Sudah selayaknya jika seorang pelayan mematuhi perintah majikannya, sudah menjadi rahasia umum pula ketika terdengar caci dan maki dari kedua telinganya, dan tak jarang ketika sebuah telunjuk mengarah ke wajahnya akibat tindakan yang di lakukannya meskipun sebenarnya apa yang di lakukan sang pelayan benar, secara seorang penguasa biasanya merasa malu bila mengakui kesalahan di hadapan anak buahnya.
Sempat aku berpikir "apakah sang pelayan tak ada keberanian untuk memperjuangkan hak-nya?"
Namun seiring berjalannya sang waktu, aku menemukan jawabannya. "Materi"
Ya... materi(Uang) lah yang selama ini membuat sang pelayan merasa takut memperjuangkan kebenaran di hadapan sang "Big Bos".
Hingga akhirnya aku mengalami hal serupa. Terpaku karena materi. Aku menjadi seorang pelayan. Menjadi seorang pengecut untuk menyerukan sebuah kebenaran.
Bukan aku tidak berani menyerukannya, namun aku lebih memilih mengalah. Mengalah mengakui kesalahan yang sebenarnya tidak aku lakukan.
Sempat aku berpikir "mungkin mencari kerjaan yang lain."
Namun di lain waktu hati kecil ini berbisik "mungkin kah bekerja di tempat lain akan mendapat pelayanan seperti yang aku dapatkan sekarang? Gaji? Juga kenyamanan?"
Akan menyenangkan jika lebih baik dari ini, jika tidak?
Cih... lagi-lagi harus ku akui Materi membuat nyali ini ciut.
Sekali lagi harus ku akui, bukannya aku terlalu takut untuk mengambil sebuah keputusan namun "Materi" lah yang mengunci raga ini untuk tetap berdiam di sini.
Karena mengalah bukan berarti kalah. Biarlah waktu yang menjawab.
Panumbangan, 3 Maret 2014
At 15:20 WIB
0 comments:
Post a Comment