Kamu seperti angin. Kamu selalu
menyejukkanku. Sejak hari itu, tujuh bulan-dua belas hari yang lalu, awal kita bertemu.
Gedung sekolah ini sepertinya menjadi saksi bisu bagaimana senyummu membuatku mabuk kepayang. Senyum yang muncul disebuah senja di sebuah acara test penerimaan murid baru sebuah sekolah swasta.
Senyummu seperti angin yang menyegarkan ditengah teriknya matahari senja itu. Dan sejak saat itu aku terus memikirkanmu, bahkan mencintaimu.
Secepat itu kah...?
Tabu...?
Apa yang menurutmu tidak tabu dalam cinta...?
Semua ini alami, nyata, dan kurasakan sendiri meluap di dalam dadaku. Rasanya dadaku terus berdebar aneh, dan senyumku selalu tersungging lucu ketika aku mengingatmu.
Bahkan, ketika sehari tidak melihatmu aku rindu. Tapi, semua tetap kusimpan di sini, di hati dan otak ini. Tak pernah kusampaikan. Lebih tepatnya, aku malu menyampaikannya.
Aku bukan lelaki penggombal, dan bahkan
aku tak tahu harus bagaimana memulai
perbincangan denganmu. Yang hanya bisa
kulakukan hanyalah terus berkhayal
semalam suntuk tentang kita berdua.
Iya... berdua. Kita saling berangkulan, saling mengucapkan cinta.
Ahhh... sungguh manis nian rasanya.
Tapi, semua itu berubah jadi asam hari ini.
Hari dimana aku mencoba berbicara (secara terbata-bata) kepadamu. Mengungkapkan apa yang kurasakan. Aku justru neat, dan well, sakit hati
justru yang kudapatkan. Bukan malah sebuah kata indah seperti,
"Aku juga mencintaimu."
Justru yang aku terima adalah beberapa
kata-kata sarkasme tentang fisik yang
katamu aneh. Lalu semua itu kamu akhiri dengan pergi meninggalkan aku dan hatiku yang berserakan di pinggir gedung sekolah tua inu. Seketika aku hancur.
Akhirnya aku sadar, kamu memang angin.
Kamu memang datang hanya untuk menyegarkanku, tapi tidak bisa kumiliki. Aku bahkan tak bisa memeluk angin.
Angin terlalu anggun untukku.
0 comments:
Post a Comment