Pages - Menu

Thursday, December 5, 2013

Aku Bukanlah Dia

"Maaf Sa, aku benar-benar nggak bisa." kata-kata itu kembali terucap dari bibirku.
"Kenapa? Karena massa lalu Kakak?." tanya Sasa tegas meminta penjelasan atas aksi penolakanku.
"Ya, salah satunya itu.
"Kak, jangan samakan aku dengan dirinya yang telah meninggalkanmu, move on dong!"
"Tidak semudah itu Sa, kamu tahu aku sangat menyayangi Adelia, bahkan sampai detik ini rasa itu tidak berkurang sedikitpun meskipun dia telah mengkhianatiku."
"Terserah, tapi asal Kak Dimas tahu, Sasa akan selalu menunggu sampai pintu hati Kak Dimas terbuka." kata Sasa akhirnya sambil berlalu meninggalkanku sendiri di taman sore itu.
Entah sudah berapa kali Sasa mengutarakan isi hatinya, mengalahkan rasa malunya dan mematahkan "filosofi bahwa hanya laki-laki yang ber-hak mengutarakan isi hatinya terlebih dahulu.
Bukannya aku nggak mau menerima Sasa, tapi jujur hati ini belum bisa melupakan sosok Adelia, perempuan yang pernah mengisi hati ini, Sosok yang begitu aku banggakan dengan segala kelebihan yang ia miliki. Namun harus ku akui, Sasa pun tak kalah cantiknya. Dia satu kampus denganku, cuma beda beberapa semester denganku. Banyak sebenarnya cowok di kampus yang ingin menjadi pacarnya, namun entah kenapa dia selalu menolaknya.

"Hai Sa... Kenapa itu muka cemberut mulu?" tanya Dara, teman kostan sekaligus kuliah Sasa.
Tak ada jawaban dari Sasa, dia langsung membuka pintu kamar dan merebahkan tubuhnya yang dibalut kaos putih itu di atas kasur empuk.
"Kamu kenapa, habis ketemuan lagi ya sama Dimas?" tanya Dara lagi yang juga sudah memasuki kamar. Sasa hanya mengangguk pelan.
"Sampai kapan kamu akan mengejar cinta palsumu itu?"
"Cinta nggak ada yang palsu Ra, kalaupun aku nggak bisa bersamanya di dunia ini, semoga saja di kehidupan yang lain kita dapat bersama."
"Ah,,, benar ternyata, kalau cinta itu membutakan." Dara mendengus dan memilih diam mengalah, karena baginya percuma saja berdebat dengan sahabatnya yang satu ini. Dia akan nggak mau kalah.
"Eh Sa... Aku pikir-pikir kamu kuliah telah salah milih jurusan deh."
"Maksudnya?" Mendadak Sasa menoleh ke arah Dara dengan kerutan di kepalanya.
"Ya salah saja, lebih baik kamu milih jurusan hukum daripada kedokteran, habis setiap kali ngobrol kamu nggak pernah mau ngalah."
"Ah sialan, aku kira apaan." satu lemparan bantal dari Sasa tepat mengenai muka Dara. Kini yang terlihat adalah aksi saling lempar bantal dan guling di sertai tawa keduanya. Sudah menjadi hal biasa buat Sasa dan Dara, semua penghuni kost ini juga sudah memakluminya jika ada suara ribu-ribut dari kamar Sasa.

"Makaasih Dara, kamu adalah orang yang slalu bisa membuatku tersenyum lagi dengan caramu."

"Sasa... Woy Sa..." teriak salah satu suara diantara keramain mahasiswa. Sasa menoleh ingin memastikan siapa yang memanggil namanya tadi. Dilihatnya laki-laki setengah berlari sambil melambaikan tangannya.
"Lucu, kayak adegan film india, hehe." kata Sasa dalam hati.
"Aku tadi nyariin kamu di kelas, tapi kata Dara kamu udah keluar, mau kemana sih buru-buru banget?"
"Nggak kemana-mana, mau pulang saja."
"Aku antar ya?"
"Makasih, tapi aku bisa sendiri kok."
"Sekali ini saja, di jamin selamat sampai tujuan.deh." Tawar Romi, teman kuliah Sasa juga.
"Makasih deh Rom, lagian kalau kamu nganter aku, terus motorku siapa yang bawa?"
"Simpan saja di kampus ini, terus besok pagi biar aku yang jemput kamu kalau mau berangkat kuliah."
"Huuu... Mau kamu itu mah." seru Sasa sambil meninju dada Romi, yang di tinju cuma cengengesan.
"Kenapa nggak sekalian saja jadi sopir pribadiku?"
"Boleh kalau mau mah."
"Dah ah, aku mau pulang duluan, capek banget hari ini." kata Sasa akhirnya, dan meninggalkan Romi bengong sendirian.
belum juga motor yang di kendarai Sasa tiba di rumah, sebuah tragedi menimpanya. motor jenis bebek yang di kendarainya di hantam sebuah mobil yang melaju cukup kencang.

Ciittttt.... Brakkkk...
Suara rem dan hantaman antara dua benda yang cukup keras memekakkan telinga sore itu. spontan warga yang sedang berada di pinggir jalan langsung menghampiri lokasi kejadian dan memberikan pertolongan kepada korban. hingga suara sirine ambulance terdengar membawa korban menuju rumah sakit terdekat.
Dara sebagai sahabat Sasa yang paling akrab dengan setia menunggunya sadar, karena hingga saat ini Sasa belum membuka matanya semenjak kejadian itu, namun sesekali terdengan suara keluar dari bibirnya yang tipis memanggil salah seorang nama.. "Kak Dimas."

Di tempat yang berbeda sedang di langsungkan sebuah prosesi akad pernikahan, yang tak lain adalah Dimas dengan Adelia, karena bebera waktu yang lalu Adelia mau menerima cinta Dimas lagi.

"Sialan tu Dimas, bisa-bisanya dia menggelar acara pernikahan setelah tahu Sasa terbaring di rumah sakit." umpat Romi waktu berada di loby rumah sakit.
"Iya, kasihan sekali Sasa, setiap hari dia selalu menanyakan Dimas." jawab Dara menanggapi emosi Romi.
"Aku akan memberikan ini kepada Sasa." kata Romi seraya mengacungkan boneka dan seikat bunga.
"Untuk apa?" tanya Dara yang tidak menegerti maksud Romi melakukan hal itu.
"Lihat saja nanti."
Tidak lama kemudian terdengar suara pintu terbuka, terlihat Romi dan dara memasuki ruangan tempat Sasa di rawat.
"Gimana, sudah dapat kabar tentang Kak Dimas?" tanya Sasa begitu tahu siapa yang datang.
"Sudah." jawab Romi singkat.
"Lalu mana Kak Dimas nya? kok nggak di ajak kesini buat jenguk aku?"
"Dimas sedang ada urusan di luar kota, dia cuma menitipkan ini, dia titip pesan semoga kamu lekas sembuh." kata Romi berbohong, sambil menyerahkan boneka dang bunga yang dia beli, bagaimanapun juga mereka tidak mau Sasa tahu tentang keadaan Dimas yang sebenarnya kalau sudah menikah, Romi nggak mau ngelihat sasa sakit hati lagi, ditambah kondisi Sasa yang sekarang masih terbaring di rumah sakit.
"Ihh,,, lucu sekali bonekanya, Kak Dimas tahu aja kalo aku suka boneka beruang." seulas senyum terlihat dari wajah Sasa memperlihatkan lesung puipit di kedua pipinya.
Dan kejadian ini terus berulang, Romi selalu memberikan barang atau makanan kesukaan Sasa dengan mengatakan itu titipan dari Dimas.

"Eh, sampai kapan kamu akan membohongi Sasa seperti ini?" kata Dara sore itu sepulang kuliah.
"Entahlah." jawab Romi ragu.
"Kamu tahukan apa akibat dari semua ini?"
"Ya aku tahu, Sasa akan terus hidup dalam harapan cinta palsu Dimas."
"Lalu kenapa kamu nggak bilang yang sesungguhnya saja kepada Sasa?"
"Sejujurnya aku juga bingung, aku nggak punya pilihan lain, aku nggak mau ngelihat dia menangis lagi kalau sampai Sasa tahu yang sesungguhnya, tapi aku juga sudah cukup bahagia dengan melihat senyum di bibirnya."
"Jangan bilang kalau kamu menyukai Sasa?" tebak Dara.
"Ya,,, jujur aku akui kalau aku menyukai Sasa, aku nggak tahu sejak kapan perasaan itu hadir.
Dara seolah tak percaya atas apa yang di ucapkan Romi barusan.

"Andai kamu tahu yang sesungguhnya, bahwa aku juga memiliki perasaan yang sama denganmu Rom." kata Dara dalam hati.
Sinar sang surya pagi masuk menembus melalui jendela kamar Sasa di rawat, sudah dua bulan lamanya Sasa berada di ruangan ini.
Sesekali terdengar suara kicauan burung di luar sana menambah suasana pagi ini begitu indah, berbanding lurus dengan hati Sasa, karena kata Dokter hari ini Sasa sudah di perbolehkan pulang. Sasa rindu suasana kamar kost, rindu saat-saat bercanda dengan Dara, saling lempar bantal.
Saat ini Dara dan Romi sedang packing barang-barang Sasa, dan bersiap untuk pulang.
"Kak Dimas kok nggak datang ya buat menyambut kepulanganku?" celetuk Sasa.
"Ehh,, mungkin dia masih ada urusan sama pekerjaannya." jawab Dara kaget mendapat pertanyaan yang tiba-tiba dari Sasa, sama kagetnya dengan Romi.

Terdengar suara gagang pintu di tarik, dan terlihat Sosok Sasa, Dara juga Romi memasuki kamar kost itu. Aroma parfume langsung berebut memasuki rongga hidung ketiganya.
"Wah sudah lama sekali ya aku nggak masuk ke kamar ini." komentar Sasa saat dirinya merebahkan tubuh sexy-nya.
"Pasti kangen banget ya Sa?"
"Iya Rom, kangen banget, nggak ada yang berubah selama aku dirawat." komentar Sasa lagi.
"Eh, tapi apa itu?" tunjuk Sasa ke arah meja belajarnya. Dara dan Romi ikut melihat ke arah yang di tunjuk Sasa.
Degg...
Jantung kedua shabat Sasa ini terasa berhenti berdetak. Belum sempat keduanya menyembunyikan benda itu, Sasa sudah lebih dulu menghampirinya.
"Undangan pernikahan dari siapa ini?"
"untuk Sasa dan Dara" Sasa  membaca tulisan yang ada cover undangan tersebut. Bola matanya bergerak turun mengikuti setiap kalimat yang dibacanya.
"Adelia dan Dimas Prasetyo." suara Sasa terdengar begitu lirih. Tanpa dia sadari surat undangan yang tadi dibacanya jatuh ke lantai.
"Tolong jelaskan maksud dari semua ini!"
"Eh.. Itu anu Sa... Anu..." kata Dara gelagapan.
"Kenapa kalian tega melakukan ini kepadaku?"
"kami cuma nggak mau lihat kamu sedih lagi Sa kalau tahu yang sebenarnya." jelas Romi setenang mungkin, meskipun ia sama kagetnya dengan Dara.
"Dan kenyataannya sekarang aku lebih sedih lagi, karena sahabat-sahabat yang begitu aku percaya tega membohongiku."
"Bukan itu maksud kami Sa, kami cuma" Dara tidak lagi melanjutkan kata-katanya.
"Cukup, untuk saat ini aku sedang pengen sendiri, jadi bila kalian sudah tidak ada lagi kepentingan di kamar ini, aku mohon kalian segera keluar!" kata Sasa tercekat menahan tangis.
Romi berlalu meninggalkan kamar itu setelah dia menyikut lengan Dara.
"Mungkin Sasa butuh waktu untuk bisa menerima semua ini, biarkan saja dia sendiri dulu!" kata Romi stelah berada di luar kamar Sasa.
"Mungkin..."

Di tempat lain.
"Aku nggak mengerti dengan sikap kamu Del."
"Maksudnya?"
"Ya... Selama kita sudah menjadi pasangan suami-istri, tak pernah sekalipun kamu menunjukan sikapmu layaknya seorang istri kepada suaminya, kamu selalu berfoya-foya, dan lebih sering nghabiskan waktumu di luar sana."
"Kamu menyadarinya juga ya."
"Apa maksud kamu?"
"Kamu salah kalau berpikiran aku balikan dan menikah denganmu karena cinta."
"Lalu?"
"Selama ini aku cuma menginginkan hartamu saja Dimas." jelas Adelia tanpa rasa malu lagi.
"Apa??? Ternyata sifat kamu dari dulu nggak pernah berubah, nyesel aku menikah denganmu."
"Lalu mau kamu apa?"
"Cerai... Kita bercerai."
"Ok... Tapi jangan lupa sol harta gono-gini."
"Terserah, kamu bisa urus itu dengan pengacaraku nanti." kata Dimas penuh emosi dengan rahang mengembung dan berlalu meninggalkan Adelia sendirian di rumah yang cukup mewah tersebut.
"Dimas........."

Dimas pergi tak tentu arah, dia hanya mengikuti kemana arah hatinya, dan tiba-tiba saja dia sudah berada di halaman rumah kost Sasa, kebetulan di sana ada Dara dan Romi.

"Hey... Mau apa lagi kamu datang kemari? Belum puaskah kamu membuat Sasa menderita?" bentak Romi sambil tangan kirinya mencengkeram kerah baju Dimas dan tangan kanannya mengepal siap mengirimkan pukulan.
"Romi... Kendalikan emosimu!" teriak Dara.
Dimas diam tak melawan, dia menyadari kesalahannya hingga temam Sasa ini begitu bernafsu untuk menghabisinya.
"Ada apa sih kok ribut-ribut?" kata suara di balik pintu.

"Ka... Kamu, Kak Dimas? Ini bukan mimpi, tapi mau apa dia datang kemari?"
"Aku mau minta maaf Sa." kata Dimas seolah bisa membaca isi hati Sasa.
"Bisakah kita bicara, empat mata saja." kata Dimas lagi.
Tak ada jawaban dari Sasa, dia hanya pandangi kedua sahabatnya itu, yang dipandangi pun seolah paham apa yang harus mereka lakukan, mereka berlalu meninggalkan Sasa dan Dimas di sana. "Aku mau minta maaf Sa." kata Dimas lagi. "Aku udah memaafkannya, jauh hari sebelum Kakak memintanya." "Makasih." "Tapi semuanya sudah terlambat Kak." "Apa maksudmu Sa?" "Jangan kak Dimas pikir aku nggak tahu mengenai pernikahan Kak Dimas dengan Adelia, wanita pujaan Kak Dimas itu." "Itu nggak salah Sa." "Lalu?" "Aku cuma mau tanya, apakah tawaranmu waktu itu masih berlaku?" "Tawaran apa?" "Tawaran akan selalu menungguku sampai hati ini terbuka." kata Dimas sambil menunjuk tepat di dadanya denga jari telunjuk. "Lalu Adelia? Jangan Kak Dimas pikir karena aku sangan mencintai Kak Dimas, jadi aku mau istri kedua." "Aku akan menceraikannya." kata Dimas datar. "Ternyata selam ini aku salah menilai Adelia, dia cuma menginginkan hartaku, tidak benar-benar cinta." jelas Dimas lagi. Dirasakan oleh Sasa, tangan.Dimas yang kekar menyentuh pundaknya lalu meluknya. "Ternyata aku bodoh Sa, selalu mencari cinta, ternyata Cinta sejati itu ada di depanku" bisik Dimas tepat di telinga Sasa. "Semoga dia orang yang tepat buat kamu Sa, yang selalu membuat kamu tersenyum bahagia. Aku sudah cukup bahagia melihatmu tersenyum" kata Romi lirih di kejauhan. Di belakang Romi terlihat mata Dara berkaca-kaca menahan agar butiran bening itu tidak menjadi anak sungai yang mebanjiri pipinya mendengar apa yang di ucapkan lelaki di depannya. ~~~Percaya atau tidak, Cinta Sejati akan mencari jalanya untuk menemukan orang yang pantas untuk mengdapatkannya~~~

No comments:

Post a Comment