnya kau itu siapa? Lagian bukan salah dia juga, siapa suruh kau nangkring disini?”
   “Aku hanya ingin bersamamu” jawabku singkat sambil menghapus noda dimukaku.
   “Untuk apa kau disini? Tak ada yang bisa kau harapkan dariku. Aku sudah tak berguna, lebih baik kau pergi cari makan, aku tau kau lapar. Lihatlah tubuhmu mulai kurus sejak aku tak bisa memberikan apa-apa padamu.”
    “Tak masalah bagiku, aku sudah pernah gemuk karena kebaikanmu. Kalaupun sekarang aku kurus, anggap saja sedang dalam proses menuju seksi” kataku sambil berjalan layaknya di atas catwalk dengan sedikit menggoyangkan bokongku yang kurasa memang terlihat kurus, tapi aku senang karena kulihat dia tersenyum dengan sikapku barusan.

  Plastik besar bertuliskan sebuah nama toko, aku kenal nama toko itu. Plastik itu milik seorang Ibu yang kebetulan berdiri di dekat kami bersama anaknya, dia letakkan plastik itu di bawah hingga aku mampu mencium isi plastik itu, benar sekali. Plastik itu berisi roti, aku mencium aromanya dan kebetulan aku sedang lapar. Aku berjalan pelan, mindik-mindik lebih dekat dengan Ibu itu, aku bermaksud mengambil roti itu dari dalam plastik. Sudah tak sabar aku ingin segera menggigitnya, hampir saja aku mendapatkan roti itu. Dia mendorongku hingga terjatuh, alhasil Ibu itu melihatku dan segera mengangkat plastiknya. Aku segera berlari.

   “Sejak kapan kau mencuri untuk mengisi perut kecilmu itu?”
   “Ah … kau itu, aku lapar kawan. Kebetulan lama aku tak makan roti, kalau bukan karena kau pasti aku sudah dapatkan roti itu”
    “Lebih baik kau kelaparan daripada harus mencuri, jangan pernah kau merugikan orang lain. Sekecil biji semangka kita berguna untuk orang lain maka Allah akan menggantinya sebesar buah semangka kebaikan untuk kita.”

    “Halah … itu hanya katamu, kau fikir aku mau sepertimu yang selalu dimanfaatkan orang lain tapi setelah kau rusak dan kumuh mereka tak peduli padamu. Kau itu hanya sebuah tempat sampah yang kecil tak berguna, sudah rusak penuh dengan kotoran dan menjijikan. Bahkan sudah tak ada orang yang membuang sampah padamu, apalagi membersihkanmu.”

    Spontan aku berkata kalimat kasar itu padanya. Aku … aku tak sengaja, aku benar-benar tak bermaksud begitu. Dia terdiam dengan cacianku barusan, tapi aku masih malu untuk minta maaf. Aku terdiam sambil melihat Ibu itu mengupas roti untuk anaknya, kubayangkan betapa lezatnya roti itu jika masuk dalam mulutku. Kupejamkan mata untuk pura-pura tidak melihat.

   “Bukalah mata kau kawan, semoga ini cukup untuk mengisi perutmu”
   Dia memberiku sebuah roti, roti yang tadi kulihat dikupas oleh Ibu itu. Aku masih terdiam memandangnya, bagaimana dia mendapatkan roti itu?
   “Ibu itu membuangnya padaku, karena rotinya terjatuh dan kotor.”
  Aku menerima roti itu darinya, mataku mengembun. Aku malu, aku baru saja menghinanya. Aku benar-benar tikus yang tak tau diri, mungkin benar katamu, kawan. Sekecil biji semangka kebaikan akan Allah gantikan sebesar buah semangka, bahkan aku yang bermaksud buruk saja masih diberi kebaikan oleh Allah. Kawan, aku minta maaf. Aku minta maaf karena aku telah menyakiti hatimu.
   “Aku tidak sakit hati olehmu, mungkin karena kau sedang proses menuju seksi makanya sedikit emosi padaku." katanya padaku sambil tersenyum, aku benar-benar beruntung punya teman sepertinya. Kutinggal sebentar dia untuk mencari minum karena roti itu berhenti di tenggorokanku.

  “Wah… sudah rusak, paling juga nggak papa jika kuambil. Lumayan untuk dijual bisa jadi baru lagi, daripada disini tak berguna." kudengar kalimat itu keluar dari mulut seorang pemulung yang kemudian mengambilnya dan memasukkannya ke dalam karung. Aku berteriak minta tolong sekeras mungkin, 

   "Tolong … jangan bawa temanku. Tolong… tolong… temanku diculik."
   
   Tak ada yang peduli bahkan tak ada satu orang pun yang mendengar atau menghirauku. Aku tahu kenapa tak ada yang mendengarku, karena aku hanya seekor tikus. Aku menangis dengan sisa roti dalam mulutku dan melihatnya dalam karung pemulung lambat laun menjauh. Maafkan aku kawan, aku janji akan selalu mengingat pesanmu. Aku berusaha agar berguna untuk orang lain dan tidak merugikan siapapun. 

   "Sekecil biji semangka untuk sebesar buah semangka ..."


Tanjungpinang, 28 Oktober 2016

Janji Kepada Hembusan Angin




   “HAHAHA ..!!” tawa terdengar dari dalam ruangan kelas itu. Suasana akrab antara sesama insan itu sedang terjalin. Selalu. Setiap saat. Tak pernah absen. Karena persahabatan itu abadi hingga nanti. Saat-saat yang paling dinanti. Menghapus penat yang menyesakkan hati. Masing-masing dari mereka saling merindu. Saling mencinta. Mencinta karena Allah. Meski tak satu pun dari mereka yang mengutarakan itu. Namun fakta telah membuktikannya. Suasana yang hurmonis dan saling membahagiakan senantiasa menghiasi diri mereka. Mereka belum beranjak dari tempat duduknya. Mungkin takut. Mungkin cemas. Mungkin ragu. Jika mereka beranjak, mereka selamanya tak bisa bersama.

   “Mikum ...” ucap seorang gadis bermata coklat berjilbab itu. “Mikum” itu merupakan singkatan dari Assalamu’alaikum. Haha, setelah sadar, dia membetulkan ucapannya.
“Assalamu’alaikum ...” ujarnya. Nah, itu baru benar!
“Wa’alaikumsalam. Eh, siapa yah? Anak baru yah? Namanya siapah? Dari sekolah manah? Umurnya berapah? Tempat tinggalnya dimanah? Kesini naik apah? Sama siapah? Udah sarapan? Belum ya? Pasti belum. Di kantin ada nasi, bubur juga ada, terus omelet, burger, bakso. Tapi saran saya sih beli jangan makan bakso pagi-pagi. Ada bawa tas? Baju lengkap? Terus alat tulis adah? Kalau nggak ada, beli aja di kantin. Lengkap kok. Dijamin deh, Okey, silahkan masuk!” jelas seorang gadis berkaca mata dan berkulit putih.

   Yang dicandai hanya berdiri mematung didepan pintu. Yang mencandai kabur karena takut kepada sang gadis bermata coklat itu akan memukulnya. Dan benar saja, aksi kejar-kejaran pun tercipta. Suara riuh menghiasi kelas itu. Suasana kelas yang sepi sangat mendukung mereka karena belum ramai murid berseragam putih biru itu memenuhi kelas. Karena waktu masih menunjukkan pukul 06.40. bel berdentang jika sudah pukul 07.00. ketika mereka sedang asyik berkejaran, teman-teman mereka yang lain mulai berdatangan. Diantaranya ialah Tya, Alysa, Putri, Salsa, Lizzy, Phia, Icha, Ray. Gadis-gadis cantik yang selalu membalut kepalanya dengan jilbab itu mengisi bangku dan menyaksikan aksi kejar-kejaran yang tak kunjung usai itu.

   “Heh ... jangan kejar-kejaran di kelas, dong. Jangan buat malu kami keles” Phia mulai membuka suara.
    “Iya bener tuh kata Phia. Urusan rumah tangga jangan dibawa ke sekolah juga. Selesaikan di kamar nanti!” Alysa mulai menggoda mereka. Seperti biasa.

   Sadar bahwa mereka tengah diserang lautan komentar sahabatnya, mereka sepakat untuk balik mengerjai. Sang gadis bermata coklat itu bernama Citra. Nama yang cantik, secantik orangnya. Sedangkan yang satu lagi bernama Asya. Wajahnya imut dan jahil namun baik. Beberapa saat kemudian, mereka semua larut dalam sebuah keceriaan pagi yang sederhana. Memang benar kata orang, tak perlu mencari orang yang sempurna untuk bahagia, cukup cari orang yang mampu membuat kita mengerti bahwa bahagia itu sederhana.

   Waktu menunjukkan pukul 07.00. dan bersamaan dengan itu, dering bel mulai bergema. Kebehagiaan membuat mereka tak merasakan apa-apa. Senyum dan tawa kebahagiaan selalu tersungging dalam bibir mereka. Menambah anggun wajah mereka. Masya Allah..

   “Udah, ah. Capek tahu. Kerasa nggak?” tanya Lizzy.
    “Iya. Ih, gila! Capek banget” Salsa menyahut.
    “Eh, Sya. Nggak capek apa? Keringet udah segede jagung gini” Putri yang paling kencang berlari mulai mengeluarkan suaranya.
“Halah.. jangan Tanya deh, sama Asya, dia mana kerasa, orang badannya aja kebenyakan lemak. Pasti nggak kerasa” Ray yang terkenal paling jahil di antara mereka mulai menggoda Asya yang terkenal paling memerhatikan kesehatan tubuhnya.

    “Hah?! Lemak?! Berarti gendut dong?? Duh.. gimana nih? Eh, bantuin ngapa? Jangan ngehina aja kerjaannya. Eh, Dhara, gendut ya? Banget?” pas seperti keinginan Ray untuk membuat wajah khawatir Asya. Benar-benar usil!
 
   “Iya” ujar Dhara pendek. Ia memang dikenal sebagai sosok yang pendiam dan tak terlalu berkomentar atas suatu masalah. Namun sebenarnya ia sangat peduli.
 
   “Ih, Dhara! Komen apa gitu. Jangan cuma bilang iya aja” sahut Auja
   “Bener tuh kata Auja, Dhar. Jadi orang tuh jangan kalem gitu. Sok kalem yang ada” Heny membenarkan kalimat Auja sambil menepuk pundak Dhara pelan.
   “Kalau aku cerewet, nanti ngalahin Asya. Males, ah bersaing gitu” jawab Dhara dengan wajah polosnya.
Begitulah mereka. Saling membahagiakan. Bercanda. Membuat burung-burung cemburu. Membuat embun pagi itu tak ingin gugur. Membuat daun-daun muda itu makin melekat erat pada sang dahan pohon. Ingin menyaksikan para insan itu bercanda dengan balutan cinta dan kasih.

   Pada hari itu, pelajaran dimulai seperti biasa mereka lakukan. Mereka menghabiskan seluruh harinya dengan suatu kebahagiaan yang sulit diartikan dengan kata-kata. Bahagia yang sederhana. Karena mereka yakin bahagia yang berlebihan dapat membutakan hati. Membuat lupa bahwa yang manis itu sementara. Maka dari itu mereka tetap belajar dengan tekunnya. Diiringi oleh tawa tanda cinta kepada sahabat karena-Nya.

   

   Dan kini, kebersamaan semu itu menghantarkan mereka pada saat dimana raga harus terpisah oleh jarak dan waktu. Sebuah perpisahan. Yang membuat tangis haru ketika pakaian toga mulai melekat dalam tubuh mereka dan tali pada topi itu bergeser ke kanan. Itu tangis yang sesungguhnya. Tangis haru. Karena waktu yang singkat dan kebersamaan secara nyata itu harus diakhiri demi menaiki tangga yang lebih tinggi menuju bintang di langit.

   “Baiklah, tiba saat yang ditunggu-tunggu. Yaitu penyerahan sertifikat hafalan tahfidz dan penggeseran tali pada topi toga yang mereka kenakan. Kita panggilkan para putri-putri harapan bangsa, yang pertama adalah Putri Salbila! Kepada putri kami persilahkan.” ujar MC memanggil nama putri diiringi sorakan penonton dan tangis haru para sahabat. Yang lain pun menanti gilirannya.

   “Yang kedua, Lizzy Az-Zahra!”
   “Yang ketiga, Geubrina Ray!”
   “Selanjutnya adalah, Asya Humaira!”
   “Lalu mari kita panggil, Henyanti!”
  “Mari kita panggil, Rauza Shara Salsabila!”
  “Selanjutnya, Zahratul Dhara!”
  “Alysa Sintia!”
  “Phia Delvina!”
  “Risa Nurul Hasna!”
  “Tya Alicia!”
  “Silahkan naik ke atas panggung, Citra Andini!”
  “Dan yang terakhir, Syifa Shara Salsa! Dengan berakhirnya pemanggilan para putri SMP Islam Al-Hikmah pada hari ini …”

  Acara wisuda telah lama berlalu. Namun 13 wanita itu masih enggan beranjak dari gedung itu. Mengabadikan berbagai foto lalu menatap langit. Mata mereka mulai menghangat. Perlahan meneteskan air mata. Semua orang pasti terhenyuh atas situasi mereka. Hening namun menghanyutkan. Memang pada nyatanya, setiap kepingan kisah itu pasti memiliki ujung.

   “Kini tiba saatnya, bukan? Kita akan pergi menuju cita-cita kita masing-masing. Semoga suatu saat nanti, sebuah kisah berujung ini akan mempertemukan kita lagi. Berjanjilah..” lirih Citra.
   “Ya, kita semua berjanji” ucap mereka bersama. Sambil merekatkan janji kelingking. Itulah janji mereka. Yang setiap hembusan angin menyaksikannya ...


Tanjungpinang, 28 Oktober 2016

Monday, October 24, 2016

Koin Penyok




G+

Seorang lelaki berjalan tak tentu arah dengan rasa putus asa. Kondisi keuangan keluarganya morat-marit.
Saat menyusuri jalanan sepi, kakinya terantuk sesuatu.

Ia membungkuk dan menggerutu kecewa. "Uh, hanya sebuah koin kuno yang sudah penyok."

Meskipun begitu ia membawa koin itu ke bank.

"Sebaiknya koin ini dibawa ke kolektor uang kuno!" kata Teller itu memberi saran.
Lelaki itu membawa koinnya ke Kolektor. Beruntung sekali, koinnya dihargai Rp300.000,-
Lelaki itu begitu senang. Saat lewat toko perkakas, dilihatnya bbrp lembar kayu obral. Dia pun membeli kayu seharga Rp300.000,- untuk membuat rak buat istrinya. Dia memanggul kayu tersebut dan beranjak pulang.

Di tengah perjalanan dia melewati bengkel pembuat mebel. Mata pemilik bengkel sudah terlatih melihat kayu bermutu yang dipanggul lelaki itu. Dia menawarkan lemari Rp 1 juta untuk ditukar dg kayu itu. Setelah setuju, dia meminjam gerobak untuk membawa pulang lemari itu.

Dlm perjalanan dia melewati perumahan. Sang Lelaki bertemu dengan Wanita muda.
"Oh ... indah sekali lemarimu, bolehkah aku membelinya?" Kata Si Wanita tersebut.

"Berapa Anda mau membelinya?" timpal Lelaki tersebut

"Dua juta."

Si Lelaki itu ragu2.
Si wanita menaikkan tawarannya menjadi Rp 3,5 juta, yang membuat Si pemilik lemari menganggukan kepala merasa senang dengan penawaran Wanita di hadapannya.

Saat sampai di pintu desa, dia ingin memastikan uangnya. Ia merogoh sakunya dan menghitung lembaran bernilai Rp 3,5 juta.‎

Tiba-tiba ada perampok datang, mengacungkan clurit, merampas uang itu, lalu kabur dengan suara motornya yang bising.

Istrinya kebetulan melihat dan berlari mendekati suaminya dan bertanya dg penuh kekhawatiran,
"Apa yang terjadi? Kamu baik-baik saja kan? Apa yg diambil perampok tadi?"

Lelaki itu mengangkat bahunya dan berkata, "Oh, nggak apa-apa kok. Yg diambil hanya sebuah koin penyok yg kutemukan di jalan tadi pagi ..."

*
Saudaraku...‎

Bila kita sadar bahwa kita tak pernah memiliki apapun, kenapa harus tenggelam dalam kepedihan yg berlebihan?

Semestinya kita bersyukur atas segala yang telah kita miliki, karena ketika datang tidak membawa apa-apa & pergi kita tidak membawa apa-apa.

Menderita karena melekat. Bahagia karena melepas.

Karena demikianlah hakikat sejatinya kehidupan.

Apa yg sebenarnya yang kita punya dlm hidup ini?

Tidak ada.!
Bahkan napas kita saja bukan kepunyaan kita dan tidak bisa kita genggam selamanya.

Hidup itu perubahan, dan pasti akan berubah.

Saat kehilangan sesuatu kembalilah ingat bahwa sesungguhnya kita tidak punya apa-apa.
Jadi "kehilangan" itu tidaklah nyata dan tidak akan pernah menyakitkan.
Kehilangan hanya sebuah tipuan pikiran yg penuh dg ke"aku"an.

Ke "AKU" an lah yang membuat kita menderita.‎

Rumahku, hartaku, istriku, suamiku, anakku.

Lahir ‎tidak membawa apa2, meninggal pun sendiri, tidak membawa apa2 dan siapa2. ‎

Pada waktunya "let it go".
Siapapun yg bisa melepas, tidak melekat, tidak menggenggam erat, maka dia akan selalu bahagia...‎


Tanjungpinang, 24 Oktober 2016