*Terinspirasi oleh lagunya Sheila on Seven, "Sephia"
Sabar adalah guru paling hebat dalam hidup ini.
Sabar mengajariku
bagaimana mengendalikan dan mengatasi musuh terbesar dalam hidup ini.
Nafsu.
Sabar pula yang membuatku mencintai wanita dengan hati.
Menjadi bagian dari hidup wanita yang kucintai seperti mengukir
ukiran cinta dengan busur panah yang tertancap di atas air. Sungguh
sulit sekali.
Wanita cantik yang mempunyai rambut hitam panjang legam
yang selalu tergerai indah itu benar-benar memikat naluriku sebagai
lelaki untuk menaruh hati padanya. Berkali-kali aku gagal untuk memiliki
dia sepenuhnya tapi aku tak pernah menyerah.
Seperti yang Ibu bilang, "Sabar itu tak mengenal kata tetapi. Sabar itu sahabat terbaik dalam
hidup ini. Sabar memang tak selalu berujung dengan bahagia. Tapi sabar
adalah guru paling hebat dalam hidup ini. Sabar mengajariku bagaimana
mengendalikan dan mengatasi musuh terbesar dalam hidup ini. Nafsu. Sabar
pula yang membuatku mencintai wanita dengan hati."
Bukan pria berpostur tinggi dan atletis itulah yang menjadi musuh
terbesarku. Bukan. Meski tak bisa dipungkiri jika aku dan lelaki
berpostur tubuh atletis itu adalah rival. Pria etletis itu selalu
menantangku berduel untuk mendapatkanmu. Maaf wanita yang kukagumi,
bukan maksudku mejadikanmu sebagai taruhan atas duel ini. Bukan. Aku
hanya ingin mendapatkan dirimu dengan caraku, dengan peluh dan usahaku.
Jika memang jalannya adalah menerima tantangan pria berpostur atletis
yang selalu mengunjungimu saat hari sabtu tiba.
Sephia, apa kamu bahagia dengan kehadiran pria berpostur atletis itu
setiap sabtu tiba? Pria yang menemanimu menikmati kerlap kerlip bintang,
menemanimu menghabiskan sabtu malam di serambi rumahmu ditemani
kunang-kunang. Sephia, sungguh aku iri melihat kalian berdua yang
seringkali duduk berbincang-bincang di serambi rumahmu dengan akrabnya.
Tak berani aku menatap kebersamaanmu degannya. Maaf, bukannya aku
sombong tak menyapamu setiap kali aku melintas di depan rumahmu usai
mengajari anak-anak kecil latihan silat.
Sephia, nyaliku seketika menjadi ciut sebelum melintasi rumahmu yang
berpagar coklat terang dengan arsitektur bergaya joglo itu. Motor mewah
yang dikenakan pria itu dari jauh sudah terlihat kinclongnya. Membuatku
mengerutkan hati untuk sekedar melihatmu sekilas. Sephia, aku tahu jika
kamu selalu melihatku melintasi rumahmu dengan sepedah butut peninggalan
almarhumah bapakku.
Sephia, aku masih mengingat dengan jelas bagaimana kamu selalu
menungguku di depan serambi rumahmu untuk bertemu denganku atau sekedar
melihatku lewat usai mengajar silat. Aku masih ingat ketika dulu kamu
berpura-pura menunggu abang bakso yang lewat, padahal kamu tengah
menungguku lewat.
Sephia, aku tahu kamu menaruh hati padaku. Wanita mudah sekali
terbaca gerak-geriknya saat jatuh cinta. Meski secerdik apapun wanita
itu menyembunyikan perasaanya, pasti akan kelihatan juga. Meski bibirmu
yang indah seperti bunga merekah itu terus berkata tidak ketika aku
menggodamu namun matamu tak mungkin bisa berkata tidak. Bola matamu yang
hitam itu selalu menjadi bagian yang aku lihat ketika berhadapan
denganmu. Naluriku sebagai lelaki bisa memahami jika kamu menyukaiku.
Sephia, aku juga tak pernah berkata padamu jika aku mencintaimu.
Jujur aku tak pernah berkata itu. Sebab aku memang tak berani
mengatakannya. Yang jelas aku benar-benar mencintaimu. Cintaku padamu
bukanlah cinta yang terencana. Aku tak bisa memperediksi sejak dan
sampai kapan aku akan mencintaimu. Cintaku benar-benar tulus dari hati,
tumbuh dari lubuk hati yang paling dalam.
Sephia, jika ada cinta yang terucap dan tak terucap, maka kaulah
cinta tak terucapku. Cinta yang tak pernah berkata ada kata love you,
jadian atau apapun itu. Cinta kita tumbuh dengan sendirinya. Tanpa
rencana, tanpa sebab, bukan karena ada maksud apapun.
Sephia, apa kamu merindukanku? Aku merindukanmu, rindu pada gelak
tawamu ketika bergurau dengan adik-adikmu di teras rumah, rindu senyummu
yang kau tujukan padaku saat aku tersenyum padamu, rindu pada bola
matamu yang hitam jernih itu yang selalu menjadi penyemangatku agar aku
mencintaimu. Rindu pada rambut panjangmu yang membuat dirimu semkain
cantik bak bidadari turun dari khayangan.
Sephia, sudah hampir dua purnama aku melintasi rumahmu namun aku tak
pernah melihatmu di teras rumah. Aku tak pernah melihatmu tengah
menunggu abang-abang bakso di hari lainnya, tak pernah melihatmu tengah
bermain dengan adik-adikmu atau dirimu yang tengah dikunjungi pria
atletis itu. Sephia, sedang apa kamu hingga aku tak pernah melihat
sosokmu lagi.
Satu purnama lagi telah aku lewati. Berarti sudah tiga purnama
berlalu kita tak bertemu. Sephia, ada apa denganmu? Di purnama ketiga
aku tengah berada di kota lain. Mengadu nasib untuk mendapatkan
penghidupan yang lebih layak. Andai kau tahu bahwa ragaku disana tapi
hatiku disini. Sephia, aku mencemaskan keberadaanmu. Hingga akhirnya
belum genap purnama keempat datang aku sudah memutuskan untuk kembali
pulang.
Sephia, rasanya hatiku sudah putus asa. Tak berani aku mengetuk pintu
rumahmu untuk bertanya keberadaanmu dan keadaanmu. Aku tak ingin
dianggap lelaki pengecut karena ingkar janji. Aku berjanji pada pria
atletis itu untuk tidak menemuimu. Ya, pria atletis itu mengetahui apa
yang tengah bergejolak di antara kita. Sephia, pria atletis itu terus
mencariku, menantangku berduel untuk mendapatkanmu. Kedengarannya konyol
dan kekanak-kanakan, tapi memang inilah dunia kaum adam.
Sephia, hingga akhirnya Tuhan yang memberiku jawaban dari kerisauanku
selama ini, di suatu pagi yang basah karena hujan semalam yang
mengguyur kota ini aku hendak pergi ke rumah kerabatku dan melintasi
rumahmu. Sephia betapa risaunya hatiku ketika kulihat dari kejauhan di
pagar rumahmu tengah tertancap bendera putih yang di tengahnya terdapat
tanda palang merah. Sephia, ada apa di rumahmu. Aku memutuskan untuk
menuntun sepedah federal buntut ini. Perlahan mendekati rumahmu.
Sephia, betapa kagetnya aku ketika aku semakin dekat dengan rumahmu
melihat orang sedang mengukir namamu dalam batu nisan. Sephia, ku eja
nama itu berkali-kali. Masih saja tertera dengan jelas 5 huruf yang
selalu kusebut-sebut dalam setiap sujudku untuk menjadi pelabuhan
terakhirku, SEPHIA. Sephia, nyatakah ini? Atau mimpikah ini? Benarkah
tubuh yang kulihat dari sini seberang jalan sini adalah sosokmu yang
terbalut kain jarik dan kain putih dalam ruang tamu? Benarkah mereka
yang sedang membacakan surat yasin tengah mendoakanmu yang tengah
terbaring kaku itu?
Sephia, benarkah orang yang tengah menangis di sampingmu itu adalah
mamahmu? Aku ingin masuk ke rumah itu. Tapi pantang bagiku untuk ingkar
janji pada pria atletis itu. Sephia, orang berlalu lalang masuk ke
rumahmu, sedangkan aku masih saja berdiri mematung di seberang jalan
rumahmu. Mereka datang dengan pakaian hitam-hitam dan berkerudung dengan
sesekali berbicara bisik-bisik tentangmu. Sephia, aimataku jatuh. Aku
tak peduli sedang dimana aku. Menangis itu tak mengenal jenis kelamin.
Sephia, aku benar-benar menangis di depan rumahmu, di seberang jalan,
disaksikan orang yang berlalu-lalang melintasi jalan raya, di tempat
yang sering kita gunakan untuk bertemu walau tak kurang dari 10 menit.
Sephia, gadis kecil yang sering kau ajak bergurau di teras rumahmu
tengah menyeberang jalan, gadis kecil itu menghampiriku. Gadis kecil
berambut keriting itu menyodorkan kertas putih untukku dan segera
berlaluu meninggalkanku, kembali ke ruang tamu rumahmu.
Sephia, kubaca surat itu.
Cinta itu berarti saling setia dan saling percaya. Aku percaya jika
kamu mencintaku, pria berambut ikal dengan kulit hitam legam dan tubuh
tinggi. Meski tak pernah terucap kata cinta dari bibirmu. Aku selalu
menunggumu melintasi rumahku setiap malam. Setiap hari rasanya aku
merindukanmu. Sayang, bukankah rindu itu harus dirawat degan baik.
Jangan dibiarkan berkobar karena bisa merusak jiwa. Maaf jika aku
memanggilmu sayang, tapi aku memang menyayangimu. Sayang, maaf jika aku
meninggalkanmu untuk selamanya tanpa pernah bercerita padamu tentang
sakit yang kuderita ini. Sayang, aku tak ingin kamu mencintaiku hanya
karena belas kasih seperti pria atletis yang kamu maksud itu. Tidak
sayang, aku tak ingin kanker yang menggerogoti tubuhku ini menjadi sebab
aku dikasihani. Sayang, dengan cintamu yang tak terucap itu aku merasa
terus ingin hidup. Meski setiap hari aku harus menghitung hari menunggu
kepulanganku ke rumah-Nya. Sayang, sebulan aku sakit di rumah, sebulan
aku dirawat di rumah sakit dan sebulan pula aku memilih kembali ke rumah
untuk menunggumu. Namun selama hampir sebulan itu kamu tak muncul juga.
Sayang aku lelah, aku rindu, aku rapuh. Maaf hingga akhirnya aku
membalas cintamu dengan kejutan yang menyakitkan ini. Sayang, bebaslah
kamu menjadi pria. Jadilah pria yang bertanggung jawab dari setiap
perbuatan yang kamu perbuat.
Sephia
Sephia, sungguh aku sanggup untuk meninggalkanmu. Tak sanggup
menerima kenyataan yang pahit ini, tak sanggup menerima semua kejadian
yang serasa mendadak dan mengiris relung hatiku. Selamat tinggal dan
selamat tidur panjang kekasih tak terucap. Dan semoga aku dapat
melupakanmu cepat.
No comments:
Post a Comment