Pages - Menu

Tuesday, December 31, 2013

Aku, Ayah, dan Anakku Nanti



#MyDreamMyLife. #DIVAmate

*Bahagia...??? Itu sudah pasti. Bagaimana tidak, kalau angan-anganku selama ini bisa terwujud.

Akhirnya corat-coretku bisa terwujud dalam sebuah buku. Ya... meskipun hanya dalam bentuk kumpulan cerpen. Bukan sebuah novel yang selama ini aku impikan. Tapi tetep alhamdulillah...
Corat-coretku yang berjudul "Aku, Ayah, dan Anakku Nanti" ini di kemas dalam sebuah buku kumpulan cerpen, "Curhatku untuk Semesta"
Banyak sekali cerpen-cerpen hasil karya penulis muda dalam buku terbitan DIVA Press, Yogyakarta.

Cekidot....!!!


Setiap kita pasti punya cerita hidup. Ada yang sangat pribadi, hingga begitu rahasia. Ada pula yang sangat pribadi, tetapi sejatinya dialami banyak sekali oleh orang lain di luar sana, tentu dengan lakon yang berbeda.
Saya lalu berpikir, bukankah setiap cerita hidup itu jika bisa dibaca oleh orang lain bisa menjadi sebuah inspirasi ya?
Jika proses menginspirasi ini bisa di lakukan oleh setiap orang, otomatis setiap orang bisa menjadi "guru hidup" bagi orang lainnya.
Ya!!! Ia akan menjadi orang yang bermanfaat, dalam skalanya masing-masing. Dan tentu saja ini peran hidup yang sangaaaat luaaarrr biasa.
#MyDreamMyLife adalah sebuah impian, sebuah kehidupan, persembahan kita untuk sejarah kehidupan.


Aku, Ayah, dan Anakku Nanti
Kumandang adzan subuh membuatku terpaksa membuka mataku yang terasa berat, dengan langkah gontai aku berjalan menuju kamar mandi, membasuh muka dan mengambil air wudlu. Dan inilah salah satu jurus paling ampuh untuk mengusir setan malas yang berada di kelopak mataku.
Setelah menunaikan shalat yang merupakan kewajiban sebagai umat muslim, kupersiapkan peralatan sekolah yang akan aku gunakan hari ini.
Ah... mendadak rasa malas itu hadir kembali, bukabmn malas menjalani aktifitasku sebagai seorang pelajar, namun malas karena harus menyaksikan orang-orang yang kujumpai begitu dekatnya dengan orang tua mereka. Terutama sosok Ayah.
Semenjak aku dilahirkan dan kedua mataku ini di ijinkan untuk menatap semesta. Aku belum pernah melihat sosok lelaki yang kerap disebut ayah itu.
Apakah aku iri? Ya... jelas-jelas aku sangat iri melihat kedekatan mereka. Maafkan aku ya Allah.
Kulirik jam yang menggantung di dinding kamarku, jarum jam tepat menunjukan pukul enam pagi, dan aku bergegas melangkahkan kakiku ke sekolah. Hari Sabtu ini adalah acara pembagian raport, pasti semua teman-temanku datang bersama orang tua mereka. Lalu tersenyum bangga menunjukan hasil belajar mereka.
"Iwan..." suara lantang wali kelas membuyarkan lamunanku.
"Eh, iya Bu."
Dengan langkah pasti aku berjalan menghampiri meja guru, semua pasang mata yang ada di ruangan ini menatap aneh kepadaku. Seolah aku ini makhluk asing dari luar angkasa. Aku benci tatapan mereka. Hanya karena aku berjalan seorang diri tanpa ada orang tua yang mendampingiku, seperti teman-temanku kebanyakan.
Ibuku tidak bisa hadir dalam acara ini karena harus berdagang. Mencari kepingan-kepingan rupiah agar aku tetap bisa sekolah.
Sungguh sangat memprihatinkan, tapi aku selalu bersyukur dengan keadaan yang aku jalani saat ini. Setidaknya aku lebih beruntung dari anak-anak lain yang tidak bisa sekolah.
Hingga saat ini aku tidak mengetahui keberadaan ayahku, dan aku pun tidak pernah ingin mengetahuinya lagi semenjak kejadian di rumah sakit beberapa bulan yang lalu.
Saat itu aku terbaring kritis karena penyakitku. Dan aku membutuhkan donor darah AB. Samar-samar aku mendengar percakapan ibuku dengan keluarga yang lain, kalau ayahku tidak bersedia mendonorkan darahnya.
"Ya Allah, terbuat dari apa hati ayahku???"
6 Oktober 2013
Ditemani suara binatang malam, aku duduk terpaku di bangku taman belakang rumah, sesekali tanganku menari di atas keyboard laptop yang berada di pangkuanku. Menuliskan kisah pahitku.
Malam ini, tepat seminggu sebelum aku melangsungkan pernikahan dengan wanita pilihan hatiku. Dalam hati aku berjanji jangan sampai kisah pahit yang ku alami, yang sedang aku tulis ini. Terulang pada anak-anakku nanti. Aamiin.... "Cukup aku seorang yang mengalami kisah ini."
 
(Curhatku Untuk Semesta, halaman 213-216. Karya @iwantotti_10)

Sunday, December 29, 2013

Penantian

*Terinspirasi oleh lagunya Sheila on Seven, "Sephia"



 Sabar adalah guru paling hebat dalam hidup ini.
Sabar mengajariku bagaimana mengendalikan dan mengatasi musuh terbesar dalam hidup ini. Nafsu.
Sabar pula yang membuatku mencintai wanita dengan hati.


Menjadi bagian dari hidup wanita yang kucintai seperti mengukir ukiran cinta dengan busur panah yang tertancap di atas air. Sungguh sulit sekali.
Wanita cantik yang mempunyai rambut hitam panjang legam yang selalu tergerai indah itu benar-benar memikat naluriku sebagai lelaki untuk menaruh hati padanya. Berkali-kali aku gagal untuk memiliki dia sepenuhnya tapi aku tak pernah menyerah.
Seperti yang Ibu bilang, "Sabar itu tak mengenal kata tetapi. Sabar itu sahabat terbaik dalam hidup ini. Sabar memang tak selalu berujung dengan bahagia. Tapi sabar adalah guru paling hebat dalam hidup ini. Sabar mengajariku bagaimana mengendalikan dan mengatasi musuh terbesar dalam hidup ini. Nafsu. Sabar pula yang membuatku mencintai wanita dengan hati."

Bukan pria berpostur tinggi dan atletis itulah yang menjadi musuh terbesarku. Bukan. Meski tak bisa dipungkiri jika aku dan lelaki berpostur tubuh atletis itu adalah rival. Pria etletis itu selalu menantangku berduel untuk mendapatkanmu. Maaf wanita yang kukagumi, bukan maksudku mejadikanmu sebagai taruhan atas duel ini. Bukan. Aku hanya ingin mendapatkan dirimu dengan caraku, dengan peluh dan usahaku. Jika memang jalannya adalah menerima tantangan pria berpostur atletis yang selalu mengunjungimu saat hari sabtu tiba.

Sephia, apa kamu bahagia dengan kehadiran pria berpostur atletis itu setiap sabtu tiba? Pria yang menemanimu menikmati kerlap kerlip bintang, menemanimu menghabiskan sabtu malam di serambi rumahmu ditemani kunang-kunang. Sephia, sungguh aku iri melihat kalian berdua yang seringkali duduk berbincang-bincang di serambi rumahmu dengan akrabnya. Tak berani aku menatap kebersamaanmu degannya. Maaf, bukannya aku sombong tak menyapamu setiap kali aku melintas di depan rumahmu usai mengajari anak-anak kecil latihan silat.

Sephia, nyaliku seketika menjadi ciut sebelum melintasi rumahmu yang berpagar coklat terang dengan arsitektur bergaya joglo itu. Motor mewah yang dikenakan pria itu dari jauh sudah terlihat kinclongnya. Membuatku mengerutkan hati untuk sekedar melihatmu sekilas. Sephia, aku tahu jika kamu selalu melihatku melintasi rumahmu dengan sepedah butut peninggalan almarhumah bapakku.

Sephia, aku masih mengingat dengan jelas bagaimana kamu selalu menungguku di depan serambi rumahmu untuk bertemu denganku atau sekedar melihatku lewat usai mengajar silat. Aku masih ingat ketika dulu kamu berpura-pura menunggu abang bakso yang lewat, padahal kamu tengah menungguku lewat.

Sephia, aku tahu kamu menaruh hati padaku. Wanita mudah sekali terbaca gerak-geriknya saat jatuh cinta. Meski secerdik apapun wanita itu menyembunyikan perasaanya, pasti akan kelihatan juga. Meski bibirmu yang indah seperti bunga merekah itu terus berkata tidak ketika aku menggodamu namun matamu tak mungkin bisa berkata tidak. Bola matamu yang hitam itu selalu menjadi bagian yang aku lihat ketika berhadapan denganmu. Naluriku sebagai lelaki bisa memahami jika kamu menyukaiku.

Sephia, aku juga tak pernah berkata padamu jika aku mencintaimu. Jujur aku tak pernah berkata itu. Sebab aku memang tak berani mengatakannya. Yang jelas aku benar-benar mencintaimu. Cintaku padamu bukanlah cinta yang terencana. Aku tak bisa memperediksi sejak dan sampai kapan aku akan mencintaimu. Cintaku benar-benar tulus dari hati, tumbuh dari lubuk hati yang paling dalam.

Sephia, jika ada cinta yang terucap dan tak terucap, maka kaulah cinta tak terucapku. Cinta yang tak pernah berkata ada kata love you, jadian atau apapun itu. Cinta kita tumbuh dengan sendirinya. Tanpa rencana, tanpa sebab, bukan karena ada maksud apapun.

Sephia, apa kamu merindukanku? Aku merindukanmu, rindu pada gelak tawamu ketika bergurau dengan adik-adikmu di teras rumah, rindu senyummu yang kau tujukan padaku saat aku tersenyum padamu, rindu pada bola matamu yang hitam jernih itu yang selalu menjadi penyemangatku agar aku mencintaimu. Rindu pada rambut panjangmu yang membuat dirimu semkain cantik bak bidadari turun dari khayangan.
Sephia, sudah hampir dua purnama aku melintasi rumahmu namun aku tak pernah melihatmu di teras rumah. Aku tak pernah melihatmu tengah menunggu abang-abang bakso di hari lainnya, tak pernah melihatmu tengah bermain dengan adik-adikmu atau dirimu yang tengah dikunjungi pria atletis itu. Sephia, sedang apa kamu hingga aku tak pernah melihat sosokmu lagi.
Satu purnama lagi telah aku lewati. Berarti sudah tiga purnama berlalu kita tak bertemu. Sephia, ada apa denganmu? Di purnama ketiga aku tengah berada di kota lain. Mengadu nasib untuk mendapatkan penghidupan yang lebih layak. Andai kau tahu bahwa ragaku disana tapi hatiku disini. Sephia, aku mencemaskan keberadaanmu. Hingga akhirnya belum genap purnama keempat datang aku sudah memutuskan untuk kembali pulang.

Sephia, rasanya hatiku sudah putus asa. Tak berani aku mengetuk pintu rumahmu untuk bertanya keberadaanmu dan keadaanmu. Aku tak ingin dianggap lelaki pengecut karena ingkar janji. Aku berjanji pada pria atletis itu untuk tidak menemuimu. Ya, pria atletis itu mengetahui apa yang tengah bergejolak di antara kita. Sephia, pria atletis itu terus mencariku, menantangku berduel untuk mendapatkanmu. Kedengarannya konyol dan kekanak-kanakan, tapi memang inilah dunia kaum adam.
Sephia, hingga akhirnya Tuhan yang memberiku jawaban dari kerisauanku selama ini, di suatu pagi yang basah karena hujan semalam yang mengguyur kota ini aku hendak pergi ke rumah kerabatku dan melintasi rumahmu. Sephia betapa risaunya hatiku ketika kulihat dari kejauhan di pagar rumahmu tengah tertancap bendera putih yang di tengahnya terdapat tanda palang merah. Sephia, ada apa di rumahmu. Aku memutuskan untuk menuntun sepedah federal buntut ini. Perlahan mendekati rumahmu.

Sephia, betapa kagetnya aku ketika aku semakin dekat dengan rumahmu melihat orang sedang mengukir namamu dalam batu nisan. Sephia, ku eja nama itu berkali-kali. Masih saja tertera dengan jelas 5 huruf yang selalu kusebut-sebut dalam setiap sujudku untuk menjadi pelabuhan terakhirku, SEPHIA. Sephia, nyatakah ini? Atau mimpikah ini? Benarkah tubuh yang kulihat dari sini seberang jalan sini adalah sosokmu yang terbalut kain jarik dan kain putih dalam ruang tamu? Benarkah mereka yang sedang membacakan surat yasin tengah mendoakanmu yang tengah terbaring kaku itu?

Sephia, benarkah orang yang tengah menangis di sampingmu itu adalah mamahmu? Aku ingin masuk ke rumah itu. Tapi pantang bagiku untuk ingkar janji pada pria atletis itu. Sephia, orang berlalu lalang masuk ke rumahmu, sedangkan aku masih saja berdiri mematung di seberang jalan rumahmu. Mereka datang dengan pakaian hitam-hitam dan berkerudung dengan sesekali berbicara bisik-bisik tentangmu. Sephia, aimataku jatuh. Aku tak peduli sedang dimana aku. Menangis itu tak mengenal jenis kelamin. Sephia, aku benar-benar menangis di depan rumahmu, di seberang jalan, disaksikan orang yang berlalu-lalang melintasi jalan raya, di tempat yang sering kita gunakan untuk bertemu walau tak kurang dari 10 menit.
Sephia, gadis kecil yang sering kau ajak bergurau di teras rumahmu tengah menyeberang jalan, gadis kecil itu menghampiriku. Gadis kecil berambut keriting itu menyodorkan kertas putih untukku dan segera berlaluu meninggalkanku, kembali ke ruang tamu rumahmu.

Sephia, kubaca surat itu.


Cinta itu berarti saling setia dan saling percaya. Aku percaya jika kamu mencintaku, pria berambut ikal dengan kulit hitam legam dan tubuh tinggi. Meski tak pernah terucap kata cinta dari bibirmu. Aku selalu menunggumu melintasi rumahku setiap malam. Setiap hari rasanya aku merindukanmu. Sayang, bukankah rindu itu harus dirawat degan baik. Jangan dibiarkan berkobar karena bisa merusak jiwa. Maaf jika aku memanggilmu sayang, tapi aku memang menyayangimu. Sayang, maaf jika aku meninggalkanmu untuk selamanya tanpa pernah bercerita padamu tentang sakit yang kuderita ini. Sayang, aku tak ingin kamu mencintaiku hanya karena belas kasih seperti pria atletis yang kamu maksud itu. Tidak sayang, aku tak ingin kanker yang menggerogoti tubuhku ini menjadi sebab aku dikasihani. Sayang, dengan cintamu yang tak terucap itu aku merasa terus ingin hidup. Meski setiap hari aku harus menghitung hari menunggu kepulanganku ke rumah-Nya. Sayang, sebulan aku sakit di rumah, sebulan aku dirawat di rumah sakit dan sebulan pula aku memilih kembali ke rumah untuk menunggumu. Namun selama hampir sebulan itu kamu tak muncul juga. Sayang aku lelah, aku rindu, aku rapuh. Maaf hingga akhirnya aku membalas cintamu dengan kejutan yang menyakitkan ini. Sayang, bebaslah kamu menjadi pria. Jadilah pria yang bertanggung jawab dari setiap perbuatan yang kamu perbuat.
Sephia



Sephia, sungguh aku sanggup untuk meninggalkanmu. Tak sanggup menerima kenyataan yang pahit ini, tak sanggup menerima semua kejadian yang serasa mendadak dan mengiris relung hatiku. Selamat tinggal dan selamat tidur panjang kekasih tak terucap. Dan semoga aku dapat melupakanmu cepat.

CERPEN ROMANTIS: Bahasa cinta (Part 3)

Andreas tertawa. "Karena kau mempunyai daya magis yang kuat. Bagaiman mereka nggak semangat kalau di depannya ada seorang gadis cantik yang selalu tersenyum dan membelikan rokok buat mereka. Pasti mereka merasa di hargai."
"Aku sadar. Tanpa mereka aku tak bisa berbuat banyak. Ini suatu mekanika kerja yang harus di lestarikan. Mereka juga manusia yang memerlukan pengakuan akan perannya."
"Tanpa menghiraukan gunjingan orang? Teman sekerjamu misalnya?" Andreas menatap wajah Yulian yang begitu ceria siang itu.
"Cukup di dengar saja. Mungkin pandangan mereka berbeda." (Bahasa Cinta Part 2)


Bahasa Cinta (Part 3)

Yulian hampir tidak pernah mampir sepulang dari kerja, tapi entah kenapa sore itu dia mau saja di ajak Katrina singgah di kostnya. karena terlalu sering mengajak, Yulian ingin memenuhi permintaan teman sekerjanya itu.
Kost Katrina mempunyai halaman luas yang di penuhi aneka tanaman bunga. Ada Bougenvile, Asoka, nusa Indah. semua terwat dengan baik. Juga ada empat pohon cemara yang menjulang di tepi pagar.
Diam-diam Yulian mengagumi temannya itu. "Suasana kamar ini begitu tenang dan menawan, seperti pemiliknya." sanjung Yulian. "Kau benar-benar wanita mandiri Trin."
"Aku yakin kamu pun bisa seperti aku, bahkan mungkin lebih hebat. Kau memiliki mkeahlian yang jarang di miliki seorang gadis lain." balas Katrina.
"kamu terlalu berlebihan menilai aku."


"Bagaimana pekerjaanmu di lapangan tadi, menyenangkan?" Katrina mengalihkan pembicaraan.
"Aku ingin menganggap apa yang aku kerjakan menyenangkan." jawab Yulian sambil melipat bantal, agar sandaran kepalanya agak meninggi.
"Kiat seperti itu yang membuat wajahmu selalu tampak berseri. Aku kagum denganmu. Bahkan kau tak menghiraukan tatapan sinis Lasmiranda siang tadi."
Yulian tertawa lunak. "Itulah sifat buruk perempuan. Melirik,,, menatap sinis,,, berwajah masam dan menjep-menjep. Aku juga sering melakukan sifat seperti itu saat masih kecil."
"Tapi sudah tidak pantas untuk wanita dewasakan?"
"Yang penting kita lakukan yang terbaik Trin."

Yulian tidak lama singgah di rumah Katrina, sebelum bedug Maghrib ia sudah pamit pulang.
"Besok kamu ada acara?" tanya Yulian sebelum masuk ke mobilnya. Mobil hadiah Ayahnya ketika lulus SMA beberapa tahun yang lalu itu masih tampak mulus dan terawat baik.
"Nggak, ada apa memangnya?"
"Kita ke Puri Agung Sahid Jaya yuk! Lihat pameran lukisan karya Basuki Abdullah. Terus kita ke Blok M. aku ingi beli celana panjang, seminggu lalu aku lihat ada model klasik dengan warna natural yang bagus."
"Atur sajalah!"
Mazda hijau lumut itu bergulir mulus meninggalkan Katrina.


"Kamu suka lukisan?" tanya Yulian kepada Katrina siang itu. Ketika itu mereka berada di dalam mobil Yulian yang melaju menuju Puri Agung Sahid Jaya.
"Tentu, tapi aku kurang memahami lukisan abstrak." sahut Katrina.
"kalau begitu kamu menyukai aliran Realisme ya?" tebak Yulian.
"Ya, aliran Romantisme, Impressionisme, dan Kubisme juga aku suka. kalau kamu?"
"Aku menyukai semua aliran. Terutama lukisan Affandi, Basuki, Pablo Picasso, dan Ganguin dari Perancis yang beraliran ekspresionisme itu. Kalau mengamati lukisan mereka, imajnasi kita bisa melambung jauh di dunia lain.." ungkap Yulian yang memang menyukai lukisan.


Setelah mereka menyaksikan pameran lukisan dan membeli beberapa stel baju dan celana, Katrina menginginkan menghabiskan waktu siangnya untuk berkunjung kerumah Yulian.
Tentu saja Katrina terkejut menyaksikan rumah orang tua Yulian. Ternyata Yulian anak orang terhormat, Ayah-Ibunya guru besar di ITB. Pak Aribowo namanya. Apalagi ketika Katrina memasuki kamar Yulian. Di sana banyak piala dan piagam penghargaan menghiasi dinding kamarnya. lebih terkejut lagi setelah Katrina Tahu kalau Yulian adalah seorang pesilat Nasional yang punya prestasi luar biasa.
Hari demi hari hubungan Katrina dan Yulian semakin akrab. Bahkan, di kantor, Katrina mengharapkan perlindungan dari Yulian.

Niat pak Gerry yang semula ingin mengincar Yulian kini pupus, sebab setelah tahu kalau ayahnya Yulian adalah Pak Aribowo, yang mantan dosenya Pak gerry ketika kuliah.
"Saya tahu, Bapak akhir-akhir ini lebih sering memperhatikan Yulian ketimbang saya." keluh Lasmiranda siang itu.
"Kau harus memahami perasaanku Las. Kau tahu bagaimana kepedihanku di tinggal Clara?"
"Itu sebabnya Bapak belum mau mengambil aku sebagai seorang istri?" ungkap Lasmiranda kecewa.
"Ya..."
"Tapi Bapak dulu pernah menjanjikan itu pada saya. Dan saya telah memberikan semuanya untuk Bapak. Cintaku,,, Tubuhku,,," Lasmiranda terus mendesak 

Sampai akhirnya Lasmiranda hamil. Entah benih siapa yang ada dalam rahim gadis itu. Lasmiranda tidak tahu, karena baik Pak Gerry maupun Hermawan sering melakukan hubungan intim dengannya.
Tragisnya, ternayata Siska juga mengalami hal yang sama. Gadis itu malah sudah dua bulan menyembunyikan kehamilannya. Sungguh lingkaran affair yang benar-benar gila.

(Bersambung......)

[Review] Buku Penjaja Cerita Cinta


Judul         : Penjaja cerita Cinta
Penulis      : @edi_akhiles
Penerbit    : DIVA Press, Yogyakarta
Cetakan 1 : Desember 2013
Tebal         : 192 Halaman


Review Penjaja Cerita Cinta



"Siapa tak kenal maka tak sayang." begitulah bunyi pepatah kuno yang masih melekat dalam ingatan saya. Bagi orang yang belum mengenal Pak Bos Edi, gambaran pertama yang di dapat dari membaca buku Penjaja cerita Cinta, pengarangnya sombong, Over Pe-de. Jujur saya juga demikian, tapi lambat laun semua  pandangan itu aku buang jauh-jauh.

Satu kata untuk buku kumcer karya Pak edi ini "amazing".
Kata-kata yang di tuangkan pengarang dalam buku kumpulan cerpen ini sungguh bervariasi.  Bahasanya ringan dan mudah di mengerti.
Dari yang ber-genre romance, kata-katanya itu lho.... ibarat Pujangga Cinta, mendayu-dayu, melambai-lambai bagai nyiur di pantai, hehee,,, mampu membuat pembacanya hanyut dalam kisah yang di tuliskan, bahagia, sedih, bahkan sampai nangis darah(lebay banget ya?), tak jarang pula pembaca terpingkal-pingkal sambil memegangi perutnya(gue banget) karena nuansa kocak yang di timbulkan seperti dalam cerpen "Love  is ketek" dan "Tak Tunggu Balimu".
Juga penempatan di setiap judul sangat sesuai, dalam cerpen pertama yang berjudul "Penjaja Cerita Cinta" yang merupakan head of story, bahasanya penuh arti kiasan, bahasanya dalem banget, sedalem samudra Hindia, hehee, lalu di sambung dengan judul ke Dua, "love is ketek". Di cerpen ini otak kita di suruh rileks sejenak setelah membaca judul pertama yang jleeebhh...
 
Namun ada sisi lain yang aku temukan dalam buku ini, yang(mungkin) tidak ada di buku-buku lainnya. Dalam buku ini juga terselip beberapa petuah dalam ajaran islam. Yang dulunya aku tidak mengerti, kini aku mengerti setelah membaca buku ini. "matur suwun Pak Edi."
Tapi yang namanya ciptaan manusia ada kalanya memiliki sebuah kekurangan, bukan bermaksud mencari kekurangan sih, tapi aku juga-kan sempat membaca sebuah pepatah. "Nggak ada yang sempurna di dunia ini, karena kesempurnaan hanya milik Allah SWT." Tapi apa daya, setelah membaca berulang-ulang dalam beberapa hari, aku nggak menemukan kekurangan dalam karya Pak Edi ini, "Mungkin pepetah itu perlu di edit lagi kali ya?" LOL....
Tapi ada yang perlu di garis bawahi, "Karya Pak Edi yang tidak ada kekurangan" bukan berarti hasil cetakannya juga sempurna. Di buku ini saya menemukan cacat produksi, yaitu tulisan yang tumpang tidih, dan ada beberapa tulisan yang buram. Ya,,, meskipun di awal halaman sudah tertulis
"Apabila Anda mendapatkan buku ini dalam cacat produksi (di luar kesengajaan kami), seperti halaman kosong atau terbalik, silahkan ditukar....(bla,,,bla,,, bla,,,)."   
Tapi ya sudahlah, sebagai pelajaran buat Team Penerbit saja.
Satu kali lagi buat Pak Edi, "AMAZING.........." heheee....

Tuesday, December 24, 2013

Mr. Ice Cream

Ini sudah mangkuk es krim kedua yang
aku lahap malam itu, tak peduli aku
sudah dua jam duduk di kedai ini.
Pelayan tua kedai itu kadang sesekali
memalingkan tatapannya dari Koran
pagi harinya kearah ku. Mungkin dia
pikir aku kurang waras, di cuaca
sedingin ini dan sedang hujan deras
diluar sana, ada gadis yang masih
menikmati es krim sampai mangkuk
kedua, tenang saja pak tua gumam ku
dalam hati mungkin akan ada mangkuk
yang ketiga, keempat, kelima dan
seterusnya. Aku tak peduli.
Hap, sendok demi sendok aku nikmati,
tatapanku hanya menatap kosong pada
suatu titik sembarang di sudut kedai itu.
kenangan demi kenangan aku putar di
pelupuk mataku, seperti komedi putar
yang sedang memutar scene demi scene.
Membuat hati ini campur aduk dan
sedikit sesak. Me-rewind semua
rutinitas gila makan es krim ini dari
mana asalnya, kalo bukan dari dirinya.
***
Tiga tahun yang lalu
Di kedai es krim yang sama, Wajahnya yang sedikit pucat dan tirus, rambut nya yang agak panjang, sedikit berantakan, dia tersenyum menatapku penasaran, menunggu pendapatku tentang rasa es krim yang barusan aku cicipi.
“Gimana?” tatapnya penasaran, air
mukanya mulai serius melihat ekspresiku yang mengerutkan dahi seperti ada yang salah dengan es krim yang kumakan.
“Tunggu!” jawabku sambil memutar mata seolah berfikir serius mendikripsikan sesuatu yang sedang lumer dilidahku, lalu ku coba sesendok lagi, sok-sokan lagaku seperti tester sejati.
“Enaak !!” Seru ku.
Dia tersenyum kecil dan menjewer
pipiku, protes melihat ekspresi ku yang
menipu. Aku lantas mengerenyit sambil
mengusap pipiku yang dijewernya.
Ya, Dialah Dion. Dion dan Aku
pertama kali bertemu di laboratorium
praktikum kimia dasar, Dia yang mengembalikan modul praktikumku yang
tertinggal di laboratorium. Disitulah
kami berkenalan, dia sebenarnya seniorku di kampus, usianya terpaut
dua tahun lebih tua dari umurku.
Dion mengambil cuti selama satu tahun
di awal perkuliahan oleh sebab itu ia
sering meminjam buku catatanku untuk
mengejar ketinggalannya. Sebagai
imbalan nya Dion sering mentaktirku es
krim.
Berawal dari sebuah catatan dan secorong es krim di kantin kampus-lah
pertemanan kami semakin akrab.
Dion dan aku adalah sosok manusia yang
mempunyai hobi yang bisa dibilang
terbalik, Dion adalah cowok dengan hobi
membuat cake atau makanan manis.
Sedangkan aku adalah cewek dengan
hobi nonton sepak bola dan nonton serial
kartun Kapten Tsubatsa. Terbalik
bukan?
Mr. ice cream adalah panggilanku
untuknya. Cowok berbadan kurus dan
tinggi ini bisa di bilang addicted dengan
es krim seperti sesuatu yang tak bisa di
pisahkan. Karena hobi dan mimpinya
ingin mempunyai usaha di bidang kuliner
itu, Dion mengambil cooking class
khusus membuat pastry. Dion termasuk
golongan cowok yang cool dan tak banyak bicara, Terkadang ia tidak bisa ditebak serta penuh kejutan.
Sore itu, Dion dengan sengaja menculikku dari kampus, ia mengajakku berkunjung ke kedai es krim yang konon katanya sudah ada sejak jaman kolonial belanda. dan aku percaya itu, karena bangunan kedai itu sudah tua, interior kedai itu pun terlihatbseperti di museum–mesueum sejarah, seperti meja kasir dan pintu yang sedikit tinggi terbuat dari kayu oak yang berpelitur, mesin kasir nya pun antik dengan type model tua, disisi sebelah kiri kedai terdapat roti-roti yang masih hangat terpajang dalam etalase tua, demikian juga alat penimbangan kue yang sudah tua, bahkan pelayan nya pun tak ada yang muda, semua tua.
Dion bercerita sambil menerawang
kearah langit-langit, kalo dia sering
makan es krim disini ketika masih kecil
bersama ibunya. Ia menceritakan kesukaannya terhadap tempat ini dan
kegemaran nya makan es krim, alasan
dirinya suka sekali makan es krim
karena ibunya pernah mengatakan
bahwa makanan yang manis itu bisa
mengobati patah hati dan bad mood.
Aku hanya menatap wajahnya yang
masih sedikit pucat dan mendengarkannya dengan setia karena
antusias dengan apa yang ia lakukaan
atau ia ceritakan.
“Semua orang hampir menyukai es krim
bukan?” dia menatap ku lagi. Sialnya
aku tertangkap mata karena menatapnya
lamat-lamat, aku memalingkan wajah
dan menyibukan diri dengan mengambil
roti tanpa isi dan ku jejali roti itu
dengan es krim tutti fruiti-ku.
“Termasuk kamu yang rakus, makan es
krim sama roti” protes nya sambil
tertawa kecil melihat kelakuanku
melahap roti isi es krim.
“ini Enaaak, coba deh!” sambil
menyodorkan roti isi eskrim kepadanya
sebagai upaya mengkamufalse salah
tingkahku barusan. Dion lantas mencoba
mengunyahnya dengan lahap, lalu
tersenyum lagi tanda setuju kalo itu
kombinasi yang enak.
“yeee, enak kan, sekarang kamu yang
ketularan rakus” aku tertawa puas.
Dan Dion menjewer pipiku lagi. Kami
pun kembali tertawa riang. Mungkin, para pengunjung di kedai itu, melihat Aku dan Dion seolah pasangan kekasih romantis, yang sedang bersenda gurau. Tapi mereka salah besar. Kami
tidak pacaran, tepatnya Dion punya
pacar.
Dion berpacaran dengan
Nayla. Mengenai Dion dan Nayla
aku tak tahu banyak karena, Dion jarang
sekali bercerita tentang hubungan mereka, setahuku mereka menjalin
pertemanan semenjak mereka duduk di
bangku SMA, lalu mereka saling menyukai dan berpacaran, Nayla adalah gadis cantik, anggun, smart dan
terlihat kalem, menurutku Nayla seperti Dion versi cewek. Hanya itu
yang ku tahu.
“Pulang yuk Ran, nanti ketinggalan
jadwal nonton Tsubatsa.” ajak Dion
kepadaku sekaligus mengingatkan.
“Iya, hampir lupa..ayook” jawabku
sambil beranjak dari kursi. Mengikuti
punggung Dion yang sudah berjalan
terlebih dahulu meninggalkan kedai itu.
***
Dua tahun yang lalu.
Di kedai es krim yang sama.
Dion tersenyum simpul penuh arti dan
terlihat lebih menarik dengan kemeja
abu-abu bermotif kotak-kotaknya, kali
ini rambutnya terikat rapih.
“Ta daaaa, Happy Birth Day” Dion
menyodorkan sesuatu. Aku diam terpaku
tak menyangka. Sebuah surprise!!
Malam itu di hari ke lima belas di bulan
September, Dion membuatkanku kue
ulang tahun dengan motif bola dengan
dominasi warna merah dan kuning, seperti warna club kesukaanku, AS Roma. Lengkap dengan tulisan “happy Birth Day Rani.” diatas kepingan cokelat putih yang membuat kue itu semakin cantik dan tak lupa lilin dengan angka kembar dua-puluh-dua.
“Jangan lupa berdoa dan make a wish ya." Dion tersenyum simpul lagi.
Aku meniup lilin angka kembar itu, dan
memejamkan mata dalam dua detik
membuat permohonan. Kami merayakannya hanya berdua saja.
Menikmati kue tart buatan Dion dan es
Krim tentunya.
“Rio, belum telepon juga?” Dion
bertanya singkat.
Rio? Kenapa Dion nanya Rio lagi
sih?. Aku hanya menggeleng. Singkat
cerita, Rio adalah pacarku. tepatnya
seminggu yang lalu, jadi sekarang dia
sudah menyandang gelar mantan pacar.
Rio dan Aku bertahan pacaran hanya
lima bulan saja. Kami menjalani
hubungan LDR alias Long Distance Relationship, atau pacaran jarak jauh,
Akhir-akhir ini komunikasi kami mulai
terasa tidak lancar. Ditambah Rio yang
tidak pernah suka dengan hobiku yang
menyukai sepak bola. Terkadang itu
menjadi bahan pertengkararan kami.
Pada akhirnya kami memutuskan
hubungan secara baik-baik. Tak ada
yang harus di pertahankan.
“Sudah, jangan sedih. Mungkin dia
sibuk” ujarnya seraya menghiburku.
Puh, tak ada telepon pun tak masalah
bagiku, lalu ku hanya diam dan
menikmati es krim dan kuenya lagi.
“yang penting…” Ujar Dion. Hening
sejenak. Aku menunggu Dion
melanjutkan kalimatnya.
“Ayah dan Adik sudah telepon.” lanjutnya sambil tersenyum.
Aku mendongak, menatapnya lekat-lekat
lalu membalas senyumannya
“Tentu saja, itu yang penting.” timpalku kepadanya.
"Kamu juga penting buat aku Dion."
Dion selalu peduli dan selalu mencoba
menghiburku. Seorang teman yang
selalu ada untukku, diberikan surprise
seperti ini adalah pertama kali dalam
hidupku, ada orang lain di luar anggota
keluargaku yang membuat perayaan
spesial seperti ini khusus untukku hanya
seorang teman seperti Dion yang
melakukannya.
Teman? Lalu bagaimana dengan Nayla?
Apakah dia melakukan hal yang sama kepadanya?
Pertanyaan-pertanyaan ini tiba-tiba
muncul di kepalaku, Mengapa aku ingin
tahu detail bagaimana Dion memperlakukan Nayla?
Bukan kah sebelumnya aku tak pernah peduli?
“Barusan make a wish apa?” Pertanyaan Dion membangunkan ku dari lamunan akibat pertanyaan–pertayaan aneh yang bermunculan dari kepalaku.
“Rahasia.” Aku menjawab spontan. Lalu
memasang muka jahil.
“Pelit.” Dion pura-pura ngambek.
anyway Dion, thank a lot, you're my
best." Aku tersenyum. aku bahagia malam ini.
Any time, Ran.” balas Dion tersenyum simpul.
Malam itu diumurku yang bertambah,
Aku menyadari seorang duduk dihadapanku seperti sebuah es krim yang
dalam diamnya terlihat cool dalam senyumnya terasa manis, dan dalam
katanya terdengar lembut. Dia yang
membuatku menyadari sesuatu itu ada,
tetapi sesuatu yang tak bisa aku jelaskan, tak bisa aku hitung dengan rumus matematika, dan tak bisa aku urai seperti senyawa kimia, dan sesuatu
itu tidak hanya ada, tetapi hidup dan
berdetak, dan kadang membuat dada ini
sesak.
***
Segerombolan awan hitam, tak hentinya
menumpahkan air kebumi, menadakan
besarnya kerinduan langit pada bumi.
Debu-debu yang menempel di jalanan
dan gedung tua pun ikut terhanyut
olehnya, membuahkan aroma tanah yang
menyaingi aroma roti yang baru keluar
dari pemanggangan sore itu. Kedai itu
tak berubah sedikitpun, semua interiornya tetap tua di makan usia.
Dua jam yang lalu, aku dan Dion duduk
bersama di kedai ini, wajahnya sudah
tak sepucat dan setirus dulu, rambut
nya pun tak seberantakan dan sepanjang
satu tahun yang lalu, Dion terlihat baik-
baik saja bukan?, Namun tak ada sedikit pun senyum didalam air muka Dion.
Dia bersikap dingin, sedingin es
krim di mangkuk dan cuaca di luar
sana.
“Kenapa gak ada kabar Ran?” Dion
menatapku serius. Nada suaranya dingin.
Aku tak sanggup memandang Dion, hanya tertunduk dan diam, lidah ini kelu untuk berucap memberi alasan yang
sebenarnya.
“Aku sibuk Ion” Aku berbohong. “Maaf Ion aku memang keterlaluan” ucapku
sekali lagi. Menahan air mata yang
nyaris keluar.
Setelah mendengar kata maaf itu Dion
langsung mehenyakan punggungnya kesandaran kursi, seperti tak percaya
hanya mendengar kata maaf dari
seorang sahabat yang hanya pamitan
lewat sms dan setahun kemudian tak ada
kabar sedikitpun seperti menghilang di
telan bumi. Aku tahu Dion pasti marah
hebat kepadaku, tapi semenjak perasaan
ini makin menguasai, persahabatanku
dengan Dion terasa bias, tepatnya hanya
aku yang merasa bias, aku tak kuasa lagi mempertahankan kepura-puraanku di depan Dion yang selalu bersikap baik
kepadaku.
Karena dengan sikap Dion yang seperti itu, mahluk yang bernama perasaan ini seperti di beri pupuk, dan akan terus tumbuh, walau aku susah payah memangkasnya tapi ini akan terus tumbuh tak terkendali dan akan terus membuatku merasa bahagia dan sakit dalam waktu yang bersamaan.
Maka ketika kesempatan bekerja di luar
kota itu datang aku tak menyiakannya.
“Tapi kau baik-baik saja kan?” Ucapnya tenang.
Aku mendongak, menatapnya lekat-
lekat. Air mataku hampir jatuh. Aku tak boleh menangis di depannya, ini hanya akan membuatnya semakin cemas.
Mulutku kembali terbuka, namun tak
bersuara, lalu aku mengangguk. Kembali menunduk. aku tahu perasaan Dion sekarang campur aduk antara marah dan cemas namun Dion selalu baik
dan memaafkanku yang bertindak bodoh.
“Lalu bagaimana denganmu Dion?” ucapku terbata.
Dion tak menjawab, dia mentapku lekat-
lekat, mungkin sikapku terlihat aneh dan
membingungkan bagi Dion sehingga
membuat penasaran, terlihat dari raut
wajahnya sepertinya ia ingin menumpahkan beribu-ribu pertanyaan
atas sikapku ini. Namun Dion menyerah, dia menghenyakan kembali
punggungnya kesandaran kursi. Sedikit
demi sedikit suasana diantara kami pun
mencair, seperti es krim di mangkuk ini
pun mencair.
***
Layaknya langit, aku pun sama, duduk berjam-jam disini sedang menumpahkan
kerinduan pada kedai ini, kerinduan
pada Es krim, kerinduan pada Dion.
Scene potongan kejadian di pelupuk mataku sudah habis kuputar, kini aku mengembalikan fokus pandanganku
tertuju ke suatu benda di atas meja,
benda yg sedikit tebal dari kertas,
berwarna merah, pemberian Diom dua
jam yang lalu.
Entahlah sudah berapuluh kali aku
membolak balik benda itu, dan entahlah
lah sudah berapa kali hati ini merasa
terbolak balik karena melihat isinya.
Sebagai teman ini adalah kabar baik
untukku, namun sebagai orang yang
sedang tertimpa perasaan aneh ini
adalah kabar buruk bagiku. Lalu dimana
aku harus menempatkan diriku sendiri?
Butuh setahun aku men-sinkronisasi-
kan antara hati dan logika ini untuk
mendapatkan jawabnya, di mangkuk es
krim yang ketiga ini aku baru dapat
pemahamanya, bahwa tak pernah ada
yang berubah dari sikap Dion kepadaku,
dia selalu ada untukku, melindungiku, menyangiku sebagai sahabatnya. Aku-
lah yang terlalu egois, tak mau ambil
tindakan serta resiko untuk menyatakannya dan malah pergi menghilang darinya yang hanya membuat Dion terluka.
Hujan sudah reda diluar sana, nampaknya langit sudah puas menyatakan kerinduanya pada bumi, aku
lantas beranjak dari kursi kedai itu, menuju meja kasir yang tinggi, pelayan
tua itu menatapku lalu tersenyum megucapkan terimakasih, aku hanya
membalas senyum sekedarnya.
Perasaanku masih campur aduk dan
terasa sesak. Aku melangkah gontai keluar kedai, berjalan menuju Stasiun hendak meninggalkan kota ini, dan aku berjanji, minggu depan aku akan datang lagi ke kota ini, menjadi saksi ucapan janji abadi sehidup semati antara Dion dan Nayla. Aku akan hadapi semuanya,
lari dari kenyataan adalah tidakan bodoh, bahwasanya sejauh apapun kita pergi, tak akan pernah membantu melupakan orang yang kita sayangi, yang membantu hanyalah sikap menerima kenyataan.
Biarlah aku menelan semua pahit dan
sakitnya perasaan ini, Dion dan waktu
yang akan mencernanya. Karena aku
tahu, Rasa sakit ini hanya bersifat
sementara,
Karena secorong es krim akan menjadi obatnya bukan???

Monday, December 9, 2013

Sore, Secangkir Kopi dan dua Iris Brownies

Aku adalah serpih kenangan yang tertinggal di tepi jalan.
Yang berdoa di kala malam, berharap di
jemput tuk kembali pulang.
Namun sering terlupa setiap kali pagi datang menjelang.
Aku adalah rangkaian kalimat doa yang
belum waktunya di kabulkan.
Sapuan kuas dari lukisan mimpi yang belum jadi kenyataan.
Aku lah rahasia dari hati yang berdoa dalam diam.
Akhir pencarian penuh sabar sebagai tulang rusuk yang hilang dari tubuh seseorang.
Aku adalah secangkir sore penuh kenangan.
Puisi di ujung pena yang belum sempat
tertuang di secarik kertas.
Pelangi dari jalinan sepi penantian, usai
riuhnya opera masa remaja.
Langit cerah usai hujan yang turun sepanjang malam.

“Maaf, kertas itu..” kataku pada sosok laki-laki yang duduk di meja kafe yang
kutinggalkan.
“Milikmu?” tanyanya seraya membalikkan badan.

Deg! Aku terkesiap. Tubuhku terasa
membeku. Jantungku berdebar-debar. Tiba-tiba saja deburan ombak di tepi pantai memenuhi seluruh rongga dadaku.

Sore datang seperti biasa. Aku berpikir
bahwa menikmati secangkir kopi di kafe
akan sangat membahagiakan jiwaku. Apalagi hujan hanya meninggalkan sedikit gerimis dan belaian angin. Lalu, laki-laki ini.
Apakah takdir sedang di perintah Tuhan
untuk bermain denganku?

“Apa kabar? Lama tak jumpa. Duduklah, temani aku sebentar.” katanya,menghentikan senandung kebisuan di antara kami. Aku
menelan ludah.
“Masih tentang kopi?” dia tersenyum saat menyorongkan kertas tadi padaku,
“Bagaimana kabarmu?”

“Baik. Selalu. Terima kasih sudah
menanyakannya.” jawabku seraya meraih
kertas tadi.

Dia menghela napas. Hatiku seketika terasa menciut. Takut. Lalu rasa kecut, tiba-tiba muncul di dalam mulutku. Aku hampir mati kehabisan udara karena menunggu kata-kata.

“Puisi itu.. apakah kau tidak berniat berbagi sore dengan seseorang?” ujarnya
Aku menunduk. Entah mengapa mataku
terpaku pada jari-jari tangan laki-laki di
hadapanku, seolah mencari sesuatu yang
seharusnya ada disana selama beberapa
waktu. Lalu debar hatiku seakan pecah saat menyadari bahwa yang kucari TIDAK ADA DISANA!

Aku menatapnya. Entah nyali milik siapa yang datang dan dari mana asalnya hingga aku berani menatap langsung kedua matanya yang hitam dan teduh. Binarnya selalu hampir membuatku hilang sadar.

“Aku percaya, bahwa suatu saat takdir akan membawaku bertemu seseorang yang mau berbagi sore dan secangkir kopi denganku.” kataku.

Laki-laki di hadapanku tersenyum.
Pandangannya lembut namun menyelipkan perasaan aneh yang menggelitik jantungku.
Aku tak tahu mengapa. Ah, aku tak tahan lagi.

“Aku harus pergi.. Maaf..” aku berdiri,
bersiap meninggalkannya. Mataku tiba-tiba terasa panas saat aku membalikkan badan. Sesuatu seperti menyayat hatiku di setiap aku mengayunkan langkah, rasanya perih.

“Aku hanya punya sisa dua iris brownies..”
ku hentikan langkahku saat mendengar
suaranya. Ku balikan badan dan menatapnya lagi. Dia disana. Berdiri sambil menatapku. Aku terlalu kaget dan bingung untuk dapat menjawab ucapannya.

“Jika kau masih bersedia tinggal dan
berbagi sore dan secangkir kopi. Denganku.”

Glek. Tiba-tiba saja kakiku terasa lemas
saat mendengar kata-katanya. Mataku
perih. Seketika saja bulir air mataku telah mengalir bak anak sungai. Aku tak percaya mendengar kalimat itu darinya.
Di luar, gerimis kembali turun. Meningkahi rasa canggung ku akan tatapan matanya dan kata-kata yang kudengar barusan. Senja turun perlahan saat aku tersenyum padanya di sela-sela tangisku. Pada akhirnya dia akan tahu, bahwa cangkir ku selalu penuh
akan kenangan dan doa-doa tentangnya.

Tuhan.... Dia sudah datang...

Sunday, December 8, 2013

CERPEN ROMANTIS: Bahasa Cinta (Part 2)


"Setelah saya pelajari sekilas, sepertinya saya sudah temukan bentuk tanah yang cocok di hunian itu. Saya sudah tak sabar lagi untuk membuat gambarnya." Ujar Yulian.
"Jadi Nona sudah mendapatkan ide?" Tanya Pak Gerry tak percaya. (Bahasa Cinta part 1)

~~~ Bahasa Cinta (Part 2) ~~~

Setelah menandatangi perjanjian kontrak, Pak Gerry memperkenalkan Yulian kepada stafnya satu persatu. Keberadaan Yulian di kantornya nanti tentu akan membawa peranan penting. Begitu pikir Pak Gerry.
"Senang berkenalan dengan anda, seorang sekretaris senior." Sanjung Yulian.
"Terima kasih." Ucap Lasmiranda yang diam-diam merasa iri melihat kecantikan teman barunya itu.
Lalu kepada Katrina sang Bendahara, Siska sang penerima tamu, juga kepada Arvan seorang insinyur muda yang punya otak cemerlang.
"Masih ada satu staf lagi yang sangat berpengaruh di sini, dia bagian promosi tapi sayang dia sedang memasang iklan di salah satu TV swasta." Kata Pak Gerry setelah berada di ruang kerjanya.
"Saya lihat mereka orang-orang muda yang berkualitas." Ujar Yulian.
"Tentu." Kata Pak Gerry bangga.
Yulian di tempatkan satu ruangan dengan Arvan.
Arvan menghentikan rancangan gambarnya ketika Yulian mendekat.
Sementara itu di ruang operator, Siska sedang menerima tamu seorang lelaki muda yang sangat eksentrik. Rambut panjangnya di tarik kebelakang lalu diikat dengan karet gelang. Lelaki itu mengaku bernama Andreas. Sejatinya wajah cowok itu cukup tampan, tetapi karena dandanannya yang seenaknya, Siska jadi merinding.
"Saya ingin bertemu dengan Bos-mu."
"Baru saja saya dipesan oleh Pak Gerry agar siapa pun jangan menggangunya. Saya takut dimarahi kalau..."
"Dia ada di ruang kerjanya kan?" Potong Andreas.
"Benar, namun beliau tidak ingin diganggu."
"Kalau begitu saya langsung masuk saja."
"Jangan!" Siska buru-buru mencegah. "Nanti saya yang disalahkan."
"Oke... oke. Kalau begitu sampaikan saja sama Bos-mu kalau saya datang." Andreas lalu membalikkan tubuhnya hendak pergi.
"Apa sebaiknya tidak ditunggu?"
"Tidak usah, besok saya datang lagi." Andreas langsung melangkah pergi dengan tas ransel menggelayut di pundaknya.

"Selamat pagi Yul... kamu rajin deh, baru jam tujuh sudah sampai di kantor." Sapa Siska keesokan paginya.
"Rumahku kan di Bogor, lebih dekat dari yang lain. Sudah selayaknya kalau aku datang lebih dulu." Jawab Yulian.
Pagi itu belum lewat jam setengah delapan, tetapi Yulian sudah membuat rancangan gambar yang dikonsepnya kemarin malam di rumah. Ia bersemangat dengan pekerjaan barunya. Seolah tak peduli dengan jam kerja yang berlaku di perusahaannya. Yang dia tahu, apa yang telah di percayakan Pak Gerry kepadanya adalah suatu tanggung jawab.
Siska bermaksud ke ruang kerja Yulian sebelum jam delapan. Ia ingin tahu model pertamanan dan eksterior yang di rancang teman barunya itu. Tapi baru saja hendak beranjak, Hermawan muncul. Mau tak mau Siska mengurungkan niatnya. Menyambut cowok keren itu tentu lebih menarik.
"Pagi cantiiik..." sapa Hermawan. Lelaki dua puluh delapan tahun itu selalu menyapa begitu terhadap Siska.
Yang di sapa cuma mengembangkan senyum. "Kemana saja Mas? Seminggu ini nggak kelihatan batang hidungnya." Sambut Siska yang selalu bersikap manja terhadap cowok itu.
"Biasa,,, masa nggak tau kesibukanku sih?" Hermawan menjawil pipi Siska dengan gemas. Tentu saja itu membuat Siska cemberut.
"Rekaman iklan real estate kita ya?"
"Yoa..." Hermawan tertawa lepas. Tapi diam-diam dia menyukai bibir Siska jika sedang cemberut seperti itu. Bibirnya yang tipis malah jadi semakin menggemaskan.
"Eh... Arvan sudah datang?" Hermawan mengalihkan pembicaraan.
"Tau..." jawab Siska acuh.
"Marah ni yee?" Hermawan coba merayu.
"Eh, nanti malam aku mau ngajak kamu nonton, filmnya bagus lho, nanti jam Tujuh aku jemput ya?" Hermawan mulai memasang jerat.
Siska tetap diam. Hati Siska sebenarnya bersorak gembira, tapi karena rasa dongkolnya ia tetap nggak mau menyahut. Hermawan berniat mengatakan sesuatu kepada Siska, namun segera di urungkan ketika tiba-tiba Yulian muncul.
"Arvan sudah datang Sis?" Tanya Yulian.
"Belum, sebentar lagi juga datang." Sahut Siska setelah sejenak melihat jam tangannya.
Sementara itu Hermawan cuma melongo melihat kehadiran Yulian. Diam-diam dia harus mengakui kalau gadis itu sungguh luar biasa. Kecantikannya sepuluh kali lipat dari Siska.
"Hey... bengong." Usik Siska. Dijawilnya lengan Hermawan. Cowok yang memang mata keranjang itu terhenyak, lalu mengembangkan senyum ke arah Siska.
"Karyawati baru?"
"Ya, kenapa? Kagum dengan kecantikannya?"
Hermawan tersenyum. "Tapi sombong sekali, bagian apa dia?"
"Dia yang akan merancang taman dan eksterior real estate." Diam-diam Siska jadi sangat cemburu terhadap Yulian
Bisa-bisa Hermawan kecantol lalu mencampakan aku, pikirnya.
Tiba-tiba Arvan muncul dengan senyum kalemnya. Siska cepat nyeletuk. "Yulian nungguin kamu Mas."
"Oh ya? Oke aku langsung kesana."
Hari itu Pak Gerry tidak datang. Menurut informasi dia pergi ke rumah sakit karena Clara istrinya sakit. Jika Pak Gerry tidak hadir, maka Hermawalah yang menangani segala sesuatunya. Tetapi karena Hermawan yang konon doyan perenpuan itu sudah tidak punya wibawa lagi di mata bawahannya, maka pekerjaan hari itu banyak di habiskan untuk bersabtai. Kecuali Arvan dan Yulian yang tetap menjalankan tugasnya dengan baik hingga sore hari.

Enam bulan telah berlalu. Angin Oktober menerpa rambut hitam panjang itu. Sesekali rambut itu tergerai menutupi wajah anggun seorang gadis yang sedang berdiri tegap. Matanya memandang ke arah hamparan tanah kosong, menatap para pekerja yang sedang mengelola tanah.
Gadis itu tak menghiraukan terik matahari yang membakar kulit halusnya. Ada sesuatu yang ia nikmati rupanya. Apalagi kalau bukan semangat pekerja kasar yang menggali dan mengangkut tanah. Juga tawa para pekerja karena selingan kelakar mereka.
Sebuah Jeep Wills bercat hijau tiba-tiba berhenti di dekat gadis itu. Karena mobil itu open cap. Maka si gadis tahu siapa yang datang. Ia menoleh ke arah pemuda berambut panjang yang dibiarkan acak-acakan itu.
"Aku sudah nggak sabar lagi untuk bekerja. Tanganku sangat gatal jika melihat rancangan gambarmu Yul." Ujar pemuda eksentrik itu tanpa menoleh ke arah si gadis.
Yulian menoleh sebentar, lalu tersenyum. Lelaki eksentrik itu adalah Andreas. Seorang seniman yang mahir dalam pembuatan patung dan relief.
Andreas baru di kenalnya seminggu yang lalu.
"Bersabarlah! Nanti juga ada saatnya kamu bekerja."
"Menurutmu berapa bulan kita bisa selesaikan rancangan kita?"
"Tiga atau empat bulan sudah selesai, tapi untuk menjadi sempurna mingkin akan memakan waktu sekitar satu sampai dua tahun. Tanamankan butuh waktu untuk tumbuh dengan baik."
"Kulihat beberapa hari ini kamu sering melamun sendirian di sini, ada sesuatu yang sedang kau pikirkan?" Usik Andreas.
"Yang namanya melamun itu sedang berandai-andai, bukan sedang berpikir."
"Lalu kamu melamun atau berpikir?"
"Aku sedang menemani pekerja itu. Kulihat mereka begitu bersemangat setiap aku berada di antara mereka."
Andreas tertawa. "Karena kau mempunyai daya magis yang kuat. Bagaiman mereka nggak semangat kalau di depannya ada seorang gadis cantik yang selalu tersenyum dan membelikan rokok buat mereka. Pasti mereka merasa di hargai."
"Aku sadar. Tanpa mereka aku tak bisa berbuat banyak. Ini suatu mekanika kerja yang harus di lestarikan. Mereka juga manusia yang memerlukan pengakuan akan perannya."
"Tanpa menghiraukan gunjingan orang? Teman sekerjamu misalnya?" Andreas menatap wajah Yulian yang begitu ceria siang itu.
"Cukup di dengar saja. Mungkin pandangan mereka berbeda."

Bersambung lagi... hehehe...
To be Continue....

Saturday, December 7, 2013

Surat Tiga Tahun yang Lalu

Saat ku mengambil baju di sebuah lemari yang berada di kamarku, tak sengaja aku menjatuhkan sehelai kertas yang terselip di antara tumpukan koleksi bajuku.
Kertas itu turun perlahan mengikuti gerakan angin di ruangan ini.
Kupungut kertas itu, lalu ku perhatikan sesaat apa yang tertulis di sana.

Deggg... jantung ini berdegup lebih cepat dari biasanya setelah tahu kalimat yang tertulis di sana.

Surat Tiga Tahun yang lalu.

Dalam gelisah hati yang gundah, aku diam sendiri merenungi yang kini telah terjadi diantara kita berdua. Semua mimpi yang pernah ada telah musnah segalanya akibat kesalahanku sendiri. Karena kini kita telah berpisah... tinggalkan diriku sendiri.
Malam yang semakin sepi...
Aku hadapi semua kenyataan ini...
Dapatkah aku simpan kerinduan...
Harusku akui betapa dalam rasa cintaku padamu, salahkah bila aku berharap kembali cinta yang telah usai???
Ingin ku lupakan semua cinta...
Tapi mengapa ku tak kuasa...
Ingin ku menghindari bayangmu..
Tapi mengapa selalu datang saja...
Mengapa wajahmu selalu menyiksa jiwa. Entah aku harus tersenyum atau menangis atas semua yang ku alami ini???
Aku hanya mampu menerima kerinduan yang terus menyayat hati.
Duri-duri menancap di celah-celah hati, tuk hadirkan dirimu akan datang dan katakan padaku bahwa ia pun rindu...
Seandainya kau tahu isi hatiku...

Tersenyum, sedih atau terharukah aku saat ini?
Yang jelas aku merasakan ada rasa hangat mengalir di kedua pipiku.
Bagaikan mengulang sebuah pertunjukan opera melalui kepingan DVD, di mana aku menjadi pemain utama.
Ahhh... mengharukan sekali.

*Hey... buat kamu yang di sana, yang akan selalu hidup di dalam hati ini, yang merasa telah menuliskan kalimat itu.
Terimakasih banget, karena dengan adanya dirimu dulu. Aku bisa menjadi diriku saat ini.

Friday, December 6, 2013

CERPEN ROMANTIS: Bahasa Cinta (Part 1)

"Sebenarnya bingung. Ini cerita mau di sebut apa?
Di sebut cerpen, kok panjang banget(karena ada beberapa bagian). Kalau naskah novel, kayaknya belum pantes.
Cerbung??? Ehmmm.. Terserah pembaca saja deh yang menilai."
Happy Reading!!!

~~~Bahasa Cinta~~~

Pak Gerry tak menduga sama sekali kalau tamunya pagi itu adalah seorang gadis cantik. Pak Gerry yang umurnya sudah menginjak tiga puluh lima tahun sempat terkesima. Matanya tergoda senyum yang mengembang di bibir sang gadis. Manis sekali senyum itu.

Kulitnya kuning langsat, bertubuh tinggi dan sintal. Sunggu sebuah sosok tubuh yang dikagumi hampir semua pria. Tak ada makeup yang memoles wajahnya. Rambut panjang sebahu yang di biarkan tergerai di pundaknya. Sebuah bando kuning gading melingkar di kepalanya. Warna bando itu seperti di serasikan degan warna blus-nya yang pastel. Dandanan seperti itu menimbulkan kesan anggun bagi penampilannya.

"Saya tertarik dengan lowongan pekerjaan yang Bapak butuhkan lewat Departemen Tenaga Kerja. Untuk itu saya datang melamar." ungkap gadis itu tanpa menunjukan rasa gugupnya.
"O..." Pak Gerry manggut-manggut. "Apa yang anda bidangi?" tanyanya kemudian. Mata nakalnya tak berkedip menatap mata jernih dan indah milik gadis itu.
"Saya tamatan ASRI Yogyakarta, Pak. Di sini saya melamar sebagai Perancang Pertamanan dan Eksterior. Ini berkas lamaran saya. Mungkin Bapak bersedia mempertimbangkannya!" Gadis itu menyerahkan stofmap lamaran kerja.

Semula Pak Gerry meragukan kemampuan gadis itu. Tapi setelah meneliti berkas surat lamarannya, ia kemudian tersenyum senang.

"Yuliani Maharani..." desis lelaki itu. "Efektif sekali Nona menggunakan waktu. Begitu lulus setahun yang lalu, kemudian Nona bekerja di sebuh Real Estate di Yogya. Tapi kenapa berhenti?"
"Habis kontrak, Pak. Tenaga saya hanya dikontrak satu tahun." sahut Yuliani jujur.
"Lalu di Bogor tinggal dengan siapa?"
"Orangtua, Pak."
"O... Jadi Orangtuamu tinggal di Bogor selama ini?"
"Benar, Pak."

Pak Gerry manggut-manggut lagi. "Baiklah... Lamaran Anda saya terima. Di sini juga pakai sistem kontrak. Untuk seorang karyawan baru harus melalui masa percobaan selama tiga bulan. Jika memang mempunyai kemampuan yang saya inginkan, maka saya akan mengangkat Anda sebagai karyawan resmi yang saya kontrak selama tiga tahun. Paham?"

Yulia tersenyum. Namun, di balik senyumannya ada sebuah argumen yang kemudian terucap dengan berani.
"Kalau saya sangat yakin dengan perusahaan Bapak, sebagai developer terkenal dengan usaha real estate yang begitu megah di kawasan ini, kenapa Bapak tidak mau percaya dengan kemampuan saya? Bukankah dalam sertifikat dikatakan saya terpilih sebagai Perancang Pertamanan dan Eksterior terbaik di Jawa Tengah?"

Pak Gerry tertawa lebar. "Benar Nona Yulian. Tapi anda harus tahu kalau sebuah perusahaan mempunyai cara tersendiri dalam menangani karyawan barunya."
"Itu hak Bapak. Tapi saya juga berhak untuk membatalkan lamaran saya jika Bapak masih kurang yakin dengan kemampuan saya."

Pak Gerry terkejut bukan main. Ia tak menyangka kalau di balik senyuman manis itu tersimpan ucapan yang ketus. "gadis seperti apakah dia?" pikirnya.
"Saya tidak menyukai pekerjaan yang masih mengambang. Menurut saya, kepercayaan akan menumbuhkan semangat kerja dan efisien serta tanggung jawab. Sebaliknya, jika bekerja sambil diuji kemampuannya akan menumbuhkan pekerjaan yang di buat-buat." ungkap Yulian tegas.

Belum pernah Pak Gerry menerima seorang karyawan baru yang mempunyai pendirian tegas seperti ini. Apalagi pelamarnya seorang gadis muda seperti Yulian. Tersinggungkah Pak Gerry? Itu sudah pasti.
Lelaki yang terkenal dengan kemampuan keras itu hampir menolak lamaran Yulian. Tetapi setelah dipertimbangkan masak-masak, Pak Gerry memutuskan akan melakukan test awal terhadap Yulian.
Siang itu Yulian diajak Pak Gerry melihat lokasi pembangunan real estate yang sudah mendekati enam puluh persen jadi. Dengan mengendrai BMW birunya, Pak Gerry membawa Yulian keliling kawasan pemukiman mewah itu.

"Lima ratus buah rumah mewah dengan bangunan model mutakhir akan saya bangun di Kecamatan Cisarua yang sejuk ini." beri tahu Pak Gerry seakan memamerkan kekayaannya sebagai seorang developer yang hebat.
"Model Vanca, Bougenvile, Alamanda, Gardena dan Canna memang sedang trend. Apakah Bapak menyukai model itu juga?" sanjung Yulian dalam tanya.
"Ya..." Pak Gerry tersenyum bangga. "Sebenarnya bukan saya saja yang menyukai model itu. Para eksekutif dan orang berduit mendambakan perumahan mewah di daerah sejuk seperti ini. Mereka tak menghiraukan hunian ini jauh dari Jakarta."

Pak Gerry mengendarai mobilnya perlahan sambil melihat-lihat para pekerja bangunan yang sibuk dengan tugas mereka.

"Daerah ini merupakan pilihan yang sangat tepat. Jalan Tol Jagorawi adalahsarana transportasi yang sangat mendukung. Akan sangat hemat waktu untuk pergi ke Jakarta. Bapak tidak salah pilih."
Kembali Pak Gerry tertawa lunak karna sangat bangga.
"Saya ingin menciptakan hunian yang asri bagi kaum eksekutif mda. Sekaligus para orang tua yang ingin menikmati sisa hidupnya bersama keluarga."
"Bapak juga akan menyediakan sarana lain yang menarik?" tany Yulian lagi.
"Tentu. Saya akan membangun sebuah sekolah elite di sini. Juga sarana olahraga, plaza dengan rancangan eksklusif serta taman-taman rumah dan lingkungan yang asri. Dan sudah barang tentu aman karena Satpam akan terus beroperasi selama dua puluh empat jam."
"Hebat sekali." gumam Yulian.

Pak Gerry menhentikan mobilnya di sebuah tanah lapang yang terdapat di tengah lahan real estate.
"Di sini nanti akan saya bangun sebuah taman." katanya. Pak Gerry dan Yulian lalu turun dari mobil.
"Nah, sekarang Nona sudah dapat memikirkan untuk merancang taman yang saya inginkan itu?"

Yulian mendekati lahan itu. Disapunya pandangan sekilas lalu mengambil contoh tanahnya. Tanah itu kemudian di masuka ke kantong plastik.
"Untuk apa?" tanya Pak Gerry ingin tahu.
"Saya ingin tahu jenis tanah ini, supaya saya dapat menetukan jenis tanaman yang cocok untuk menyemarakan taman nanti."
"Saya menginginkan seorang Perancang Taman dan Eksterior yang tangguh dan berbakat. Tentu Nona tahu apa yang saya harapkan bukan?"
Yulian tersenyum lalu berkata "Agar real estate yang bapak bangun ini benar-benar berkenan di hati konsumen."
"Tepat sekali." Sahut Pak Gerry cepat
"Saya telah mempelajari sekilas. Saya sudah tak sabar lagi untuk membuat gambarnya." ujar Yulian.
"Jadi Nona Yulian sudah dapatkan ide?" tanya Pak Gerry tak percaya.

(Bersambung...)
To be Continue...!!!

Cinta Bukan Hanya Kata-Kata Romantis

Gerimis malam itu masih saja belum reda. Aku tetap saja menanti berhentinya kereta api di stasiun Balapan, Solo. Menunggu kepulangan Prasetyo yang selaluku nantikan suara lembutnya. Aku sangat rindu pada sosok itu dan rindu itu dirasa amat menyekam setelah hampir satu tahun ini.
Kami terpisah pada jarak.
Prasetyo berkuliah di Bandung sedangkan Aku sendiri meneruskan kuliahku di Solo.
Kereta api sudah berhenti dan
penumpang berhuyung-huyung turun. Mataku sibuk mencari Prasetyo diantara kerumunan orang berlalu-lalang. Namun sayang tak ku dapati Prasetyo di
sana. Janjinya untuk datang menemuiku dirasa hanya janji belaka.

Kesetiaan menunggunya di stasiun
selama dua jam berlalu begitu saja. Amat dingin diarasa udara malam itu, tapi hatiku yang lebih merasakan dingin. Mimpiku yang saat itu akan aku rasakan pelukan hangat Prasetyo serasa melayang jauh bersama sepinya stasiun.

Aku masih saja berdiri termangu. Mataku sudah basah akan air mata, menahan gejola hati yang kian membara.

“Hai…lama ya nunggu aku.” ucap
seseorang lembut.
Aku berbalik arah. Mataku melotot terkejut melihat Prasetyo telah berdiri di depanku seraya menunjukkan senyum manisnya. Aku hanya tersenyum haru dan semenit kemudian aku segera
merangkul Prasetyo, melepaskan
kerindukanky pada Prasetyo selama ini.

“Kamu membuatku hampir
menangis Pras.” ucapku di sela isakan tangisnya.
“Bukan hampir tapi emang sudah
kan?” canda Prasetyo.
Aku memukul kecil dada bidang Prasetyo. Merasa haru sekaligus
bahagia. Prasetyo hanya tertawa kecil dan mendekapku erat.
“kita pulang yuk...?” ajak Prasetyo.
Aku termangu sesaat. Kecupan lembut yang begituku rindukan tak ku dapati saat itu. Sikap Prasetyo yang selau kaku tetap ku dapati meski telah satu tahun kami terpisah pada jarak. Prasetyo bukanlah tipe cowok romantis. Prasetyo adalah cowok tegas dan bijaksana yang tak pernah memberinya belaian lembut kecuali dengan canda dan leluconnya. Namun begitu, aku selalu sayang dan cinta dia. Aku sendiri yakin bahwa Prasetyo
juga mencintaiku. Buktinya selama lebih tiga tahun kami pacaran tak sekalipun Prasetyo menyakitiku.
Prasetyo selau membuatku tertawa diantara nada-nada humornya. Selama kami pacaran cuma sekali Prasetyo menciumku ketika ia ulang tahun dan itupun juga di kening.

“Heh..kok ngelamun sih, pulang
yuk.” Kata Prasetyo mengagetkanku.
Aku mengangguk pelan dan
membiarkan Prasetyo menggandeng tanganku. Ada yang janggal saat itu ku rasakan. Ya.. Prasetyo mau menggandengku.

Satu jam telah berlalu sia-sia. Prasetyo tak kunjung datang malam itu sesuai janjinya untuk menemuikuvdi taman. Aku hanya sabar menunggu meski setiap menit malam itu kuvrasakan penuh dengan rasa iri ketika melihat pasangan yang lain tengah memadu kasih. Romantis sekali. Aku jadi teringat akan kata-kata Ratna tadi siang yang membuat perasaanku bimbang.

“menurut ku pacaran  tanpa belaian dan ciuman itu ibarat makan tanpa lauk, kurang lengkap.” Ceplos Ratna.
mengomentariku ketika aku
menceritakan tentang sikap Prasetyo selama kami pacaran. Mendengar komentar Ratna, aku hanya tertunduk.
“Coba kamu pikir selama kamu
pacaran apa yang sudah Prasetyo kasih ke kamu. Cuma kasih sayang? Itu kurang non, apa kamu cukup puas dengan ngerasain kasih sayang itu dan apa kamu sudah pernah dapat wujud dari kasih sayang itu?”
“maksudmu?” tanyaku tak mengerti.
“misalnya kalau dia apel dia ngasih
setangkai mawar buat kamu atau
setidaknya dia mencium keningmu
sebagai ungkapan dia sayang dan cinta sama kamu.”
"Prasetyo memang tidak pernah
melakukannya Na…” kataku datar.
“Lha terus kenapa kamu betah. Cowok nggak romantis gitu kenapa
masih kamu pertahankan. Bisa makan ati tahu nggak! Boro-boro kamu dibelai, dipegang saja tidak. Menurut ku cowok seperti itu tidak bisa menghargai arti cinta. kamu benda hidup Win, yang
kadang juga ingin disentuh, tapi
sayangnya kamu bego jika harus rela menyerahkan hati mu pada dia.” ucap Ratna panjang lebar yang selalu mengiang-ngiang di telingaku.
“Apa benar kata Ratna? Entahlah aku sendiri tak mengerti. Kadang aku sendiri sempat berfikir apa benar Prasetyo mencintaiku, karena selama ini Prasetyo tak
sekalipun membelaiku ketika dia apel.

Hatiku benar-benar sakit mengingat itu semua. Prasetyo bukanlah tipe cowok romantis yang selau kuimpikan, Prasetyo
yang selau bersikap biasa bila
bersamaku dan anehnya semua itu
kujalani begitu saja selama tiga tahun lebih, bukan waktu yang singkat memang, karena itu aku selalu berusaha menepis jauh-jauh kegundahanku soal
cowok romantis. Tapi tidak dengan malam itu. Ketidaksabaranku menunggu Prasetyo yang molor datang membuatku semakin yakin kalau Prasetyo tidak menyayangi ataupun mencintaiku.
Hubungan ini hanya sebagai hubungan berstatus pacaran tapi tanpa cinta. Meskipun tiga tahun yang lalu Prasetyo resmi mengikrarkan cintanya padaku.

“Kamu lama ya menugguku? Maaf
mobilku mogok tadi” kata Prasetyo
menghentikan niatku yang ingin meniggalkan taman saat itu
juga.
“Tidak ada alasan lain?” Tanyaku sinis. Prasetyo menatapku dengan
janggal.
“Kamu marah Win?”, tanya Prasetyo datar.
Akuvhanya acuh tak acuh. Aku ingin tahu bagaimana reaksi Prasetyo jika melihatku marah. Aku ingin Prasetyo mengerti
apa yangku iginkan, menjadi cowok
romantis itulah mimpku. Tidak seperti saat itu. Aku dan Prasetyo duduk dalam jarak setengah meter. Tidak dekat dan mesra-mesraan seperti pasangan lain
malam itu.
“Win maafin aku, tapi mobilku emang tadi mogok.”
“Kamu kan bisa telepon atau sms
aku Pras, bukan dengan cara
membiarkanku menuggumu kayak gini.”
“Aku lupa bawa Hp Win.” ucapnya
pelan. Aku tetap tak mengindahkannya.
“Kamu tahu tidak Pras? malam ini
aku semakin yakin kalau kamu memang tidak pernah serius mencintaiku” paparku tersendat.
"Win kenapa kamu bicara seperti itu. Apa kamu kira selama tiga tahun lebih kita pacaran aku hanya iseng saja. Aku pikir kamu bisa paham tentang aku, tapi
nyatanya…”
“Ya aku memang tidak paham
tentang kamu. Kamu yang kaku dan beku bila di sampingku yang tidakvpernah membelaiku dan mengucapkan kalimat-kalimat indah di telingaku. Kamu
yang cuma sekali mencium dan berkata aku cinta kamu. Kamu yang tidakvmemberiku perhatian-perhatianvromantis selama ini. Kamu..kamu Pras membuatku muak dengan semua ini” kataku dengan nada tersendat.
Mataku telah tergenang air hangat
dan Aku sunguh tidak sanggup lagi
membendungnya.
“Jadi kamu pikir cinta cuma bisa
diungkapkan dengan keromantisan Win, kamu kira apa hubunga kita terjalin tanpa rasa apa-apa dariku?”, tanya Prasetyo.
Aku masih terdiam bisu dalam
tangis.
“Win... selama ini aku mengira kamu sudah mengerti banyak tentang aku, tapi ternyata aku salah. Kamu bukan Winda yang dulu...”
“Kamu memang salah menilai aku
dan akupun juga salah menilai kamu. Menilai tentang hatimu dan tentang cintamu selama ini”
“Perlu kamu tahu Win, aku sangat
mencintaimu dan sayangnya rasa
cintaku ini harus kamu tuntut dengan keromantisan."
"Aku tidak bermaksud menuntut Pras, aku cuma ingin hubungan kita indah seperti orang lain."
“Wujud dari keindahan itu bukan
terletak pada keromantisan Win, tapi terletak pada cinta itu sendiri. Aku tidak pernah membelai dan menciummu karena aku menghormati cinta kita. Aku
tidak ingin hubungan kita menjadi
ternoda dengan hal-hal yang dimulai dari belaian ataupun ciuman. Aku sayang kamu dan dengan itulah aku bisa
buktikan seberapa dalam aku
mencintaimu.”
Dadaku berdesir seketika. Segera Aku tatap mata teduh Prasetyo. Disana ku dapati keteduhan cinta dan kasihnya.

"Win…jika kamu anggap cinta cuma
bisa dinyatakan dengan sentuhan-
sentuhan keromantisan itu salah. Cinta bukan cuma itu saja. Yang terpenting adalah bagaimana kita bisa menjaga hubungan suci itu tetap suci sampai kita
benar-benar terikat pada hubungan yang halal. Selama ini aku kira kamu bisa mengrti itu semua. Tapi aku salah dan untuk itu aku minta maaf jika aku
tidak bisa menjadi seperti apa yang kamu mau.”
“Pras aku cuma..”, ucapku tak
terteruskan.

Ada rasa sesak yang keluar begitu saja dihatiku. Aku telah melukai Prasetyo dan itu bisa ku lihat dari kalimat datarnya.

“Kamu tidak salah Win dalam hal ini. Dan sepautnya aku melepaskanmu malam ini, membiarkanmu mencari
cowok romantis seperti harapanmu. Jangan kamu kira aku tidak pernah mencintaimu, karena itu membuatku
terluka. Jujur selama hidupku aku tidak pernah memikirkan gadis lain selain dirimu.”

Bersaman kalimat itu Prasetyo berlalu meninggalkanku. Entah…kenapa bibirku tak mampu mencegah langkah Prasetyo. Semuaku rasa bagai mimpi. Hanya
dengan satu kesalahan aku  membuat semua berakhir dalam sekejap. Air mataku pun sudah mengalir deras. Seharusnya aku
bangga memiliki Prasetyo yang tidak pernah neko-neko. Seharusnya aku tidak
mendengarkan pendapat-pendapat Ratna tentang cowok romantis. Seharusnya aku tidak membuat Prasetyo terluka saat itu.

Kereta api di stasiun Balapan sudah berangkat dua menit setelah aku tiba di
sana.
Aku berlari kesana-kemari
memanggil-manggil nama Prasetyo darivjendela satu ke jendela lain. Namun usahaku itu tanpa hasil. Kereta api dengan perlahan telah membawa Prasetyoku dan juga cintaku pergi jauh.
Aku berdiri terpaku melihat kereta api yang kian menjauh. Sesalku menumpuk.
Aku datang terlambat hingga tidak
sempat mengatakan maafku pada Peasetyo.
Kini aku mulai sadar bahwa tidak
ada yang lebih bisa membahagiakanku kecuali dengan kehadiran Prasetyo.
Bagaimanapun dia, romantis ataupun tidak dialah orang yang benar-benar aku cintai. Kenangan-kengan indah bersamanya walau tanpa kemesraan saat itu membelainya dengan rasa yang
teramat. Asaku telah pergi dan itu
cuma bisa ku lakukan dengan menangis terpaku di tempatku berdiri.
Hidupku tiada arti tanpa Prasetyo, dengan mencintaiku apa adanya itu sudah lebih dari cukup. Tidak ada lagi tuntutan untuk dia berubah menjadi Prasetyo yang
romantis.
Rasa sesal telah membuatku
menyimpan permintaan maaf kepada Prasetyo.

Thursday, December 5, 2013

BBM For Android Gingerbread

Akhirnya BlackBerry Messengger untuk android Gingerbread bisa kita nikmati.

Setelah serangkaian rumor penolakan, kebocoran dan aplikasi palsu, kini akhirnya kita sampai untuk menyambut aplikasi BlackBerry Mesengger untuk android secara resmi beberapa waktu lalu. Seperti di ketahui aplikasi instant mesengger ini merupakan yang paling populer di dunia.

Lalu Bagaimana dengan Android Gingerbread?

Aplikasi BBM untuk Android ini sendiri
dikhususkan untuk Android versi Ice
Cream Sandwich untuk syarat minimal
menggunakan aplikasi BBM untuk
Android. Lalu bagaimana untuk para
pengguna Android di bawahnya termasuk
Gingerbread? Karena terhitung para
pengguna Android di kelas Gingerbread
pun masih terbilang banyak.
Pasti beberapa dari Anda yang masih
menggunakan Android Gingerbread
pernah mencoba tidak bisa menginstal
Aplikasi BBM untuk Android tidak bisa
menjalankannya. Namun Anda tidak perlu
khawatir karena saat ini telah tersedia
aplikasi BBM untuk Android khusus untuk
pengguna Gingerbread dengan jenis CPU
Armv7. Aplikasi BBM untuk Andorid
Gingerbread ini pertama kali diulas di
salah satu forum yang membahas Android.
Untuk masalah fitur, aplikasi BBM untuk
Android ini tidak jauh dengan versi
official, namun sekali lagi harus diingat,
hanya versi Gingerbread dengan versi CPU
Armv7 saja yang bisa menjalankan aplikais
BBM untuk Android ini, untuk Anda yang
menjalankan CPU Armv6, maka Anda tidak
akan bisa menjalankan aplikasi BBM untuk
Android ini.
Dikarenakan spesifikasi dari sistem operasi
ini jauh dari kata mumpuni, maka Anda
akan menemukan sedikit lag pada saat
menjalankan aplikasi BBM untuk Android
ini. Namun untuk Anda para pengguna
Android Gingerbread CPU Armv7 yang
penasaran untuk mencicipi aplikasi BBM
untuk Android ini, bisa langsung
mengunduhnya di sini.

Aku Bukanlah Dia

"Maaf Sa, aku benar-benar nggak bisa." kata-kata itu kembali terucap dari bibirku.
"Kenapa? Karena massa lalu Kakak?." tanya Sasa tegas meminta penjelasan atas aksi penolakanku.
"Ya, salah satunya itu.
"Kak, jangan samakan aku dengan dirinya yang telah meninggalkanmu, move on dong!"
"Tidak semudah itu Sa, kamu tahu aku sangat menyayangi Adelia, bahkan sampai detik ini rasa itu tidak berkurang sedikitpun meskipun dia telah mengkhianatiku."
"Terserah, tapi asal Kak Dimas tahu, Sasa akan selalu menunggu sampai pintu hati Kak Dimas terbuka." kata Sasa akhirnya sambil berlalu meninggalkanku sendiri di taman sore itu.
Entah sudah berapa kali Sasa mengutarakan isi hatinya, mengalahkan rasa malunya dan mematahkan "filosofi bahwa hanya laki-laki yang ber-hak mengutarakan isi hatinya terlebih dahulu.
Bukannya aku nggak mau menerima Sasa, tapi jujur hati ini belum bisa melupakan sosok Adelia, perempuan yang pernah mengisi hati ini, Sosok yang begitu aku banggakan dengan segala kelebihan yang ia miliki. Namun harus ku akui, Sasa pun tak kalah cantiknya. Dia satu kampus denganku, cuma beda beberapa semester denganku. Banyak sebenarnya cowok di kampus yang ingin menjadi pacarnya, namun entah kenapa dia selalu menolaknya.

"Hai Sa... Kenapa itu muka cemberut mulu?" tanya Dara, teman kostan sekaligus kuliah Sasa.
Tak ada jawaban dari Sasa, dia langsung membuka pintu kamar dan merebahkan tubuhnya yang dibalut kaos putih itu di atas kasur empuk.
"Kamu kenapa, habis ketemuan lagi ya sama Dimas?" tanya Dara lagi yang juga sudah memasuki kamar. Sasa hanya mengangguk pelan.
"Sampai kapan kamu akan mengejar cinta palsumu itu?"
"Cinta nggak ada yang palsu Ra, kalaupun aku nggak bisa bersamanya di dunia ini, semoga saja di kehidupan yang lain kita dapat bersama."
"Ah,,, benar ternyata, kalau cinta itu membutakan." Dara mendengus dan memilih diam mengalah, karena baginya percuma saja berdebat dengan sahabatnya yang satu ini. Dia akan nggak mau kalah.
"Eh Sa... Aku pikir-pikir kamu kuliah telah salah milih jurusan deh."
"Maksudnya?" Mendadak Sasa menoleh ke arah Dara dengan kerutan di kepalanya.
"Ya salah saja, lebih baik kamu milih jurusan hukum daripada kedokteran, habis setiap kali ngobrol kamu nggak pernah mau ngalah."
"Ah sialan, aku kira apaan." satu lemparan bantal dari Sasa tepat mengenai muka Dara. Kini yang terlihat adalah aksi saling lempar bantal dan guling di sertai tawa keduanya. Sudah menjadi hal biasa buat Sasa dan Dara, semua penghuni kost ini juga sudah memakluminya jika ada suara ribu-ribut dari kamar Sasa.

"Makaasih Dara, kamu adalah orang yang slalu bisa membuatku tersenyum lagi dengan caramu."

"Sasa... Woy Sa..." teriak salah satu suara diantara keramain mahasiswa. Sasa menoleh ingin memastikan siapa yang memanggil namanya tadi. Dilihatnya laki-laki setengah berlari sambil melambaikan tangannya.
"Lucu, kayak adegan film india, hehe." kata Sasa dalam hati.
"Aku tadi nyariin kamu di kelas, tapi kata Dara kamu udah keluar, mau kemana sih buru-buru banget?"
"Nggak kemana-mana, mau pulang saja."
"Aku antar ya?"
"Makasih, tapi aku bisa sendiri kok."
"Sekali ini saja, di jamin selamat sampai tujuan.deh." Tawar Romi, teman kuliah Sasa juga.
"Makasih deh Rom, lagian kalau kamu nganter aku, terus motorku siapa yang bawa?"
"Simpan saja di kampus ini, terus besok pagi biar aku yang jemput kamu kalau mau berangkat kuliah."
"Huuu... Mau kamu itu mah." seru Sasa sambil meninju dada Romi, yang di tinju cuma cengengesan.
"Kenapa nggak sekalian saja jadi sopir pribadiku?"
"Boleh kalau mau mah."
"Dah ah, aku mau pulang duluan, capek banget hari ini." kata Sasa akhirnya, dan meninggalkan Romi bengong sendirian.
belum juga motor yang di kendarai Sasa tiba di rumah, sebuah tragedi menimpanya. motor jenis bebek yang di kendarainya di hantam sebuah mobil yang melaju cukup kencang.

Ciittttt.... Brakkkk...
Suara rem dan hantaman antara dua benda yang cukup keras memekakkan telinga sore itu. spontan warga yang sedang berada di pinggir jalan langsung menghampiri lokasi kejadian dan memberikan pertolongan kepada korban. hingga suara sirine ambulance terdengar membawa korban menuju rumah sakit terdekat.
Dara sebagai sahabat Sasa yang paling akrab dengan setia menunggunya sadar, karena hingga saat ini Sasa belum membuka matanya semenjak kejadian itu, namun sesekali terdengan suara keluar dari bibirnya yang tipis memanggil salah seorang nama.. "Kak Dimas."

Di tempat yang berbeda sedang di langsungkan sebuah prosesi akad pernikahan, yang tak lain adalah Dimas dengan Adelia, karena bebera waktu yang lalu Adelia mau menerima cinta Dimas lagi.

"Sialan tu Dimas, bisa-bisanya dia menggelar acara pernikahan setelah tahu Sasa terbaring di rumah sakit." umpat Romi waktu berada di loby rumah sakit.
"Iya, kasihan sekali Sasa, setiap hari dia selalu menanyakan Dimas." jawab Dara menanggapi emosi Romi.
"Aku akan memberikan ini kepada Sasa." kata Romi seraya mengacungkan boneka dan seikat bunga.
"Untuk apa?" tanya Dara yang tidak menegerti maksud Romi melakukan hal itu.
"Lihat saja nanti."
Tidak lama kemudian terdengar suara pintu terbuka, terlihat Romi dan dara memasuki ruangan tempat Sasa di rawat.
"Gimana, sudah dapat kabar tentang Kak Dimas?" tanya Sasa begitu tahu siapa yang datang.
"Sudah." jawab Romi singkat.
"Lalu mana Kak Dimas nya? kok nggak di ajak kesini buat jenguk aku?"
"Dimas sedang ada urusan di luar kota, dia cuma menitipkan ini, dia titip pesan semoga kamu lekas sembuh." kata Romi berbohong, sambil menyerahkan boneka dang bunga yang dia beli, bagaimanapun juga mereka tidak mau Sasa tahu tentang keadaan Dimas yang sebenarnya kalau sudah menikah, Romi nggak mau ngelihat sasa sakit hati lagi, ditambah kondisi Sasa yang sekarang masih terbaring di rumah sakit.
"Ihh,,, lucu sekali bonekanya, Kak Dimas tahu aja kalo aku suka boneka beruang." seulas senyum terlihat dari wajah Sasa memperlihatkan lesung puipit di kedua pipinya.
Dan kejadian ini terus berulang, Romi selalu memberikan barang atau makanan kesukaan Sasa dengan mengatakan itu titipan dari Dimas.

"Eh, sampai kapan kamu akan membohongi Sasa seperti ini?" kata Dara sore itu sepulang kuliah.
"Entahlah." jawab Romi ragu.
"Kamu tahukan apa akibat dari semua ini?"
"Ya aku tahu, Sasa akan terus hidup dalam harapan cinta palsu Dimas."
"Lalu kenapa kamu nggak bilang yang sesungguhnya saja kepada Sasa?"
"Sejujurnya aku juga bingung, aku nggak punya pilihan lain, aku nggak mau ngelihat dia menangis lagi kalau sampai Sasa tahu yang sesungguhnya, tapi aku juga sudah cukup bahagia dengan melihat senyum di bibirnya."
"Jangan bilang kalau kamu menyukai Sasa?" tebak Dara.
"Ya,,, jujur aku akui kalau aku menyukai Sasa, aku nggak tahu sejak kapan perasaan itu hadir.
Dara seolah tak percaya atas apa yang di ucapkan Romi barusan.

"Andai kamu tahu yang sesungguhnya, bahwa aku juga memiliki perasaan yang sama denganmu Rom." kata Dara dalam hati.
Sinar sang surya pagi masuk menembus melalui jendela kamar Sasa di rawat, sudah dua bulan lamanya Sasa berada di ruangan ini.
Sesekali terdengar suara kicauan burung di luar sana menambah suasana pagi ini begitu indah, berbanding lurus dengan hati Sasa, karena kata Dokter hari ini Sasa sudah di perbolehkan pulang. Sasa rindu suasana kamar kost, rindu saat-saat bercanda dengan Dara, saling lempar bantal.
Saat ini Dara dan Romi sedang packing barang-barang Sasa, dan bersiap untuk pulang.
"Kak Dimas kok nggak datang ya buat menyambut kepulanganku?" celetuk Sasa.
"Ehh,, mungkin dia masih ada urusan sama pekerjaannya." jawab Dara kaget mendapat pertanyaan yang tiba-tiba dari Sasa, sama kagetnya dengan Romi.

Terdengar suara gagang pintu di tarik, dan terlihat Sosok Sasa, Dara juga Romi memasuki kamar kost itu. Aroma parfume langsung berebut memasuki rongga hidung ketiganya.
"Wah sudah lama sekali ya aku nggak masuk ke kamar ini." komentar Sasa saat dirinya merebahkan tubuh sexy-nya.
"Pasti kangen banget ya Sa?"
"Iya Rom, kangen banget, nggak ada yang berubah selama aku dirawat." komentar Sasa lagi.
"Eh, tapi apa itu?" tunjuk Sasa ke arah meja belajarnya. Dara dan Romi ikut melihat ke arah yang di tunjuk Sasa.
Degg...
Jantung kedua shabat Sasa ini terasa berhenti berdetak. Belum sempat keduanya menyembunyikan benda itu, Sasa sudah lebih dulu menghampirinya.
"Undangan pernikahan dari siapa ini?"
"untuk Sasa dan Dara" Sasa  membaca tulisan yang ada cover undangan tersebut. Bola matanya bergerak turun mengikuti setiap kalimat yang dibacanya.
"Adelia dan Dimas Prasetyo." suara Sasa terdengar begitu lirih. Tanpa dia sadari surat undangan yang tadi dibacanya jatuh ke lantai.
"Tolong jelaskan maksud dari semua ini!"
"Eh.. Itu anu Sa... Anu..." kata Dara gelagapan.
"Kenapa kalian tega melakukan ini kepadaku?"
"kami cuma nggak mau lihat kamu sedih lagi Sa kalau tahu yang sebenarnya." jelas Romi setenang mungkin, meskipun ia sama kagetnya dengan Dara.
"Dan kenyataannya sekarang aku lebih sedih lagi, karena sahabat-sahabat yang begitu aku percaya tega membohongiku."
"Bukan itu maksud kami Sa, kami cuma" Dara tidak lagi melanjutkan kata-katanya.
"Cukup, untuk saat ini aku sedang pengen sendiri, jadi bila kalian sudah tidak ada lagi kepentingan di kamar ini, aku mohon kalian segera keluar!" kata Sasa tercekat menahan tangis.
Romi berlalu meninggalkan kamar itu setelah dia menyikut lengan Dara.
"Mungkin Sasa butuh waktu untuk bisa menerima semua ini, biarkan saja dia sendiri dulu!" kata Romi stelah berada di luar kamar Sasa.
"Mungkin..."

Di tempat lain.
"Aku nggak mengerti dengan sikap kamu Del."
"Maksudnya?"
"Ya... Selama kita sudah menjadi pasangan suami-istri, tak pernah sekalipun kamu menunjukan sikapmu layaknya seorang istri kepada suaminya, kamu selalu berfoya-foya, dan lebih sering nghabiskan waktumu di luar sana."
"Kamu menyadarinya juga ya."
"Apa maksud kamu?"
"Kamu salah kalau berpikiran aku balikan dan menikah denganmu karena cinta."
"Lalu?"
"Selama ini aku cuma menginginkan hartamu saja Dimas." jelas Adelia tanpa rasa malu lagi.
"Apa??? Ternyata sifat kamu dari dulu nggak pernah berubah, nyesel aku menikah denganmu."
"Lalu mau kamu apa?"
"Cerai... Kita bercerai."
"Ok... Tapi jangan lupa sol harta gono-gini."
"Terserah, kamu bisa urus itu dengan pengacaraku nanti." kata Dimas penuh emosi dengan rahang mengembung dan berlalu meninggalkan Adelia sendirian di rumah yang cukup mewah tersebut.
"Dimas........."

Dimas pergi tak tentu arah, dia hanya mengikuti kemana arah hatinya, dan tiba-tiba saja dia sudah berada di halaman rumah kost Sasa, kebetulan di sana ada Dara dan Romi.

"Hey... Mau apa lagi kamu datang kemari? Belum puaskah kamu membuat Sasa menderita?" bentak Romi sambil tangan kirinya mencengkeram kerah baju Dimas dan tangan kanannya mengepal siap mengirimkan pukulan.
"Romi... Kendalikan emosimu!" teriak Dara.
Dimas diam tak melawan, dia menyadari kesalahannya hingga temam Sasa ini begitu bernafsu untuk menghabisinya.
"Ada apa sih kok ribut-ribut?" kata suara di balik pintu.

"Ka... Kamu, Kak Dimas? Ini bukan mimpi, tapi mau apa dia datang kemari?"
"Aku mau minta maaf Sa." kata Dimas seolah bisa membaca isi hati Sasa.
"Bisakah kita bicara, empat mata saja." kata Dimas lagi.
Tak ada jawaban dari Sasa, dia hanya pandangi kedua sahabatnya itu, yang dipandangi pun seolah paham apa yang harus mereka lakukan, mereka berlalu meninggalkan Sasa dan Dimas di sana. "Aku mau minta maaf Sa." kata Dimas lagi. "Aku udah memaafkannya, jauh hari sebelum Kakak memintanya." "Makasih." "Tapi semuanya sudah terlambat Kak." "Apa maksudmu Sa?" "Jangan kak Dimas pikir aku nggak tahu mengenai pernikahan Kak Dimas dengan Adelia, wanita pujaan Kak Dimas itu." "Itu nggak salah Sa." "Lalu?" "Aku cuma mau tanya, apakah tawaranmu waktu itu masih berlaku?" "Tawaran apa?" "Tawaran akan selalu menungguku sampai hati ini terbuka." kata Dimas sambil menunjuk tepat di dadanya denga jari telunjuk. "Lalu Adelia? Jangan Kak Dimas pikir karena aku sangan mencintai Kak Dimas, jadi aku mau istri kedua." "Aku akan menceraikannya." kata Dimas datar. "Ternyata selam ini aku salah menilai Adelia, dia cuma menginginkan hartaku, tidak benar-benar cinta." jelas Dimas lagi. Dirasakan oleh Sasa, tangan.Dimas yang kekar menyentuh pundaknya lalu meluknya. "Ternyata aku bodoh Sa, selalu mencari cinta, ternyata Cinta sejati itu ada di depanku" bisik Dimas tepat di telinga Sasa. "Semoga dia orang yang tepat buat kamu Sa, yang selalu membuat kamu tersenyum bahagia. Aku sudah cukup bahagia melihatmu tersenyum" kata Romi lirih di kejauhan. Di belakang Romi terlihat mata Dara berkaca-kaca menahan agar butiran bening itu tidak menjadi anak sungai yang mebanjiri pipinya mendengar apa yang di ucapkan lelaki di depannya. ~~~Percaya atau tidak, Cinta Sejati akan mencari jalanya untuk menemukan orang yang pantas untuk mengdapatkannya~~~

Wednesday, December 4, 2013

Perempuan Penggila Hujan

“Kamu bisa temui aku?”
“Kapan?”
“Sekarang?”
“Tapi ini masih hujan,”
“Ini penting.”

Sebuah telepon kuterima saat hujan deras mendera. Telepon dari seseorang yang telah lama aku kenal. Suaranya begitu
mengkhawatirkan, berulang kali aku mencoba menelponnya, tapi selalu gagal. Entah, karena jaringan yang sedang
bermasalah, atau memang ponselnya yang dimatikan dari sana. Telepon darinya benar-benar membuatku kalang kabut
ditengah petir yang menyambar. Sudah satu hari penuh, hujan ini mengguyur, membasahi tanah yang sekian lama kerontang.
Kupacu motorku, menembus hujan yang kian mendera, angin, dan petir, tak kuhiraukan, aku ingin segera menemuinya.
Aku tidak ingin terjadi apa-apa dengannya.
Sudah seminggu hujan ini datang, dan sudah seminggu pula, kabar musibah sering
kudengar.
Jas hujan yang kupakai rupanya tak mampu lagi menahan rembesan air, sedikit demi
sedikit bajuku basah. Kulitku mulai
merasakan dingin yang meyelinap lembut ke kulitku. Saat hujan deras seperti ini, tempat yang paling nyaman berada di
rumah, bukan di jalan seperti ini. Bukankah
dalam keadaan seperti ini kecelakaan bisa
saja terjadi.
Bulan ini, musim penghujan telah
tiba. kami harus lebih ekstra hati-hati.
Kecelakaan dan bencana, di saat seperti
ini sangat rwan terjadi.

Aku terus memacu motorku, meski pandanganku tertutup kabut, aku tidak ingin berhenti meski sekedar berteduh, aku
hanya ingin segera sampai ke tempat di mana Raya berada. Teleponnya yang tiba-tiba mati, membuatku tanda tanya, apa
sebenarnya yang telah terjadi.

Ehmmmm …. Sebenarnya belum lama aku mengenal gadis kelahiran Semarang itu. Kesamaan hobi, dan juga kesamaan profesi membuat aku lebih dekat mengenal gadis berambut sebahu itu. Selama ini, ia sering membantu pekerjaanku, ia juga yang telah mengenalkan aku pada orang-orang
penting. Sehingga, cita-citaku pelahan-lahan menemui hasil. Bagiku, dia bukan sekedar teman, ia seorang bidadari yang tak mengenal pamrih. Tak sedikitpun ia meminta aku untuk berbuat sama dengan apa yang telah ia lakukan kepadaku, tak
juga ia terkesan egois, ia selalu mau mengerti apa dan bagaimana keadaanku. Meski terkadang ia pun kekanak-kanakan. Tapi, begitulah perempuan, ia tak bisa
menyembunyikan keinginannya untuk dimanja.

Lampu-lampu di jalanannya mulai menyala, malam telah beranjak, demi keselamatan, aku tak lupa menyalakan lampu di motor yang aku tunggangi.
Hujan semakin deras, jalanan semakin berkabut, angin pun
menerpa mantelku yang terus menyingkap hingga memudahkan air membasahi badanku.
Mataku masih tajam memandang ke depan Aku harus fokus berkendara di tengah
cuaca yang tidak bersahabat ini. Meski aku sangat memikirkan keadaan Raya, aku juga
tidak ingin terjadi sesuatu menimpa diriku.

Mataku semakin perih. Air hujan
tak henti-hentinya menampar mukaku dengan butiran-butirannya. Pandanganku
sedikit kabur, keseimbanganku pun mulai tak terjaga, tepat di tikungan tajam, sebuah truk melintas, aku mengusap air
yang membasahi mukaku dengan tangan, dan tiba-tiba sebuah lampu truk menerpa
mukaku, aku tergelagap, kaget dan segera membanting setir motorku ke kiri, hingga
aku harus terjatuh. Untunglah, kecelakaan kecil ini tak membuatku terluka. Aku
bangunkan motorku yang ikut terguling bersamaku, truk itu telah meninggalkanku, entah ke mana. Kuatur nafasku sejenak,
menenangkan diri dari gememetarnya badanku. Inilah yang aku takutkan.
Sesaat diriku telah kembali
tenang, aku memacu motorku lagi,
menembus hujan, menjumpai Raya.

“Apa aku terlambat?” ucapku
saat tiba di rumah Raya
“Hampir saja,”
“Hampir?!”
“Iya,” Raya memberikan handuk.
Aku membersihkan badanku, Raya
meminjamiku kaos dan celana milik Kakaknya. Di rumah sebesar ini ia hanyabtinggal dengan Bik Surti, pembantu yang telah berpuluh tahun bekerja di rumahnya.
Sedangkan kedua orang tuanya, jarang pulang, mereka sibuk dengan urusan bisnisnya. Sedangkan Kakaknya, kuliah di
kota budaya, Jogjakarta.

“Kau memanggilku,”
“Iya,”
“Ada apa?”
“Temani aku,”
“Hah…?” mulutku menganga.
“Keberatan?”
“Tidak, tapi…”

Raya mengambilakan segelas teh hangatuntukku. Di lantai dua rumhanya, aku menikmati secangkir teh, di tengah guyuran
hujan yang semakin deras.  Aku tidak habis pikir, kenapa ia tega melakukan ini kepadaku, ditengah hujan yang sangat rawan kecelakaan, ia menyuruhku datang
ke rumahnya, hanya untuk menemaninya sambil minum teh.
Oh, Tuhan….

“Ada yang ingin aku tunjukan
kepadamu,”
“Apa?”

Raya meraih tanganku, ia membawaku mendekati sebuah jendela. Aku tak melihat
sesuatu yang menarik, bahkan jendela sudah biasa aku lihat. Raya hanya diam, sambil memandangi jendela yang berlapis
kaca. Ah… apa menariknya jendela itu, bukanhkah itu hanya jendela biasa, yang berukiran Jepara. Sesekali mata Raya
menatap keluar jendela, aku pun dengan reflek mengikuti ke mana matanya tertuju.
Aku masih tidak mengerti apa yang ia lihat, dan apa yang akan ia tunjukan kepadaku.
Aku hanya melihat hujan semakin mengalir deras dari langit dan rembasan air hujan yang membasahi kaca jendela.

“Apa yang hendak kau tunjukan?”
“Itu,” tunjuknya
“Hujan…?!”
“Iya…”
“Oh, Tuhan…” aku menghempaskan
nafas panjangku.
“Aku suka hujan,”
“Lalu?”
“Aku ingin menikmatinya
bersamamu,”

Gila! Aku pikir ada apa ia menelponku untuk datang ke rumahnya, ternyata hanya
karena ingin menunjukan hujan
kesukaannya. Oh… bukankah di tempatku juga sedang hujan, dan, bukankah juga bisa
dibicarkan lewat telepon? Lalu apa
istimewanya hujan, bagiku hanya air yang turun dari langit, tak lebih sama sekali.
Justru aku sangat membenci hujan.

“Kau tahu, kenapa aku suka hujan?”
“Tidak,”
“Ia bening, seperti embun,”
Aku mendekati Raya yang tengah berdiri di depan jendela. Suara lembutnya, membuatku tertarik untuk mendengarkan
cerita tantang hujan kesukaannya itu.

“Lalu?”
“Ia juga memberi kesegaran,”
“Sama dengan air, bukan?”
“Tidak, hujan beda dengan air,”
“Bedanya?”

Raya memalingkan wajahnya kepadaku. Mata kami berbenturan, ia tersenyum, sangat
menawan, bahkan menurutku lebih menawan senyumnya daripada hujan yang
sedari tadi tidak berhenti.

“Hujan datang setahun sekali, itu
bedanya.”
“Hanya itu?”
“Banyak,” Raya meminum tehnya
“Apa?” kejarku
“Ia juga memberikan kebahagiaan."

Aku semakin tidak mengerti dengan jalan pikirannya. Pikirannya semakin membuatku
penasaran apa sebenarnya yang ingin ia sampaikan mengenai hujan itu. Adakah keistimewaan hujan selain membuat banjir
dan susah manusia? Sejak awal aku
mengenalnya, ia selalu saja bicara
setengah-setengah. Ia enggan bicara to the poin, mungkin membuat orang penasaran adalah ciri khasnya atau dengan begituvia menjadi puas.

“Kau lihat,” tunjuk Raya pada
segerombolan anak kecil.
“Iya,”
“Mereka begitu bahagia,”
“Begitulah anak kecil,” kilahku.
“Itu juga,” tunjuk Raya lagi.

Aku mengikuti telunjuk Raya yang mengarah kapada segerombolan anak remaja. Di tangan mereka menggenggam beberapa payung tapi tidak di pergunakan, bahkan
ada anak remaja yang rela hujan-hujanan sambil mengikuti seorang Bapak-bapak.
Mereka itulah yang biasa kami sebut ojek payung. Mereka meyewakan payungnya
kepada orang yang membutuhkan dengan imbalan sekian ribu.

“Iya, aku melihatnya,”
“Mereka pasti bahagia,”
“Benarkah?”
“Hujan memberikan rejeki bagi
mereka,”
“Ya, kau benar,” aku mengangguk
setuju

Malam semakin larut, hujan pun tak ada tanda-tanda untuk berhenti. Aku masih
menikmati guyuran hujan dengan Raya di pinggir teras lantai dua. Ia tak henti-hentinya membahas tentang hujan. Tak ada
kata lelah di bibirnya, ia selalu menunjukan betapa ia menggilai hujan.

“Kau mau tahu apa yang paling aku
sukai dari hujan?”
“Apa?”

Eka menggandeng tanganku, menuruni anak tangga, hingga di luar dugaanku, ia mengajakku keluar rumahnya. Di halaman
rumahnya, ia menari, melebarkan
tangannya, menengadahkan wajahnya, ia biarkan rintikan hujan mengguyur tubuh
indahnya. Aku hanya bisa diam dan
memandangi, apa yang dilakukannya, ini adalah kali kedua aku kehujanan. Raya
berlari, di bawah guyuran hujan, layaknya anak kecil yang gembira ketika hujan datang, begitulah sikap yang aku tangkap
dari seorang gadis berusia 25 tahun itu.

“Dany…” bisik Raya
“Iya,”
Raya menatapku lekat. Tatapan matanya begitu dalam. Ini adalah kali pertama aku merasakan debaran jantung yang sangat
kencang, sejak aku mengenalnya. Tangan Raya perlahan meraih pundaku, ia dekatkan mulutnya ke telingaku. Jantungku, tak bisa
aku kendalikan, ia semakin kencang berdetak. Di bawah guyuran hujan ini, ia
memelukku bergitu erat.

“Aku suka hujan, Dany.”
“Ya, aku tahu…”
“Ia lambang keromantisan, aku tak bisa menghitung butiran bening yang telah membasahiku, begitu juga aku tak bisa menghitung rasa syukurku karena bisa mengenal dirimu Dany.” desah Raya.