“HAHAHA ..!!” tawa terdengar dari dalam ruangan kelas itu. Suasana
akrab antara sesama insan itu sedang terjalin. Selalu. Setiap saat. Tak
pernah absen. Karena persahabatan itu abadi hingga nanti. Saat-saat yang
paling dinanti. Menghapus penat yang menyesakkan hati. Masing-masing
dari mereka saling merindu. Saling mencinta. Mencinta karena Allah.
Meski tak satu pun dari mereka yang mengutarakan itu. Namun fakta telah
membuktikannya. Suasana yang hurmonis dan saling membahagiakan
senantiasa menghiasi diri mereka. Mereka belum beranjak dari tempat
duduknya. Mungkin takut. Mungkin cemas. Mungkin ragu. Jika mereka
beranjak, mereka selamanya tak bisa bersama.
“Mikum ...” ucap seorang gadis bermata coklat berjilbab itu. “Mikum”
itu merupakan singkatan dari Assalamu’alaikum. Haha, setelah sadar, dia
membetulkan ucapannya.
“Assalamu’alaikum ...” ujarnya. Nah, itu baru benar!
“Wa’alaikumsalam. Eh, siapa yah? Anak baru yah? Namanya siapah? Dari sekolah manah? Umurnya berapah? Tempat tinggalnya dimanah? Kesini naik apah? Sama siapah? Udah sarapan? Belum ya? Pasti belum. Di kantin ada nasi, bubur juga ada, terus omelet, burger, bakso. Tapi saran saya sih beli jangan makan bakso pagi-pagi. Ada bawa tas? Baju lengkap? Terus alat tulis adah? Kalau nggak ada, beli aja di kantin. Lengkap kok. Dijamin deh, Okey, silahkan masuk!” jelas seorang gadis berkaca mata dan berkulit putih.
“Assalamu’alaikum ...” ujarnya. Nah, itu baru benar!
“Wa’alaikumsalam. Eh, siapa yah? Anak baru yah? Namanya siapah? Dari sekolah manah? Umurnya berapah? Tempat tinggalnya dimanah? Kesini naik apah? Sama siapah? Udah sarapan? Belum ya? Pasti belum. Di kantin ada nasi, bubur juga ada, terus omelet, burger, bakso. Tapi saran saya sih beli jangan makan bakso pagi-pagi. Ada bawa tas? Baju lengkap? Terus alat tulis adah? Kalau nggak ada, beli aja di kantin. Lengkap kok. Dijamin deh, Okey, silahkan masuk!” jelas seorang gadis berkaca mata dan berkulit putih.
Yang dicandai hanya berdiri mematung didepan pintu. Yang mencandai
kabur karena takut kepada sang gadis bermata coklat itu akan memukulnya.
Dan benar saja, aksi kejar-kejaran pun tercipta. Suara riuh menghiasi
kelas itu. Suasana kelas yang sepi sangat mendukung mereka karena belum
ramai murid berseragam putih biru itu memenuhi kelas. Karena waktu masih
menunjukkan pukul 06.40. bel berdentang jika sudah pukul 07.00. ketika
mereka sedang asyik berkejaran, teman-teman mereka yang lain mulai
berdatangan. Diantaranya ialah Tya, Alysa, Putri, Salsa, Lizzy, Phia,
Icha, Ray. Gadis-gadis cantik yang selalu membalut
kepalanya dengan jilbab itu mengisi bangku dan menyaksikan aksi
kejar-kejaran yang tak kunjung usai itu.
“Heh ... jangan kejar-kejaran di kelas, dong. Jangan buat malu kami keles” Phia mulai membuka suara.
“Iya bener tuh kata Phia. Urusan rumah tangga jangan dibawa ke sekolah juga. Selesaikan di kamar nanti!” Alysa mulai menggoda mereka. Seperti biasa.
“Iya bener tuh kata Phia. Urusan rumah tangga jangan dibawa ke sekolah juga. Selesaikan di kamar nanti!” Alysa mulai menggoda mereka. Seperti biasa.
Sadar bahwa mereka tengah diserang lautan komentar sahabatnya, mereka
sepakat untuk balik mengerjai. Sang gadis bermata coklat itu bernama
Citra. Nama yang cantik, secantik orangnya. Sedangkan yang satu lagi
bernama Asya. Wajahnya imut dan jahil namun baik. Beberapa saat
kemudian, mereka semua larut dalam sebuah keceriaan pagi yang sederhana.
Memang benar kata orang, tak perlu mencari orang yang sempurna untuk
bahagia, cukup cari orang yang mampu membuat kita mengerti bahwa bahagia
itu sederhana.
Waktu menunjukkan pukul 07.00. dan bersamaan dengan itu, dering bel
mulai bergema. Kebehagiaan membuat mereka tak merasakan apa-apa. Senyum
dan tawa kebahagiaan selalu tersungging dalam bibir mereka. Menambah
anggun wajah mereka. Masya Allah..
“Udah, ah. Capek tahu. Kerasa nggak?” tanya Lizzy.
“Iya. Ih, gila! Capek banget” Salsa menyahut.
“Eh, Sya. Nggak capek apa? Keringet udah segede jagung gini” Putri yang paling kencang berlari mulai mengeluarkan suaranya.
“Halah.. jangan Tanya deh, sama Asya, dia mana kerasa, orang badannya aja kebenyakan lemak. Pasti nggak kerasa” Ray yang terkenal paling jahil di antara mereka mulai menggoda Asya yang terkenal paling memerhatikan kesehatan tubuhnya.
“Iya. Ih, gila! Capek banget” Salsa menyahut.
“Eh, Sya. Nggak capek apa? Keringet udah segede jagung gini” Putri yang paling kencang berlari mulai mengeluarkan suaranya.
“Halah.. jangan Tanya deh, sama Asya, dia mana kerasa, orang badannya aja kebenyakan lemak. Pasti nggak kerasa” Ray yang terkenal paling jahil di antara mereka mulai menggoda Asya yang terkenal paling memerhatikan kesehatan tubuhnya.
“Hah?! Lemak?! Berarti gendut dong?? Duh.. gimana nih? Eh, bantuin ngapa? Jangan ngehina aja kerjaannya. Eh, Dhara, gendut ya? Banget?” pas seperti keinginan Ray untuk membuat wajah khawatir Asya. Benar-benar usil!
“Iya” ujar Dhara pendek. Ia memang dikenal sebagai sosok yang pendiam
dan tak terlalu berkomentar atas suatu masalah. Namun sebenarnya ia
sangat peduli.
“Ih, Dhara! Komen apa gitu. Jangan cuma bilang iya aja” sahut Auja
“Bener tuh kata Auja, Dhar. Jadi orang tuh jangan kalem gitu. Sok kalem yang ada” Heny membenarkan kalimat Auja sambil menepuk pundak Dhara pelan.
“Kalau aku cerewet, nanti ngalahin Asya. Males, ah bersaing gitu” jawab Dhara dengan wajah polosnya.
“Bener tuh kata Auja, Dhar. Jadi orang tuh jangan kalem gitu. Sok kalem yang ada” Heny membenarkan kalimat Auja sambil menepuk pundak Dhara pelan.
“Kalau aku cerewet, nanti ngalahin Asya. Males, ah bersaing gitu” jawab Dhara dengan wajah polosnya.
Begitulah mereka. Saling membahagiakan. Bercanda. Membuat
burung-burung cemburu. Membuat embun pagi itu tak ingin gugur. Membuat
daun-daun muda itu makin melekat erat pada sang dahan pohon. Ingin
menyaksikan para insan itu bercanda dengan balutan cinta dan kasih.
Pada hari itu, pelajaran dimulai seperti biasa mereka lakukan. Mereka
menghabiskan seluruh harinya dengan suatu kebahagiaan yang sulit
diartikan dengan kata-kata. Bahagia yang sederhana. Karena mereka yakin
bahagia yang berlebihan dapat membutakan hati. Membuat lupa bahwa yang
manis itu sementara. Maka dari itu mereka tetap belajar dengan tekunnya.
Diiringi oleh tawa tanda cinta kepada sahabat karena-Nya.
Dan kini, kebersamaan semu itu menghantarkan mereka pada saat dimana
raga harus terpisah oleh jarak dan waktu. Sebuah perpisahan. Yang
membuat tangis haru ketika pakaian toga mulai melekat dalam tubuh mereka
dan tali pada topi itu bergeser ke kanan. Itu tangis yang sesungguhnya.
Tangis haru. Karena waktu yang singkat dan kebersamaan secara nyata itu
harus diakhiri demi menaiki tangga yang lebih tinggi menuju bintang di
langit.
“Baiklah, tiba saat yang ditunggu-tunggu. Yaitu penyerahan sertifikat
hafalan tahfidz dan penggeseran tali pada topi toga yang mereka
kenakan. Kita panggilkan para putri-putri harapan bangsa, yang pertama
adalah Putri Salbila! Kepada putri kami persilahkan.” ujar MC memanggil
nama putri diiringi sorakan penonton dan tangis haru para sahabat. Yang
lain pun menanti gilirannya.
“Yang kedua, Lizzy Az-Zahra!”
“Yang ketiga, Geubrina Ray!”
“Selanjutnya adalah, Asya Humaira!”
“Lalu mari kita panggil, Henyanti!”
“Mari kita panggil, Rauza Shara Salsabila!”
“Selanjutnya, Zahratul Dhara!”
“Alysa Sintia!”
“Phia Delvina!”
“Risa Nurul Hasna!”
“Tya Alicia!”
“Silahkan naik ke atas panggung, Citra Andini!”
“Dan yang terakhir, Syifa Shara Salsa! Dengan berakhirnya pemanggilan para putri SMP Islam Al-Hikmah pada hari ini …”
Acara wisuda telah lama berlalu. Namun 13 wanita itu masih enggan
beranjak dari gedung itu. Mengabadikan berbagai foto lalu menatap
langit. Mata mereka mulai menghangat. Perlahan meneteskan air mata.
Semua orang pasti terhenyuh atas situasi mereka. Hening namun
menghanyutkan. Memang pada nyatanya, setiap kepingan kisah itu pasti
memiliki ujung.
“Kini tiba saatnya, bukan? Kita akan pergi menuju cita-cita kita
masing-masing. Semoga suatu saat nanti, sebuah kisah berujung ini akan
mempertemukan kita lagi. Berjanjilah..” lirih Citra.
“Ya, kita semua berjanji” ucap mereka bersama. Sambil merekatkan janji kelingking. Itulah janji mereka. Yang setiap hembusan angin menyaksikannya ...
“Ya, kita semua berjanji” ucap mereka bersama. Sambil merekatkan janji kelingking. Itulah janji mereka. Yang setiap hembusan angin menyaksikannya ...
Tanjungpinang, 28 Oktober 2016
0 comments:
Post a Comment