Pages - Menu

Wednesday, December 31, 2014

Happy New Year 2015



  Nggak terasa sudah di penghujung tahun, bukan lagi dalam hitungan hari ataupun Jam, tapi dalam hitungan menit. Perasaan baru kemarin telinga ini serasa tuli mendengar berbagai suara petasan dan terompet menyambut tahun baru 2014.
   Kalau tahun kemarin merayakannya bersama teman-teman, meskipun cuma nongkrong dan bergadang menanti pergantian tahun, penghujung tahun kali ini berbeda.
   Berbeda??? Yups... ada Istri dan keluarga baru. Dan kali ini pun nggak lagi di Tasikmalaya. tapi di Cirebon. keliling Cirebon di malam Tahun Baru. kalau orang sini sih nyebutnya "Muludan" tempatnya di kasepuhan.
   Ahhh,,, apalah itu nama dan tempatnya. nggak penting. Yang lebih penting, Tahun baru suasana baru. Keluarga baru (Nambah kalieeee....) kalau Istri boleh baru nggak yah??? hahahahaa... satu aja nggak habis kok. :v :v
   

   Mari kita hitung mundur....!!!!!
   Tiga....
   Dua...
   satu...
   Treeeeeeeeeeeeeeetttttttttttttt............ Duaaaaarr..... Duaaaarrr.... (Ekspresinya mana????) 

   Happy New Year 2015. Begitulah kata orang-orang bule. aku juga cuma ikut-ikutan, mungkin kalau diartikan dalam bahasa gaul anak-anak alay "Meud Taon Anyar 2015". begitu mungkin ya?? hahahaha...

   Lalu do'anya mana??? (Bacanya sambil merem ya!!!)

   Selamat Tahun Baru 2015
   Semoga menjadi lebih baik
   Menjadi lebih bermanfaat 
   Menjadi lebih bermakna bagi semua


   Banyak kenangan manis dan pahit di tahun 2014 lalu
   Smoga di 2014 kenangan yang manis menjadi motivasi tahun 2015.
   Sukses Selalu untuk semua pemirsa di Indonesia
   Ada Cerita, Ada Kata , So Pasti Ada Cinta pula.

   HAPPY NEW YEAR 2015.....

*Berdoa menurut kepercayaan masing-masing saja ya! yang penting tujuannya sama, biar kedepannya lebih baik. aamiin...........

Tuesday, October 28, 2014

Mencintaimu Cukup Bagiku




“Gabriel.. ayo!”

Waktunya tiba, perempuan paruh baya itu sudah memanggilku. Aku tak punya alasan lagi untuk berkata ‘tidak’.

Kupandangi pintu lobi itu, entah untuk yang keberapa kali. Disana ada seorang penjaga, masih dengan kesibukan yang sama.

Perempuan paruh baya yang memanggilku tadi, yang tak lain adalah ibuku. Ia mengecek barang-barang. Ia menenteng satu koper besar, bersiap menggeretnya.

“Iel, kamu bawa yang ini!!.” Perintahnya. Ia menyisakan sebuah tas besar penuh isi. Aku tak tahu apa isinya. Bukankah sejak awal aku tak tahu barang apa saja yang kami bawa. Mmm.. bukan kami, dia tepatnya. Ibuku. Aku tak sedikitpun andil dalam mengemasi barang-barang, karena sejak awal pula, aku enggan pergi. Aku meraih tas besar yang dimaksud sebelum ibuku berteriak lagi. Suara yang berusaha keras untuk kuabaikan.
Sudah kubilang padanya tak perlu membawa barang banyak-banyak. Tapi tetap saja, ia yang menang, apalagi alasan yang sungguh masuk akal. Kami akan pergi dan takkan kembali. Jadi wajar bukan jika membawa seluruh barang yang ada. Bagiku tetap saja berlebihan.

“Jangan sampai ada yang tertinggal!! Itu, koper kecil itu dibawa sekalian Yel!. Isinya surat-surat sekolah kamu.” Ujarnya lagi.
“Ayoo!.” Ia sudah melangkah lebih dulu.

Sekali lagi, aku menatap pintu lobi, berharap disana ada seorang gadis berdebat dengan petugas penjaga karena memaksa masuk seperti di film-film.

Tapi mataku tak melihat apa-apa. Aku bahkan bisa menyebut tak melihat siapapun. Karna tak ada yang ingin kulihat saat ini kecuali gadis itu.

“Gabriel….” Erang ibuku. Ia sudah berjarak 7 meter dariku. Aku bisa melihatnya kesal. Bisa saja ia kembali kesini dan menjewer salah satu telingaku agar aku ikut berjalan dengannya. Tapi ia tak mungkin melakukan itu, umurku 18 tahun. Apalagi kami sedang di bandara. Dan satu lagi kenapa ia tidak akan meluapkan kekesalannya dalam bentuk lain, karna toh aku sudah mau ikut pergi. Pergi meninggalkan kota ini. Negara ini dan gadis itu. Gadis yang bukan gadisku.

Aku mengecek sekitaran tempat duduk. Sebenarnya aku juga tidak begitu peduli kalaupun ada yang tertinggal. Aku hanya sedang tidak ingin menambah situasi menjadi rumit.

“Gabriel, ayo! Nanti kita ketinggalan pesawat.” Ocehnya lagi.

Aku menatapnya pasrah. Tak tega juga terus-terusan membuatnya mengomel begitu.

Oke,, aku pergi. Selamat Bu, karena sekarang aku berada penuh dalam kendalimu.

Aku melangkahkan kaki menuju dimana Ibuku berdiri namun belum sempat aku sampai padanya, ia sudah berjalan lagi. Sepertinya ia tak tahan lagi menunggu langkahku. Yang penting dalam penglihatannya aku sudah mau berjalan. Langkahku terasa berat. Ada rantai dengan bola besi yang mengikat kakiku. Dan benda-benda itu tak kasat mata.

Melihat reaksinya, aku hanya bisa menghembuskan nafas panjang. Kepalaku tertunduk seolah merasakan aku telah kalah. Membuat ubin-ubin penyusun lantai ruangan ini terlihat jelas oleh mataku.

Aku juga bisa menangkap kedua tanganku yang menenteng tas besar disebelah kanan serta koper berukuran sedang disebelah kiri. Pearasaan malasku semakin muncul, rasanya ingin sekali aku berbalik, kemudian berlari kencang, melempar dua benda ditanganku ini tanpa memperdulikannya dan kabur dari tempat ini. Tapi tidak, aku tak melakukannya. Jika setahun bahkan seminggu yang lalu aku masih punya alasan untuk menolak ajakannya bahkan sekedar menunda bersekolah di Pert dan berkumpul lagi dengan ayahku, sekarang aku tidak punya alasan lagi untuk melakukannya. Bahkan semua telah berbalik, mungkin sebaiknya memang aku pergi. Aku ingin pergi. Hmm,.. bukan aku tak ingin, tapi aku harus. Akhh.. entahlah aku sudah tak tahu lagi.

“Gabriel.” Teriak seorang wanita lagi, cukup samar. Tapi aku tahu itu suara wanita.

Aku hampir mengumpat tertahan. Kukira itu ibuku. Tapi sedetik kemudian aku tersadar, itu bukan suara ibuku. Aku mendongak, didepan sana kudapati ibuku masih berjalan, tampaknya ia tak mendengar ada yang menyebut namaku, atau bahkan memanggilku dengan sengaja.

“Gabriel.”

Lagi. Suara itu?

Aku menoleh cepat. Belum sempat aku melempar pandangan, seseorang menubruk tubuhku dan melingkarkan kedua tangannya, memelukku erat. Aku hampir saja jatuh kebelakang, tapi tubuh orang ini tidak cukup untuk merobohkan pertahananku.

Mataku bertemu pada dua buah kornea hitam didepan sana. Ia menatapku tajam, gerahamnya yang kuat seolah berperang dengan kendalinya sendiri. Detik berikutnya matanya berkedip, tatapannya berubah tak setajam tadi. Nafasnya berhembus kasar. Pria itu berdiri seolah memberi jarak. Tentu saja ia menunggu disana dihadapanku dan seseorang yang memelukku ini sekitar 5 meter. Ia membiarkan lalu lalang orang menghalangi pandangannya.

Dengan menghiraukan tatapan pria itu, aku membalas pelukannya. Membiarkan rinduku bersemayam detik ini, dan aku berharap waktu berhenti sekarang juga.

Siapapun, hentikan waktu sekarang juga!!!

Ia membenamkan wajahnya didadaku dan aku membenamkan wajahku dilehernya. Posturku yang lebih tinggi membuatku memaksakan ini. Tak apa. Yang penting aku sangat nyaman. Untuk saat ini.

Biarkan saja orang-orang melihatku dengan tatapan aneh termasuk pria itu. Biarkan saja, ibuku mengomel lagi karna aku tak kunjung menyusulnya. Biarkan saja detak jantungku beradu dengan aliran darahku yang deras. Biarkan saja keringatku mengucur karna rasa gugupku yang terlalu hebat. Dan kumohon biarkan saja, gadis ini tetap memelukku seperti ini.

***


“Vi, buruaann!!!.” Teriakku didepan gerbang rumah.
“Iya..” jawabnya.

Silvia masih sibuk mengikat tali sepatunya diteras rumah. Sedangkan aku sudah gelisah menunggunya sambil sesekali melirik kearah matahari.

Aku memang tidak suka memakai jam tangan dan dengan melihat bagaimana cahaya matahari saja aku sudah tahu jam berapa sekarang. Silvia berlari keluar gerbang rumahnya yang berjarak 3 langkah saja dari tempatku berdiri. Rumah kami memang bersebelahan tanpa penghalang apapun. Kecuali tembok tentunya.

“Ayoo!!.” Aku menggamit lengannya.

Kami mengambil langkah lebar menuju halte depan gapura kompleks. Aku masih menggandeng Silvia, gadis ini akan semakin tertinggal kalau kulepaskan.

“Aduh Iyel, kaki kamu panjang banget sih? Aku jadi lari-lari nih.” Eluh Silvia. Ia tertinggal satu langkah dariku.
“kalo nggak gini nanti kita ketinggalan bis yang biasanya. Nah itu dia bisnya.” Ucapku.

Aku melihat bis itu berhenti di halte. Beberapa anak berseragam smp maupun sma naik, dua orang berseragam rapi akan ke kantor juga ikut naik. Bis itu nampak akan segera berangkat lagi. Sialnya kami belum sampai di gapura apalagi menyebrang ke halte itu.

“ Ayo Vi!.” Ajakku.

Kini kami tidak berjalan lagi. Aku berlari dan Silvia, ia semakin berlari ketika menyadari bis itu akan segera meninggalkan kami.


“Tunggu paakk!!.” Teriakku keras.

Aku berharap sopir itu mendengarnya. Atau kalau tidak, kondekturnya, atau beberapa penumpanglah minimal.

“Pak stop Pak!” Teriak Silvia kali ini. kami masih berlari mengejar bis itu yang mulai berjalan lagi. Silvia dan aku sudah berhasil menyebrang, sayangnya bis itu sudah berjalan ketika kami sampai di halte.

Aku menambah kecepatan berlari, tanpa sadar tanganku masih menggandeng Silvia. Gadis itu bersusah payah mengikuti kecepatan lariku. Cara berlarinya membuatnya mulai kehilangan keseimbangan.

Buuggg..

Tanganku tertarik kebawah. Aku hampir saja terjatuh karena itu. Ketika aku menoleh, silvia sudah tersungkur dijalan aspal.

“silvia..” pekikku menyadari gadis ini terjatuh.

Posisinya parah sekali untuk dilihat. Apalagi sebelah tangannya yang masih kugenggam membuatnya tak bisa menahan tubuhnya agar tak terbentur aspal.

“Aduuhh..” erangnya. Ia duduk diatas aspal yang membuatnya mengerang kesakitan. Lutunya ditekuk, menampakkan sebuah luka lebar menganga disana. Mataku membelalak, darah merah mulai mengalir dari lukanya.

“Sakit Yel.” Lanjutnya

Aku ikut berjongkok didepannya, awalnya aku bingung harus melakukan apa kecuali, aku membuka resleting tas ranselku. Syukurlah, ada sapu tanganku didalamnya.

“Pakai ini dulu yah, nanti disekolah aku obatin.” Ucapku meyakinkan.

Silvia mengangguk. Kubalutkan sapu tangan putihku di lututnya. Bercak merah mulai tampak disapu tanganku itu.

“hey.. jadi naik nggak???” teriak seseorang dibalik punggungku. Aku menoleh kaget.

Seorang kondektur berdiri disamping pintu belakang bis yang sedang berhenti. Seorang pria berseragam sekolah berjalan menghampiri.

“Jadi Pak, tunggu sebentar.” Ucap pria itu sambil terus berjalan kearah kami.
“Iel?.” Ucapnya.
“Alvin?.” Ucapku.
“kalian nggak pa-pa kan?” tanyanya kemudian setelah menyadari posisi kami yang terduduk dijalanan aspal.
“Ayo, keburu bisnya nggak mau nunggu!” Ucapnya lagi.

Aku menoleh pada Silvia, ia masih meringis kesakitan. Aku bisa melihat sebenarnya ia hampir menangis. Tapi tak jadi, mungkin karna ada orang lain disini sekarang.

“masih bisa kan Vi?.” Tanyaku

Silvia mengangguk pasrah. Aku membantunya berdiri dan memapahnya menuju bis yang sopirnya sudah menekan klakson berkali-kali serta beberapa penumpang yang menunggu kami tak sabar.

Bis ini cukup penuh, sudah tak ada tempat duduk yang tersisa. Bahkan sudah ada beberapa orang yang berdiri saat kami naik. Aku menatap Silvia prihatin, peluh keluar dari dahi serta bagian kulit wajahnya yang halus. Sementara kakinya, ia pasti sangat kesakitan jika terus berdiri. Bagaimana mungkin aku tega melihatnya begini?

Tiba-tiba Alvin melepas ransel dari punggungnya lalu meletakkannya dilantai bis. Ia menepuk-nepuk ranselnya lalu memandang kearah Silvia. Ia berjongkok didepan kami. Keningku mengerut melihatnya.
Kami masih berada didekat pintu belakang. Silvia tak sanggup berjalan lagi untuk sekedar masuk ketengah-tengah bis.

“Duduk disini, isinya cuma buku aja kok.” Ucapnya yakin sedikit mendongak. Aku melongo cukup kaget atas perilakunya. Aku bahkan tak sampai berfikiran seperti itu. Silvia menoleh kearahku ragu, aku mau tak mau mengangguk. Aku tak ingin membiarkannya semakin tersiksa dengan berdiri dalam keadaan lutut yang luka.

Aku sempat merutuki diriku sendiri kenapa tak bisa berfikir sekreatif alvin. Tapi sudahlah yang terpenting Silvia bisa duduk sekarang yah meskipun akan terlihat seperti dilantai bis. Aku berjongkok disampingnya.

Hampir semua pandangan penumpang mengarah pada kami bertiga.

“Thanks ya Vin.” Ucapku. Alvin mengangguk saja menimpali.
“Oh ya Vi, kenalin ini Alvin temen SMP-ku dulu.” Ucapku. Silvia memandang Alvin lama, Alvin menunjukkan senyumnya.

“Alvin.” Ucap temanku itu sambil menyodorkan telapaknya.
“Silvia.” Ucap gadis ini menyambut jabatan tangan Alvin.
“Makasih ya.” Tambah Silvia.

Alvin mengangguk seraya tersenyum lagi. Jabatan tangan itu masih terjadi. Entah kenapa tiba-tiba saja hatiku terasa sangat perih. Aku seperti merasa akan kehilangan.

Sejak pertemuan di bis itu, Silvia dan Alvin semakin dekat. Awalnya aku tak mempermasalahkan hal itu. Aku cukup tau Alvin. Tiga tahun aku duduk sebangku dengan pria itu. Ia pria yang baik. Tapi aku sadar kedekatan mereka lebih. Bahkan hingga hari ketujuh setelah perkenalan mereka, aku tak tahu sedekat apalagi mereka. Aku sering melihat Alvin datang kemari, kerumah sebelah, tepatnya rumah silvia. Aku juga sempat melihat Alvin mengantar silvia pulang kemarin.

Silvia mulai agak menjauh dariku. Mmm..bukan. tapi jarak kami yang sedikit mulai menjauh. Aku memang masih berangkat bersamanya, tapi didalam bis, selalu sudah ada Alvin dan saat itulah aku seperti sulit untuk masuk dalam dunia Silvia, dunia mereka. Keduanya sering tak sadar, aku berada didalam bis yang sama dengan mereka.

Entah sejak kapan Alvin jadi suka naik bis, karna seingatku dulu ia tak suka naik transportasi umum. Mungkin hari itu kebetulan Alvin terpaksa naik bus dan mulai hari itu pula ia selalu naik bus hingga kami selalu bertemu. Tepatnya Silvia dan Alvin selalu bertemu. Aku tahu aku sudah merasakan rasa yang tak wajar. Perasaan yang tak baik untuk tetap ada. Aku merasakan iri melihat kedekatan mereka, aku merasa sakit hati melihat mereka berdua mengobrol, bercanda, tertawa bahkan Alvin pernah menolong Silvia yang hampir jatuh dari pintu bis yang belum sepernuhnya berhenti.

Aku merasa posisiku dulu sudah tergantikan. Seperti saat ini, aku hendak mengajaknya pergi.

“Hey Vi. Mmm... aku ada tanding futsal nih, kamu nonton yah?. Emm masih sparring aja sih sebenernya, tapi kamu mau nonton kan?” tanyaku

Ia berpakaian cukup rapi. Semoga saja ini waktu yang tepat untuk mengajaknya pergi agar kedekatan kami yang sempat merenggang selama seminggu ini bisa kembali seperti dulu.

“Ehmm… sorry Yel, tapi aku ada janji mau nonton pertandingan basket Alvin. Kamu cuma sparring kan? Lain kali aja yah, kalo kamu tanding beneran aku bakal nonton kok. Ga pa-pa yah?.” Silvia menatapku tak enak hati.

Begitulah jawaban ia menolak ajakanku. Sesungguhnya aku lebih memilih dia berbohong saja daripada berkata jujur begini. Sakit sekali rasanya mendengar ia akan pergi menonton pertandingan basket Alvin, orang yang baru dikenalnya sekitar seminggu ini daripada pertandinganku sahabatnya sejak tiga tahun lalu.
“Ya sudah nggak pa-apa kok.” Ucapku tak ikhlas.

Mungkin benar istilah orang-orang yg berkata
Dibalik “cie” ada kecemburuan
Dibalik “gpp” ada masalah
Dibalij “terserah” ada keinginan
Dan dibalik “yaudah” ada kekecewaan.
 Benar!! aku tengah kecewa sekarang.

“Oke.. bye Iyel.” Pamitnya

Aku memandang punggungnya bergerak melewati gerbang. Ternyata itu alasan ia berpakaian rapi sore ini. Dengan sadar aku berjalan kembali memasuki rumah.

“Loh kenapa balik Yel?.” Tanya ibuku.
“Nggak jadi pergi Ma.” Ucapku malas.

Aku duduk di sofa ruang tengah, melempar asal tas berisi perlengkapan futsalku.

“Kok gitu, katanya mau tanding?.” Tanya beliau lagi.
“Pertandingannya nggak penting kok.” Ucapku berusaha santai.

Aku bisa melihat kening ibuku mengerut. Seolah berfikir aneh sekali dengan sikapku. Benar saja, aku tak pernah melewatkan satu latihanpun dari futsal, jadi bagaimana mungkin aku bisa dengan santai berkata ‘ pertandingan futsalku tidak penting’ itu sangat aneh menurut beliau pasti. Dan aku tidak memungkirinya.

“Terus gimana Yel sama tawaran mama tadi? Kamu ikut kan? Sebentar lagi kenaikan kelas loh Yel.”
“Aku uda bilang berapa kali sih sama Mama. Aku nggak mau pindah ke Australia. Kalo mama mau pergi kesana ya kesana aja!. Iel ga apa-apa kok sendirian.” Jelasku.

Perasaanku semakin bertambah buruk saja sekarang.

“Sendirian? Kamu pikir mama mau tinggalin kamu sendirian disini?.”
“Mama nggak percaya sama aku? Aku bakal baik-baik aja kok. Aku uda gede. Aku tau mana yang baik dan enggak. Lagian disini juga ada...”

“Ada siapa? Silvia?” potong ibuku
Ia menatapku tajam. Aku membalas tatapannya enggan.
“Sampai kapan kamu mau ngandelin dia? Minta bantuan dia apa-apa kalo mama gak ada? Memangnya dia nggak kerepotan apa?.” Tanya ibuku bertubi-tubi.

Benarkah? Apa benar ucapan ibuku? Apa benar aku merepotkan Silvia?

Selama ini aku selalu mengandalkannya memang. Ia memasakkan makanan untukku ketika ibu harus pulang malam bekerja. Ia membantuku mmembersihkan rumah yang berantakan ketika aku sibuk bermain futsal. Benar, mungkin aku memang terlalu merepotkan.

“Iel ngerepotin Silvia ya ma?” ucapku pelan.


***


Hari ini, aku tidak berangkat dengan Silvia. Aku masih kepikiran ucapan mama, apa benar aku merepotkan gadis itu?.

Aku berangkat agak siang. Aku yakin Silvia juga tak akan menungguku, toh didepan sana sudah ada Alvin yang siap didalam bis langganan kami. Sudah ada pria yang menjaganya. Tapi apakah aku rela membiarkannya? Menggantikan posisiku menjaga Silvia?  Aku bahkan memberinya ruang gerak pagi ini.
Tidak!!!. Pria itu, Alvin, ia tak pernah tahu bagaimana aku menjaga gadis itu selama ini. Ia tak pernah tahu bagaimana aku jatuh bangun mengejar Silvia. Dan satu hal yang harus dia tau, semua tak akan mudah. aku tidak akan melepas Silvia. Aku tak akan melepaskan Silvia demi apapun. Kecuali Silvia yang memintanya. Gadis itu yang belum menjadi gadisku.

Aku beranjak dari sofa. Aku sudah selesai mengikat tali sepatu sejak tadi sebenarnya, tapi karna fikiran bodohku itu aku jadi melamun saja membiarkan waktu meninggalkanku sendiri tanpa Silvia.

Hari ini, tepat dua bulan setelah kejadian dalam bis itu. Hari ini juga pembagian rapor kenaikan kelas. Aku sudah menerima raporku sejak tadi. Setelah itu, Aku menunggu kedatangan Silvia ditaman sekolah. Ingin sekali kutunjukkan padanya bahwa raporku semester ini amatlah sangat membanggakan. Aku tak peduli jika ibuku menungguku dirumah, menanti bagaimana hasil belajarku selama ini. Yang terpenting sekarang adalah aku ingin menunjukkannya dulu pada Silvia. Dia gadis pertama yang ingin kuberi tahu.

Dulu aku pernah berjanji pada diriku sendiri, aku akan menjadi yang terbaik dikelas. Dan ketika itu bisa terjadi, akan kuungkapkan perasaanku padanya. Akan kunyatakan rasa yang kumiliki ini. Akan kujelaskan betapa ia begitu berharga dalam hidupku. Dan inilah waktunya.

Menunggu Silvia membuatku jadi gugup sendiri, jantungku berdegup kencang. Sekalipun aku sudah menghembuskan nafas menenangkan berkali-kali tetap saja tak berhasil. Aku gusar, menantinya dan menanti ucapanku sendiri.

Tak lama gadis itu datang, ia tersenyum. Senyum yang selalu kubayangkan kembali sebelum tertidur saat malam. Ia berjalan tenang, tapi bisa kulihat ia sangat senang sekali. mungkin ia mendapat nilai bagus atau kabar gembira yang lain. Semoga dengan pernyataanku nanti aku bisa menambah bahagianya hari ini.

“Hay Vi... aku mau ngomong sama kamu.” Ucapku mengawali.

Aku berusaha keras menyembunyikan rasa gugupku. Okeeh aku memang tidak berpengalaman, tapi kuharap aku bisa melakukannya.

“Aku juga mau ngomong sama kamu yel.” Ucapnya sangat sumringah. Sungguh dengan mata terpejamkupun aku bisa melihat kebahagiaan terpancar dimatanya.
“Oh yaudah kamu duluan deh yang ngomong. Ladies first.” Ucapku sok-sok’an. Silvia tertawa lebar.
“Oke, yang pertama nilaiku diatas 8,5 semua yel. Yeee...” ucapnya semangat. Ia sempat melompat-lompat kegirangan.
“Wahh... bagus tuh. Kayaknya aku bakal dapet traktiran deh.” Ucapku berbasa-basi. Ia berhenti melompat.
“Ehmm.. nggak itu aja. Itu masih biasa kok. Mmm kamu tau gak...apa yang bikin aku lebih seneng?.”

Sivia menunjukkan ekspresi paling menggemaskan yang ia punya. Jantungku berdegup semakin cepat. Ya Tuhan,, itulah salah satu alasan mengapa aku sangat merindukannya setiap detik. Aku menggeleng pelan.

“Alvin nembak aku yel, kita udah jadian tadi pagi. Yee...” ucapnya girang lagi.

DEGG...
Hening...
Bukan,, bukan karna Silvia tak bersuara lagi, Dia masih lompat kegirangan. Tapi telingaku, telingaku seolah baru saja tersambar petir sehingga membuatnya tak bisa mendengar apapun lagi. Aku sudah tak bisa merasakan apapun lagi. Jantungku berhenti berdetak mungkin. Darahku berhenti mengalir. Nafasku tercekat ditenggorokan.

Mataku tak berkedip. Aku menatapnya nanar. Apa benar yang baru kudengar? Tuhan, silahkan ambil nyawaku sekarang.

“Kamu kenapa yel? nggak seneng yah?.” Ucap Silvia sedih menyadari aku yang tak bereaksi apa-apa.

Aku menggeleng lemah. Aku masih bertahan dengan sisa nafas yang belum kuhembuskan sebelum dia berucap tadi. Kubiarkan saja paru-paruku tak terisi oksigen. Biar, biar aku bisa merasakan sakit pada paru-paruku. Dengan begitu mungkin aku bisa menutupi rasa sakit pada hatiku.

“Yel, Kamu kenapa?. Rapot kamu baguskan?. Kamu naik kelas kan?.”

Aku mengangguk lemah. Sungguh, aku tak bermaksud untuk tak menjawab pertanyaannya. Tapi rasanya suaraku sudah diambil Tuhan.

“Beneran yel?. Atau Kamu sakit yah? Muka kamu kok tiba-tiba pucat?”

Mataku menatapnya nanar lagi. Benarkah wajahku berubah pucat. Oh mungkin karna aku baru tersambar petir. Suaraku sudah diambil Tuhan. Pendengaranku juga. Mungkin sebentar lagi nafasku. Jadi pantas saja kalau aku pucat.

“Aku anter kamu pulang deh ya. Makan-makannya lain kali aja.” Ucapnya.

Kamu benar. Mana mungkin aku bisa makan. Bernafaspun aku sudah tak berniat. Aku mengurung diriku di kamar. Membenamkan wajahku pada tempat tidurku sendiri. Ibuku sempat panic melihatku yang pucat pasi. Setibanya tadi, ia langsung mengecek raporku, barangkali nilai disana yang membuatku begini. Andai aku bisa menjerit, bukan. Bukan itu.

Hari sudah malam, aku bisa melihatnya lewat kaca jendela kamar yang masih terbuka tirainya. Tadi sebelum aku tertidur, aku berifikir. Sesuatu yang mungkin terbaik dan membiarkan aku jadi seorang pengecut. tapi aku lebih baik jadi pengecut daripada mengusik kebahagiannya.

Aku turun menemui ibuku yang berada diruang tengah. Ia menyambutku hangat. Meski tak tahu apa yang sedang terjadi padaku.

“Kamu makan ya nak. Mama ambilin.” Ucapnya.
“Iel mau ngomong Mah.”

Ibuku berhenti melangkah, mendengar nada suaraku yang serius. Beliau duduk kembali.

“Apa?.”
“Mah, Iel bersedia sekolah di Australia.” Ucapku parau. Aku menghembuskan nafas berat. Susah sekali aku mengucapkan itu.
“Kenapa?.”
“Mama gak perlu tahu alasannya. Yang penting Iel bersedia berangkat ke sana.” Ucapku
“Tapi... Baiklah kalau begitu, Kapan?.” Wajahnya tak menegang lagi.
“Besok, Bisa?” Tanyaku tak yakin.
“Secepat itu?.” Tanya ibuku tak percaya.

Aku mengangguk. Iya lebih cepat lebih baik. Toh aku sudah kalah, sudah saatnya aku pulang. Pulang tanpa dendam akan kekalahanku atau berniat merebut gadis itu. Aku tidak akan melakukannya. Melihat gadis itu tersenyum seperti tadi pagi, sudah cukup untuk meyakinkanku Alvin bisa membuatnya bahagia. Bahkan lebih bahagia daripada saat bersamaku.

“Oke. Mama akan telfon papa. Kamu siap-siap yah!.” Perintah beliau.

Aku mengangguk. Dengan berat hati kutinggalkan perempuan paruh baya yang duduk di sofa itu. Aku tahu pasti tanda Tanya besar ada diotaknya sekarang. Mungkin pertanyaan macam ini.
‘Bagaimana bisa? Ada apa?’

Benar. Karna sebelumnya aku selalu menolaknya mentah-mentah.

Tentu saja, untuk apa sekarang aku menolak lagi. Aku sudah tak punya alasan. Aku sudah tak berkewajiban lagi menjaga gadis itu. Gadis itu sudah mempunyai penjaganya sendiri. Bahkan juga penjaga hatinya.


Aku melangkah menuju balkon rumah dengan menenteng sebuah gitar. Menikmati sejenak hembusan angin malam yang mungkin sudah tak kan kurasakan lagi esok ditempat ini. Malas sebenarnya aku bersenandung. Atau sekedar memetik senar-senar gitar ini. Tapi entah aku ingin mempersembahkan sesuatu pada langit kota ini untuk yang terakhir. Aku ingin mencurahkan perasaanku pada bintang malam.




Aku tak percaya lagi
Dengan apa yang kau beri
Aku terdampar disini
Tersudut menunggu mati

Aku tak percaya lagi
Akan guna matahari
Yang dulu mampu terangi
Sudut gelap hati ini

Aku berhenti berharap
Dan menunggu datang gelap
Sampe nanti suatu saat
Tak ada cinta kudapat

Kenapa ada derita
Bila bahagia tercipta
Kenapa ada sang hitam
Bila putih menyenangkan

Aku pulang....
Tanpa dendam....
Ku terima... kekalahanku...

Aku pulang...
Tanpa dendam...
Kusalut kan .. kemenanganmu...

Kau ajarkan aku bahagia
Kau ajarkan aku derita
Kau tunjukkan aku bahagia
Kau tunjukkan aku derita
Kau berikan aku bahagia
Kau berikan aku derita..


***


“Aku udah tau semuanya.” Ucapnya melepas pelukan hangat ini.

Mataku membelalak lebar

Darimana?

“Aku tahu. Alvin yang bilang. Kenapa kamu gak jujur aja sih?.”

Alvin? Kamu tau dari Alvin. Lalu Alvin tau darimana?. Oh aku lupa kalo Alvin laki-laki. Ia pasti tahu sekali bagaimana perasaanku padamu Silvia.

Tapi apa? Sudah tak ada gunanya juga bukan?.

Lagipula, kenapa harus dia yang memberi tahumu Vi? Kenapa bukan kamu sendiri yang bisa tau? Tak bisakah kamu membaca mataku? Tak bisakah kamu melihat perlakuanku? Tak bisakah kamu mendengar suara hatiku? Atau setidaknya bertanyalah pada langit dimana aku sempat berkata padanya dan kamu akan mendapat jawabannya?.

“Kenapa harus pergi sih Yel? Kamu gak mau yah temenan sama aku lagi gara-gara aku gak bisa bales perasaan kamu?.”

Aku menggeleng keras.

“Bukan. Bukan itu. Bisa mencintai kamu aja itu udah cukup buat aku.” Ucapku tersenyum.

“Trus?.” Kening Silvia mengerut.

“Aku harus meneruskan hidupku. Bukan begitu?. Aku tidak ingin mengganggu kalian.”

Silvia sudah memasang wajah tak terima.

“hey, sejak kapan kamu mengganggu?.”

“Banyak alasan yang nggak bisa aku sebutin Vi, aku harus pergi. Aku harap kamu ngerti keputusanku.” Timpalku.

Silvia memasang wajah pasrah lagi. Gadis ini. Ya tuhan andai gadis ini tahu, setiap ekspresi wajahnya itu semakin memunculkan rasa cintaku dan mengeruknya semakin dalam.

Silvia mengangguk mengerti. Aku menghembuskan nafas berat.

“Kamu harus raih cita-cita kamu disana. Dan kamu harus janji akan buka hati kamu untuk gadis lain. Hey gadis Pert cantik-cantik loh.”

“Haha aku suka gadis Indonesia. macam kamu ini” Ucapku basa-basi.

“Oh disana kan juga banyak pelajar indonesia.” Timpalnya

“Janji yah?.” Tagihnya.

Aku berfikir sejenak.

“ehmm.. okeh.” Ucapku

Dalam hati aku berkata ‘nggak, aku gak janji Vi.’

Silvia tersenyum lega. Ia lalu menoleh pada Alvin. Alvin tersadar waktunya datang. Ia menghampiri kami.
Dan inilah tiba saatnya waktu kami terbagi lagi. Dimana dunia kami menjadi bertiga lagi setelah sempat beberapa menit lalu aku merasa dunia ini hanya milikku dan Silvia. Seperti duniaku sebelum kedatangan Alvin dulu.

“Jaga Silvia ya bro.” Ucapku sok-sok’an

“Pasti. Tanpa Lo minta.” Ucapnya yakin.

Aku mengangguk paham. Lalu berbalik arah hendak pergi.

“Iyel.”panggil Alvin.

“Gue akan ngejaga Silvia sebagaimana lo pernah jaga dia dulu. Thanks ya lo ada disaat garis takdir belum mempertemukan Gue sama gadis yang Gue cintai.” Ucapnya.

Aku meneguk salivaku lalu mengangguk saja.

“Gabriel.” Teriak ibuku lagi. Ia merusak suasana ini.

“Aku pergi. Bye” ucapku lalu meninggalkan mereka.

Samar-samar aku mendengar ketika langkahku menjauh.

“Kamu memang bukan orang yang aku cintai gabriel. Tapi kamu special.” Ucap gadis itu, gadis yang pernah kuimpikan jadi gadisku.

Terkadang ku menyesal, mengapa ku kenalkan dia padamu


Biarkan aku menatap lirih
Setiap keping kenanganku yang telah retak
Biarkan aku tetap mendengar
Bisu kata dari semua yang pernah terucap
Izinkan aku kembali melangkah
Sebelum lembar masa lalu berhasil menjamah
Akanku hirup udara yang menyesakkan
Walau nyata, tak dapat ku genggam angin
Sempatkan aku untuk tertunduk
Menyentuh kembali sakit yang terindah

Friday, October 10, 2014

Ku Cintaimu dari Kekurangan Hingga Lebihmu (1st Anniversary our Wedding)




Wednesday, September 24, 2014

Pagi Menjawab Cinta

Suara riuh anak-anak, kadang memekik kadang bersahutan, semua larut dalam kegembiraan.

Di aula sederhana berdinding retak dengan cat tembok yang mulai meluntur mereka riang gembira bersama sosok gadis bertubuh luwes yang kadang menari dan mengikuti suara nyanyian dari mulut anak anak usia sekolah dasar.

Dyah mengangkat tangannya yang menggenggam beberapa bungkusan putih mencoba menghindari tangan-tangan kecil yang coba meraih benda itu dari tangannya, sebuah hadiah yang siap diberikan kepada siapa saja yang mampu menjawab pertanyaan yang disampaikan kepada anak-anak itu.

Fadli memandangi keriuhan itu dengan senyuman, disudut dimana teronggok meja dan kursi kecil. Ia begitu mengagumi sosok gadis yang sekian lama menjadi kekasihnya, satu sosok yang jika boleh ia nobatkan pada hatinya sebagai sosok sempurna. Bersama anak-anak yatim piatu itu waktu akhir minggu selalu dilalui Dyah bersama Fadli, di satu panti asuhan yang menampung sekian banyak anak-anak korban bencana.

“Membuat mereka tertawa adalah suatu kebahagiaan bagiku, Fadli.” ujar Dyah ketika satu kali Fadli bertanya mengapa Dyah tak pernah berhenti mengunjungi anak-anak yang nasibnya begitu malang. 

Fadli mengenal Dyah sebagai gadis yang begitu peduli pada anak-anak terlantar, ia begitu jatuh hati tatkala tangan-tangan halus Dyah tak ragu menggandeng beberapa anak jalanan yang lusuh untuk sekedar mengajaknya bermain, dan nyanyian senda guraunya melantun di antara anak-anak panti asuhan yang tak mengerti siapa ayah dan bundanya.

Kesederhanaan, kedermawanan seolah melengkapi kecantikan Dyah di mata Fadli. Fadli tak pernah putus berharap suatu saat kelak Dyah bisa menjadi pendamping hidupnya meski Dyah beberapa kali menampik keinginan Fadli itu.

“Kepada siapakah kelak kamu akan mempersuntingku Fadli, tak pernahkah kamu berpikir aku ini anak yang tak lagi memiliki orang tua. Mereka dan semua penduduk kampung hilang ditelan bencana, aku hanya mempunyai mereka yang sama-sama tinggal di panti asuhan yang kebahagiaannya direnggut oleh alam dan tak mungkin dihindari.” bulir airmata Dyah jatuh bagai biji delima manakala Fadli bertanya apakah ia boleh menjadi pendamping hidupnya.

“Engkau adalah milik Tuhan, Dyah. Siapapun yang diperbolehkan Tuhan menjadi walimu akan aku datangi dengan sekuat tenaga. Engkau cahaya, pemberi arti dalam hidupku dan pengisi kebaikan yang tengah aku cari. Aku mencintaimu apa adanya...” seru Fadli pada Dyah yang tergugu.

Bibir Dyah yang ranum, dengan tepian yang meliuk keatas membentuk sebuah senyum tak mencerminkan hidupnya yang getir. Ia hidup seorang diri sejak balita tatkala bencana merenggut seluruh keluarganya. Perjuangan hidupnya di sebuah panti asuhan dalam kesepian usapan lembut seorang ayah dan bunda membawanya menyadari bahwa hidup harus dilanjutkan dan tak berhenti hanya larut dalam kesepian, Ia berjuang menyelesaikan sekolahnya dan bekerja menghidupi dirinya hingga ia bertemu Fadli , lelaki teman bekas teman kuliahnya yang setia menemani kemanapun ia pergi, dengan cintanya.

Suatu hari, Dyah mengambil cuti kerjanya dan memilih setiap hari mendatangi anak-anak di panti asuhan tempat ia dibesarkan. Fadli tak henti menemani, meskipun hanya sekedar mengantar dan menjemput Dyah ke panti asuhan sebelum dan sesudah pulang dari kantornya.

“Kenapa kamu tiba-tiba memilih cuti untuk bersama anak-anak itu Dyah, bukankah akhir minggu kita sudah bersama mereka dan mereka sudah cukup gembira?” Tanya Fadli sedikit heran.

“Aku ingin lebih dekat dengan mereka, aku ingin sebisa mungkin lebih sering mengisi hidup dengan mereka, anak-anak yang tidurnya selalu diselimuti oleh rasa kehilangan.” jawab Dyah sambil menatap Fadli. Fadli hanya mengangguk, ia larut dalam kekaguman ketika wajah dan mata yang cantik itu menatap kedua matanya.

“Fadli, seberapa besarkah cintamu untukku?” Tanya Dyah

“Aku tak tahu, aku tak bisa mengukurnya, teramat besar mungkin, hingga sulit mengukurnya. Mungkin lebih besar dari rasa cintamu kepada tempat ini.” Jawab Fadli.

“Tak bisakah kamu mengukurnya, maukan kau membuktikannya?” kejar Dyah, Fadli tak sanggup menjawab dengan kata-kata, ia hanya mengangguk.

“Baiklah, jika kamu begitu mencintaiku. Berilah aku waktu satu hari untuk berpikir, jangan kamu menghubungi aku, jangan kamu bertemu aku dan cobalah untuk satu hari saja tidak memikirkan aku. Bisakah Fadliku sayang!” pinta Dyah dengan semangat.

“Seandainya hal ini bukan kamu yang meminta, mungkin aku tak akan sanggup. Aku akan membuktikan cintaku itu dengan permintaanmu, Aku ingin kamu menjadi istriku!” jawab Fadli tegas, disambut isak tangis Dyah yang tiba-tiba penuh haru.

“Terima kasih Fadli, terima kasih untuk cinta kamu, Jumpai aku disini jum'at pagi, aku akan menjawab semuanya” Isak Dyah yang merasakan jemarinya hangat digenggam dan dikecup oleh Fadli.

__________*****__________

Detik serasa panjang ketika Fadli meninggalkan Dyah di halaman depan Panti asuhan. Malam itu Dyah tak ingin kembali ketempat kostnya, ia ingin bermain dan menikmati kebersamaan bersama anak-anak, menghiburnya, untuk kemudian membuat suatu keputusan bagi Fadli, bagi cinta Fadli.

Selama ini, mereka berdua tak seharipun tersekat kabar, meski hanya sapaan Assalamualikum di pagi hari lewat telephone ataupun selarik SMS kala berjauhan jarak.

Cintalah yang menghiasi persahabatan mereka dan memberi asa untuk saling melengkapi, dan dihari yang panjang itu, Fadli diminta untuk membuktikan cintanya dengan hal yang tak pernah ia lakukan sebelumnya.

Tak semudah yang dibayangkan oleh Fadli, melupakan sejenak Dyah yang begitu mengelorakan hatinya adalah pekerjaan berat yang harus dilalui. Ia menyibukkan diri dalam pekerjaannya hingga detik, menit dan jam berlalu menguji rasa cintanya pada Dyah.

Ketika melirik jam usai shalat subuh, Fadli tak kuasa untuk mencoba meraih handphonenya dan berusaha mendial nomor Dyah tetapi urung karena ingat kalimat terakhir Dyah yang meminta agar ia menjumpainya di Panti asuhan untuk mendapatkan jawaban cintanya.

Mentari pagi menerobos diantara pohon, memantulkan warna cerah buah-buahnya yang tumbuh di halaman panti asuhan. Beberapa orang juga tengah bergegas memasuki jalan berekerikil yang asri ketika Fadli memarkir kendaraannya di sisi samping pintu utama.

Degup jantung Fadli serasa tak beraturan ketika ia melangkah menuju ruang aula yang biasa diisi riuh rendah tawa anak-anak. Pagi itu tak ada tawa, sepi memagut dan keheningan seolah menghantarkan degup jantung Fadli yang kian mengeras menanti jawaban pasti cintanya.

“Mbak Dyah ada?” Tanya Fadli kepada satu anak perempuan di salah satu selasar menuju ruang aula. Ia tiba-tiba menggamit tangan Fadli dan membawanya ke satu ruang yang lebih kecil di sisi utara aula. Begitu banyak wajah murung dan isak tangis tatkala Fadli menerobos dikerumunan orang lalu mendapati sesosok tubuh yang tengah terbaring pada ruang yang putih bersih dengan aroma bunga melati serta alunan ayat suci.

Seseorang membuka penutup wajah pada sosok yang terbaring dan Fadli menemukan wajah tersenyum dari gadis yang amat dicintainya itu, Dyah. Gadis yang amat diharapkan pagi itu memberi jawaban bagi harapan hidupnya yaitu memintanya menjadi pendamping hidup sebagai istri namun ia kini pergi untuk selama-lamanya.

Fadli tak kuasa menahan tangis, hatinya pedih namun suara tangis dari mulutnya tak mampu ia bungkam diantara beberapa orang yang menatap dirinya dengan penuh kesedihan.

“Inalillahi wa inaillaihi Rojiun!” tubuh Fadli bergetar, ia tak mengerti arti pagi itu. Orang yang dicintainya, seseorang yang penuh keindahan memberikan kebahagiaan pada orang lain dan tak pernah berhenti mengundang tawa bagi anak-anak yang tak memiliki siapa-siapa, kini pergi untuk selama-lamanya dalam skenario bersama Sang Pemilik Jiwa...

Secarik kertas putih dalam amplop disodorkan pada Fadli oleh seorang anak kecil dari samping jenazah, kertas itu begitu harum dan dititipkan pada anak tersebut untuk disampaikan kepada Fadli di Jum'at pagi jika ia tiba.

Fadli merobek surat itu dan membacanya perlahan, sementara isak tangis tetap tiada henti dari anak-anak kecil dan seluruh penghuni panti asuhan.

Assalamualaikum Fadli...
Lelaki yang penuh hormat telah menyayangiku, seorang gadis yang tak henti hidup dalam kesendirian namun tak pernah berhenti memerangi rasa kesepian bersamamu.
Jika kamu membaca surat ini ketika aku sudah terbaring, maka kamu telah membuktikan cintamu padaku sepenuh jiwa, dan yang paling penting kamu telah membuktikan bahwa kamu adalah lelaki sejati yang mampu menghadapi apapun yang terjadi. Terutama bisa hidup tanpaku di sisimu.
Sejak pertama bertemu, penyakit kanker darah ini sudah menyerang diriku, dan aku tak sanggup melawan hari-hari melawan keganasannya, apalagi menyiksamu dengan derita yang aku hadapi. Aku hanya menghitung hari demi hari bersama kebahagian kamu dan anak-anak di Panti Asuhan ini.
Wahai pangeran pendamping surgaku, jalankanlah hidup sehari lagi seperti hari yang kau lakukan kemarin, dan ulangilah selalu setiap hari tanpa mengenang aku.
Aku tahu kamu mencintaiku, tapi aku lebih yakin padamu untuk mampu menjalani hidup tanpa diriku.
Hapuslah air matamu dan aku mohon lanjutkanlah niatku untuk membahagiakan anak-anak yang ada di sini bersamamu, paling tidak untuk satu hari lagi tanpa diriku...
Ijinkanlah aku menghadap Tuhan tanpa menyakiti dirimu.
Lovely - Dyah.

Fadli bersimpuh di sisi Dyah yang tengah tersenyum, seorang yang rela hidupnya tak membebani siapapun dengan deritanya. Tadi malam, Ia meninggalkan kesendirian kembali kepada anak-anak yang selama ini ia coba bahagiakan, anak-anak yang kehilangan orang tua karena keganasan alam seperti dirinya ,juga meninggalkan Fadli dengan segenap cinta yang bersama dimiliki.

Fadli menatap anak-anak yang berkerumun dengan kitab suci ditangan mereka, dan berjanji untuk tidak meninggalkan mereka meski tanpa Dyah di sisinya dalam kesendirian. 

"Selamat jalan Dyah... Bidadari pendamping surgaku." ucap Fadli lirih di sela isak tangisnya.

Wednesday, September 10, 2014

Self Editing by @KampungFiksi

Repost: Penerbit DIVA Press.
*Senin Menulis: #SelfEditing by @KampungFiksi Typhobia, 20 April.

Oke, kita bahas #selfediting ya. Ini penting banget, terutama buat penulis yang masih puber. Hihi. #SeninMenulis. 
Kebiasaan penulis pemula: baru aja beres nulis novel, langsung merasa keren. Padahal itu naskah mentah. Dia baca ulang naskah novelnya keesokan hari, dan perasaannya masih sama: luar biasa! Dikirimlah naskah itu ke penerbit. Dua bulan kemudian terkejutlah dia mendapat kabar bahwa naskahnya ditolak. Kenapa, Tuhan? Kok bisa begini? pikirnya, lebay

Alasan penolakan penerbit adalah karena naskah itu masih berantakan. Jiwa pubernya jelas berontak. Tidak setuju.
Penantian dua bulan terasa sia-sia. Dia lantas membaca lagi naskahnya, hendak membuktikan bahwa naskahnya tidak berantakan.
Saat itulah dia serasa mendapat teguran dari Tuhan. Naskahnya mendadak kelihatan jelek. Banget!
Penulis macam begini, kalau tidak memperbaiki tabiatnya, pasti tidak akan menghasilkan karya yang bagus.
Jika kalian baru beres nulis novel atau cerpen, tutup dulu tulisan itu. Endapkan. 
Lalu sibukkan diri kalian dengan membaca buku-buku lain, atau menulis karya yang lain.
Jika karya yang sedang diendapkan itu akan meniru gaya menulis orang lain, maka isi waktu dengan membaca buku penulis itu.
Rasa kecewanya ditepikan. Yang dia lakukan setelah mendapat saran dari temannya adalah memperbaiki kesalahan penulisan (typo). 
Setelah selesai memperbaiki kesalahan penulisan, dia endapkan lagi naskah itu. Tidak tergesa-gesa seperti sebelumnya.
Karena sangat mengidolakan Dee, dia membaca buku Dee di sela pengendapan naskahnya. Dia ingin naskahnya punya cita rasa sama.
Naskah itu dibaca lagi untuk menelaah gaya tulisan (sudah miripkah dengan tulisan Dee?) sambil mengamati logika cerita. 
Karena typo sudah dibasmi di tahap perbaikan pertama, proses perbaikan tahap kedua berjalan lebih menyenangkan. 

Ah, kalimat ini bisa diubah strukturnya agar lebih mirip gaya bertutur Dee. Em, yang ini lebih baik dibuang saja, gumamnya. 
Dia tidak ragu untuk membuang beberapa kalimat atau bahkan satu adegan agar tiap kata dalam karyanya punya kepentingan.
Dia membedah karyanya menggunakan pisau bedah tertentu, yakni gaya menulis Dee. Editing seperti ini jelas arah tujuannya.

Ada banyak diksi dari buku Dee yang akhirnya ikut terpakai di naskahnya. Ini lumrah dan bukan plagiarisme.
Bagian-bagian yang tidak logis akhirnya diperbaiki. Kata-kata dalam karyanya menjadi padu, saling terkait, tidak kontradiktif. 
Naskahnya mengalami peningkatan kualitas. Tapi dia tidak merasa bungah berlebihan. Pasti masih ada celah di karyanya.
Diserahkanlah naskah itu ke beberapa teman yang senang membaca. Dia meminta saran dan kritik dari mereka. Ini tahap ketiga.

Dua minggu kemudian kritik berdatangan. Oh, iya, ini ternyata nggak logis. Ehm, ini harusnya diganti. Dia sibuk lagi. 
Setelah tahap ketiga selesai, dia baca ulang naskah itu dengan pelan-pelan sebagai pengecekan akhir.
Naskah itu dikirim kembali ke penerbit, kali ini dengan kepercayaan diri yang tahu diri. Tidak terjebak euforia. 
Muncul tanya, "Berapa lama pengendapan tulisan sebaiknya dilakukan?" Sampai kamu lupa detail tulisanmu. Cobalah seminggu. 

Kok proses nulis lama banget? Iya, lama dan melelahkan. Tapi proses macam itulah yang membuat tulisanmu berisi.

Setiap yang dibuat dengan instan tidak akan mengandung banyak kesan. Begitu pula tulisan. Kalau ada yang bilang menulis itu gampang, dia pasti tidak sedang bicara tentang tulisan yang berkualitas. Menulis butuh kerja keras, disiplin, dan mental yang tahan banting. Penulis manja lebih baik menulis buku diary saja. #eh

Copyright by Mimin @KampungFiksi
The note has been chirpified
Atchirpstory.com/li/201164

Sunday, August 31, 2014

Draft

Maafkan aku ya Allah, bukan maksud hati aku mengeluh, namun ini hanyalah sebuah curhatku untukMu

Terlalu sakit, terlalu menyesakkan. 
Aku cuma ingin mamaki, mengutuki. 
Aku cuma ingin sedikit mengecap rasanya lega. 

Sepertinya hidup ini terlalu berkhianat terhadapku. 
Aku bingung diantara aku yang mengendalikan hidupku atau hidupku mengendalikan aku. Atau malah hidupku dikendalikan dunia ini? Entahlah. 
Terlalu membingungkan, terlalu menyakitkan. 

Jika saat ini salah, mengapa tak dimaafkan saja? Aku bisa berubah. Aku bisa untuk tak mengulangi kesalahan ya sama. Aku tidak bodoh, aku memahami setidaknya sedikit tentang dunia ini, dunia dimana aku menjalani hidup bodohku ini. 
Jika aku salah, mengapa tak kau hukum saja aku dengan cambuk keadilanmu itu? Jangan biarkan aku menghukum diriku sendiri., karena pada akhirnya bagiku hukuman yang aku berikan tidak akan pernah cukup. Yang ada aku hanya akan terus tersiksa. 

Mungkin hidup memang begini. 
Mungkin dunia harus begini. 
Dan mungkin aku juga memang harus begini. 

Saturday, August 30, 2014

Today

Hidup hari ini mengajari aku cara untuk mengampuni, karena bukan hakku untuk menghakimi.

Hidup hari ini menyadarkanku siapa sesungguhnya kawan, mereka yang bukan sekedar tertawa bersama namun tau perih hati tanpa mendengar cerita yang terjadi.
 
Hidup hari ini membimbingku untuk menahan diri, karena jika aku selalu dipenuhi dengki hanya sakit hati yang akan kudapati.
 
Hidup hari ini banyak hal yang kulalui, banyak sakit hati yang kualami, banyak air mata dan emosi yang kutahan agar tak terjadi. 
 
Namun, hidup hari ini juga sungguh penuh arti, dimana aku bisa belajar mengasihi dan membenahi diri untuk hidup esok hari.

    @Bengkel & Steam, Rorakan.

Thursday, August 21, 2014

Bukan Pasangan Sempurna

Pagi-pagi udah dapat ilmu dari Radio (Lupa siap MC-nya)...

Diabadikan dulu lah... (Mungkin aja berguna buat sobat bloggers) :) :)

1. Hadirnya dia bukan soal
pandainya kita, tapi Allah yang
mengarahkan hatinya pada kita
#BukanPasanganSempurna.

2. Lalu dia menjadi sosok yang bersanding di hati, tanpa kita tahu sebelumnya dia siapa.
#BukanPasanganSempurna.

3. Dia duduk terdiam di depan kita, hanya ingin diyakinkan bahwa
memang tepat untuk kita
#BukanPasanganSempurna.

4. Sebulan dua bulan merenda cinta dari benang yang sama,
ketulusan dan kesabaran menerimanya.
#BukanPasanganSempurna.

5. Setiap orang punya momen
buruk, apakah dengan satu
keburukan kita akan melupakan
momen baik bersamanya.
#BukanPasanganSempurna.

6. Ia bukanlah toserba, semua
yang kita butuhkan ada padanya.
Ada kalanya dia bilang, maaf aku
tak punya.
#BukanPasanganSempurna.

7. Kadang pendengarannya tak
cukup mampu menangkap maksud
kita.
#BukanPasanganSempurna

8. Kadang tangannya tak seberapa kuat menahan beban kita. Dan dia tetap berusaha utk membuat kita bahagia.
#BukanPasanganSempurna.

9. Kadang matanya tak
seberapa awas melihat lobang
mengaga di depannya, padahal dia
membawa kita sebagai
penumpangnya.
#BukanPasanganSempurna.

10. Kadang lisannya tak seberapa
pintar mengungkapkan
perasaannya, tapi kita paham apa
yg dia katakan.
#BukanPasanganSempurna.

11. Kita sering menuntut dia tuk
Wow, padahal kita tidak pernah
bisa WOW di matanya
#BukanPasanganSempurna.

12. Mungkin dia bukan sosok
romantis, tapi tahukah kita selama
ini dia berusaha untuk itu?
#BukanPasanganSempurna.

13. Mungkin dia bukan sosok
paling bisa diandalkan, tapi
tahukah selama ini dia mencoba
tidak mengecewakan kita?
#BukanPasanganSempurna.

14. Kadang dia nampak
membingungkan, tahukah dia
bingung karena memikirkan kita?
#BukanPasanganSempurna.

15. Ia akan hadir melengkapi
kekurangan kita, sebagaimana kita
hadir melengkapi kekurangan dia
#BukanPasanganSempurna.

16. Jika jalan pernikahan tak
semulus yg diharapkan, maka doa
dan sabar serta shalat akan jadi
penolong kita.
#BukanPasanganSempurna.

17. Jika kata kata indah sudah tak
lagi mempan, maka dibutuhkan
semangat perubahan menjadi lebih baik di masa mendatang.
#BukanPasanganSempurna.

18. Suami mungkin tidak selihai
politikus dlm berjanji, karena dia
terlalu jujur pada hatimu.
#BukanPasanganSempurna.

19. Jika suami tak pandai
memotivasi seperti motivator,
karena ia hanya ingin terlihat aseli
di matamu.
#BukanPasanganSempurna.

20. Dia mungkin tak pandai
meramaikan suasana bak MC, tapi
dia tahu kapan berada di sisimu
selalu.
#BukanPasanganSempurna.

21. Dia tak bersuara merdu bak
penyanyi pujaanmu, tapi dia tahu
kapan berbisik lirih di telingamu
#BukanPasanganSempurna.

22. Dia mungkin tak segagah
atlit, tapi dia akan berusaha terus
menerus bersamamu bahkan di
saat kau sakit.
#BukanPasanganSempurna.

23. Dia mungkin galak, tapi
galaknya itu karena ingin menjaga
mutiara tetap di hatimu.
#BukanPasanganSempurna.

24. Mungkin banyak orang yang
lebih cakep, tapi dia adalah
amanah bagimu. Dia layak tuk kita
muliakan.
#BukanPasanganSempurna.

25. Mungkin banyak lelaki yg
lebih gagah, tapi dia paling gagah
dengan segenap cintanya padamu
#BukanPasanganSempurna.

26. Maka mhonlah ampun atas
kurangmu memuliakan
pasanganmu. karena mereka ada
tuk bahagianya kita.
#BukanPasanganSempurna.

27. Saat dia tidur tataplah
wajahnya. Itulah wajah yang
selama ini berusaha
membahagiakanmu dengan
tulusnya dia.
#BukanPasanganSempurna.

28. Maka sediakan dirimu tuk
membantunya, menjadi hamba
yang ingin nampak sempurna di
hadapan Rabbnya.
#BukanPasanganSempurna.

29. Mungkin byk wanita yg lbh
cantik dr istri kita, tp istri itu
amanah yg harus kita jaga. Dia
layak mdpt kesetian kita.
#BukanPasanganSempurna.

30. Dia tidak minta dilahirkan tak
sempurna, maka kenapa dia harus
disalahkan atas
ketidaksempurnaannya?
#BukanPasanganSempurna.

31. Lepaskan egomu, dia
memilihmu sebagaimana kamu
memilihnya. Lengkap dengan lebih
dan kurangnya kamu.
#BukanPasanganSempurna.

32. Jangan lihat pada gosongnya
kue yg dia masak, tapi lihat betapa
dia sungguh2 mempersiapkan
makanan itu sebelumnya.
#BukanPasanganSempurna.

Perempuan

Menjadi perempuan seharusnya
membuatmu mampu belajar sabar
lebih dari sabarnya seorang lelaki,
belajar kuat lebih dari kuatnya
seorang lelaki, belajar mandiri lebih dari mandirinya seorang
lelaki.

Menjadi perempuan seharusnya
membuatmu pintar menempatkan
dirimu, pintar mengontrol emosimu, pintar menjaga harga
dirimu. Sebab lelaki mudah sekali goyah, dia butuh bahu yang kuat
tempatnya bersandar, dan ya, dia
butuh hati yang hangat untuk
tempatnya pulang setelah lelah
mengembara.

Dia butuh sosok wanita yang dia
percaya kelak anaknya bisa berkata

“aku punya seorang ibu yang
hebat.”

Jadi, sudah cukup baikkah dirimu untuk "Dia" yang kau tuntut baik????

*Think_Again* !!!
*Tuing* :D :D

Saturday, August 16, 2014

Andai Daun itu Uang

   Coba, di dunia ini nggak ada uang. Setidaknya, segala sesuatu memang memiliki nilai tapi tidak
dengan nilai materialistik seperti
saat ini. Atau jika uang memang
harus terus dan tetap ada di
dunia, bisakah daun-daun itu jadi
uang?

Semisal Tere Liye bilang, Daun yang jatuh tidak akan membenci
angin (Gramedia Pustaka, 2010)

Daun yang jadi uang itu akan sangat disyukuri banyak orang
jika berguguran ke tanah. Jadi,
daun itu tak perlu sedih kalau
musti jatuh tanah. Mereka akan
sangat berguna.

Tapi ya gimana, hal itu nggak
mungkin bisa terjadi. Maksudku,
mungkin beberapa orang tidak
akan pernah menganggap bahwa
daun itu sangat berharga dampai daun-daun itu hilang. Dan sampai
saat ini uang masih terus mendominasi dunia. Dalam gerak-
gerik yang aku lakoni sekarang,
semuanya berbasis tentang uang.

Di saat aku melirik iri ke arah
kawanan yang tertawa karena
kemampuan materi, aku dan
sebagian teman lain yang senasib
Cuma bisa mencibir, “Cih.. orang
berduit, Wajar.”

Ah....
Aku benci uang, tapi aku butuh uang, dan aku juga pengen uang...

   Panumbangan, 16 Agustus 2014
    

Friday, August 15, 2014

Menyapa Angin

Ya Allah... Berilah aku keberanian untuk mengucapkan selamat pagi kepadanya....!!!!

*****

   Pagi tak pernah terasa pagi bagiku. Tidak ada perbedaan pagi,
siang, sore dan malam yang signifikan aku pikir. Semuanya
sama, gelap terang terasa sama.
Karena selalu ada dia yang
menetralkan suasana hatiku.
Bagiku, dialah angin pagi yang
berhembus semilir dalam
benakku, berputar-putar seperti
angin siklon yang tiada henti.
Menjadi pelampiasan yang terus bergelut dalam hari.
Dia adalah dia, yang kupuja dan
kunikmati di pagi hari.

“Hei, pagi?”
Dia menengok ke arahku sebentar
kemudian kembali mencermatiku
buku cetaknya yang agak tebal.
Apakah dia mendengarku? Atau
hanya mencari gerakan untuk melepas rasa penat yang menumpuk?

“Hei, pagi?”
Dia kembali menoleh,
menampakkan binar wajahnya yang berseri seperti angin segar di
sore hari.
Aku terdiam cukup lama.
Memandangnya dalam ruang
semuku yang berlapis gelap, walau esok telah pagi sekali pun.

“Hei, pagi?”
Semua salam dan sapaku ternyata
tercekat di tenggorokan, ditarik
dan dimasukkan paksa ke dada.
Semuanya semu. Tidak ada yang
benar-benar kuucapkan untuk ia
dengar. Entah tadi ia menoleh ke
sini untuk apa, aku pun tidak tahu.
Yang jelas keberanianku selalu
luntur begitu saja, aku tak pernah
mampu mengucapkannya. Aku
tak pernah mampu bersikap
persuasif untuk mengadakan adu
argumentasi dengannya. Mengapa
aku begitu penakut?

Dan hari ini, ketika para penuntut
ilmu yang kukira ilmu tidak memiliki kesalahan hendak.bergegas ke pengadilan pendidikan, aku lagi-lagi hanya
terkurung dalam keinginan konyol
yang tak akan pernah bisa kuraih.

Aku hanya dapat melirik malu-
malu pada sesama penanti bus di
halte biru yang atapnya penuh
dengan bunga bugenvil. Membuat
suasana menjadi terlihat bersahaja dengan cinta. Seperti
alur drama yang dibuat-buat.

Hampir dua tahun ini aku
menjalani rutinitas konyol di pagi
hari, menunggu bus di halte
hanya untuk bertemu dengannya.
Berusaha bangun pagi agar tidak
terlambat ataupun melewatkan
kehadirannya. Memilih berdesak-
desakan di bus daripada diantar
dengan motor. Selalu datang
tepat waktu , agar bisa melihat
sosoknya dari awal hingga akhir.
Semua hanya karena angin itu.
Angin yang tak pernah mampu
kujangkau, karena ia terus
berhembus. Mengalir secara cepat
bagaikan kilat. Padahal ia
hanyalah angin.

Seolah mataku tak pernah bisa lepas darinya, berbagai pertanyaan selalu muncul
beriringan dengan sosoknya. Siapa
namanya? Dari mana ia? Bisakah
aku mengenalnya lebih jauh?
Segala pertanyaan yang
berhubungan dengannya melekat
erat. Membuat rasa penasaranku
semakin menguar dan terhembus
kemana-mana.

Aku hanya tahu dia murid dari
SMA Harapan – tak lebih. Itu pun
karena seragam identitas yang
dipakainya. Aku tak pernah
berani mendekat, atau menggeser
jangkah kakiku hanya untuk
melihat nama yang terjahit di
bajunya.

Aku hanyalah pemujanya yang
menghabiskan berwaktu-waktu
demi mempertahankan masa
untuk dapat melihatnya. Kalian
pikir itu sia-sia? Tidak juga –
bahkan mungkin memang tidak.
Karena dengan melihatnya,
bebanku yang bertumpuk bisa
hilang.
Tuhan, izinkanlah aku, untuk
mengucapkan selamat pagi
kepadanya. Sekali saja. Agar dia
mengenangku sebagai teman
penanti bus di kala pagi hari.
Aku jadi berpikir, apakah ia
peduli dan memberikan respon
terhadap kehadiranku? Atau
jangan-jangan ia malah tidak
pernah tahu bahwa aku selalu di
sini untuk menemaninya di pagi
hari.

Ah, ia terlalu suka bergaul dengan
bukunya. Bukan dengan sesamanya. Atau setidaknya, kami
berdua bisa mengobrol banyak di
sini.
Dan sebuah persegi panjang
bermesin dengan lapisan baja
yang beroda pun berhenti tepat di
depan kami. Menghentikan
dimensi-dimensi yang telah
terjalin sedemikian rupa.
Melepaskan momentum yang
menimbulkan aksi dan reaksi
yang tidak diharapkan.
Kehadiran bus itu menghancurkan
segalanya, mengakhiri kisahku di
pagi ini bersama dia. Akankah
ada esok pagi untuk melihatnya
kembali?

***

Jika aku harus bercerita tentang
cinta pertama. Maka, aku akan
menjawab, "Ya, mungkin dia
memang cinta pertamaku."
Padahal dalam pernyataanku ini,
aku belum tentu tahu apa itu
cinta beserta maknanya. Aku
mengenal cinta, tapi aku belum
tentu benar-benar memahaminya.
Tapi, setidaknya, aku memiliki
cinta. Di mana aku bisa mencintai
seseorang yang aku pikir - ya, dia
memang pantas untuk dicintai.
Karena semua orang memang
punya hak paten dalam hal ini.

“Bagaimana dengan misi selamat
pagi-mu itu?” tanya Asri memulai
pembicaraan. Aku hanya
merespon dengan gelengan pelan.
“Gagal lagi?”
“Ya, entah yang sudah keberapa
kali,” jawabku sambil menghela
napas pelan-pelan.

Ayolah, Marry, kamu adalah
perempuan dan dia laki-laki.
Apakah aku benar-benar seberani
itu untuk mengucapkan selamat
pagi kepadanya? Apakah aku
benar-benar punya nyali untuk
memulai segalanya. Di mana-mana laki-laki-lah yang seharusnya
menjejakkan kakinya duluan.
Seperti Adam, yang terlebih
dahulu ada ketimbang Hawa.
Masa aku yang harus mencoba
memulainya. Toh, lagipula ia
belum tentu memberikan respon.
Aku malah terlihat agresif dalam
posisi ini.

Biarlah mengalir seperti angin.

Tapi bagaimana jika ia tersendat?
“Kamu pasti bisa.” ujar Asri
memberi semangat.
Aku pasti bisa? Kupikir tidak, semua ini hanyalah ruang semu yang tidak berbatas.

“Tidak, kurasa tidak.”
Asri menatapku tajam, dia tahu benar bahwa aku punya misi "selamat pagi" untuk anak dari SMA Harapan itu. Tapi, dia tidak
pernah tahu benar, bahwa aku
akan menyerah. Menyerah untuk
meninggalkan misi konyol itu –
misi yang aku perjuangankan
hanya demi sebuah cinta pertama.

“Kenapa? Kamu menyerah?
Secepat itukah?”
“As, dengar aku baik-baik. Kurasa
ini adalah solusi terbaik daripada
aku harus termangu sendirian di
halte. Aku perempuan dan dia
laki-laki. Orang-orang masih
menganggap bahwa perbuatan
yang akan aku lakukan ini tidak
lazim. Hal ini lebih baik
dilakukan oleh pria dulu, daripada
wanita. Lagipula, ini tidak secepat
yang kau pikirkan. Ini lama, dan
ini dua tahun – atau lebih,
mungkin? Jadi kurasa, ini
memang puncak usahaku. Ada hal
yang jauh lebih penting untuk
dilakukan bukan?” ujarku – alibi
untuk memotivasi diri sendiri.

Selebihnya, ada bayang-bayang
yang mengalir indah di dalam
otakku, menelusuri tubuhku sampai ke hati.
Ya, ia ada dalam hatiku. Menjelma
sebagai nadi yang terus berdegub
walau bayang nyatanya tidak ada
di sini.
Asri terdiam untuk beberapa saat
– kemudian menatapku tajam.

“Pertama adalah pertama. Tidak
sama dengan yang kedua maupun
yang ketiga. Dan yang pertama,
tidak akan pernah terjadi untuk
kedua kalinya, begitu pula angka-
angka urutan yang lain. Simak
baik-baik, Marry, segalanya tidak
terjadi dua kali. Pertama adalah
pertama.”
Dan ucapan Asri terus terngiang-
ngiang dalam benakku, menguar
tajam bersamaan dengan
bayangnya.
Segala tidak terjadi dua kali.
Pertama adalah pertama.

***

“Hai, pagi? Hari ini hari yang
cerah, ya? Tapi sayang bus-nya
tidak kunjung datang. Ngomong-
ngomong kamu naik bus jurusan
apa?”
Tertelan...
Semua sukses tertelan.
Dan lagi-lagi aku tak sanggup
mengatakannya. Lidahku kelu,
dan bibirku terekat erat satu
sama lain. Tidak ada yang bisa
kusuarakan di sini.
Suasana halte tampak sepi karena
waktu baru bergulir ke angka
setengah tujuh, membuat orang-
orang masih enggan untuk
menguarkan aura semangatnya
untuk keluar dari rumah.
Beda denganku, yang masih punya
misi. Sebuah misi konyol yang aku
pun masih belum mengerti –
mengapa aku melakukannya.
Semuanya di luar nalar, semuanya
diluar kontrol logika. Karena yang
berjalan adalah perasaan, tentu
emosi yang mewakilinya.
Terkadang, aku merasa sangat
konyol. Ini tidak masuk akal!
Menjadi pemuja rahasia di kala
matahari masih enggan untuk
bersinar. Menjadi seorang stalker
sejati di pagi hari. Mencuri-curi
gerak-geriknya ketika bayangan di
tanah memanjang dan membelakangiku.

Mengapa aku dengan tega
menghabiskan setiap pagi hanya
untuk memujanya. Memuja cinta
urutan kesatu. Padahal, belum
tentu menjadi yang terakhir.
Harusnya aku ingat, pernyataan
apa yang jadi pondasi keruntuhan
ini. Bukankah ia belum tentu
memperhatikanku seperti aku
memperhatikannya. Bukankah ia
belum tentu peduli padaku,
seperti aku peduli pada gerak-
geriknya. Bahkan mungkin, ia belum tentu tahu bahwa aku ada
di sini.

Karenanya, beranikan untuk
menyapanya. Buat kesan bahwa
kau ada. Jangan biarkan angin
berhembus dan menggoyangkanmu begitu saja. Tunjukkanlah bahwa keberadaanmu yang ibarat rumput, meyakinkan angin yang kasatvmata, bahwa ia ada. Dan jangan biarkan ia berhembus begitu saja.
Jangan biarkan ia melaluimu tanpa
tahu, bahwa kamulah yang
memberi warna pada
keberadaannya. Jangan.

Sebuah suara berbisik.
Memberikan sebuah tombak
semangat yang memberanikanku.
“Apa kabar? Bagaimana kabarmu?”
Tidak ada jawaban. Karena semua
kalimat itu lagi-lagi tertelan
Aku rumput di pagi hari yang
pengecut. Lebih pengecut dari
bakteri sekali pun.
Tuhan, mengapa sulit sekali untuk
memberi salam selamat pagi
untuknya.
Aku masih berkutat dengan angin
pagi yang menyesakkan. Angin
pagi yang menyumbat otakku
untuk berpikir sampai akhirnya
ada sebuah suara yang
memanggilku – entah yang
keberapa kali. Yang jelas, aku
sedang terjun bebas ke dalam
alam bawah sadarku.

“Permisi, mau tanya.”

Bayang-bayang itu kembali
berdegub di dalam nadiku. Tiba-
tiba auranya menguar ke segala
penjuru. Entah itu barat atau
timur. Semua serasa di dalam
kotak dimensi yang mengurungku
dan dia.
Dengan segala keterkejutan yang
ada. Aku berusaha untuk menoleh
kea rah suara itu. Suara angin
pagi. Angin tak pergi begitu saja,
ia peduli pada seonggok rumput
yang sekarat di pagi hari.
“i... Iya?”
Dan benar, memang dia.
Bayanganku tentang dia sukses
sudah! Aku tahu bagaimana dia
secara visual, dan kini aku tahu
benar tentang dia secara audio.
Bagus, angin yang indah.
Dan tentu saja, hari ini aku tidak
perlu mencekik leherku sendiri
karena ia tidak mau berkompromi. Laki-laki itu, malah yang terlebih dahulu bersuara.

“Jam berapa ya? Aku lupa bawa
jam tangan.” dengan gelagapan
aku menarik tanganku dan
mencoba mengecek pukul berapa
sekarang. Aku tak habis pikir, apa
yang aku idam-idamkan selama
dua tahun terakhir akhirnya
terjadi.
Dia berbicara padaku. Dia sedang
berbicara padaku. Padaku! Aku!
Aku bukan rumput yang
terlupakan! Dia telah meraih
anganku!

“Jam setengah tujuh lebih lima." jawabku, sebisa mungkin kulancarkan agar tidak
menimbulkan spekulasi yang
tidak-tidak pada benaknya.
Tapi, aku heran, mengapa ia tidak
melihat jam di ponselnya. Atau
jangan-jangan, ia memang punya
tujuan terselebung.
Aku berharap yang tidak-tidak.
Segalanya tampak terancang
indah. Jika akulah sang
Penghendak maka pasti akan
lebih indah lagi dari ini.
Sayangnya, aku bukan Dia. Dia
yang begitu Agung menciptakan
takdir. Sedang aku, malah
menyebutnya kebetulan karena
aku tak percaya kenyataan pahit.
Aku menganggapnya sebagai ilusi.
Padahal, Tuhan, pasti
menciptakan rancangan waktu
yang lebih indah daripada yang
aku pikirkan.
“Oh, makasih,” jawabnya –
tersenyum. Lagi-lagi, bayanganku
tentang dirinya semakin
sempurna. Aku kini melihat
senyumnya. Sebuah simbol yang
mendekatkan jarak antar dua
manusia. Itulah senyum, itulah
fungsi senyum yang sebenarnya.

“Kamu naik bus jurusan apa?”
Aku tergagap. Ini pertanyaan
yang tadi tersimpan erat dalam
benakku. Dan kini, ialah yang
dengan sukarela menanyakannya.
Haruskah aku menjawab, “Kau
tahu, aku ingin menanyakan hal
ini terlebih dahulu untukmu."

“Aku naik bus jurusan Samirana,”
“SMA Garuda?” tebaknya. Aku
hanya mengangguk malu.
Bagaimana bisa pembicaraan ini
mengalir begitu saja. Aku ingin,
pembicaraan ini akan terus
mengalir. Seperti angin yang tak
pernah berhenti berhembus. Tapi,
aku ingin angin tahu, bahwa ia
meninggalkan jejaknya padaku.
“Kalau kamu?” aku mencoba balik
pertanya, berharap akan timbul
pertanyaan-pertanyaan berikunya.
“Aku naik bus jurusan Braja. Mau
ke SMA Harpan.” ujarnya sambil
lagi-lagi – tersenyum.

Pembicaraan terus berlanjut.
Kami berbicara tentang hal-hal
sederhana sampai yang rumit.
Dari yang tidak terpikirkan
sampai yang menjadi beban.
Segalanya kami saling bercerita
Saling memberi informasi.
Aku harap ini tak berakhir pagi
ini. Aku harap ini tak berakhir
hari ini saja. Masih ada hari esok
untuk saling bertukar sapa dan
bercerita. Aku harap tak akan
berakhir.

Tiiinnnn....!!!!

Suara klakson tiba-tiba membuyarkan lamunanku. Aku
berada di luar trotoar, mendekati
tempat pemberhentian bus. Dan
semua bus telah geram dengan
keberadaanku yang tidak tepat.
Aku segera berjalan mundur
sambil menunduk – malu.
Dan tiba-tiba semua terlihat
begitu nyata dengan eksata-eksata
yang ada. Ekspektasiku hancur
sudah. Lebur dalam hembusan
angin yang mengalir entah kemna
Ternyata semua hanyalah semu.
Tidak ada yang benar. Semua
hanya berada dalam pikiranku.
Beradu dalam ilusi yang aku pikir
– itu pasti nyata.

Tapi ternyata tidak ada
perkacapan sistematis yang
terjadi, semua hanyalah ilusiku –
yang sering kukatakan kebetulan.
Makanya aku menyebutnya
kebetulan – karena akulah yang
membuatnya dalam alam pikirku.
Bukan takdir – yang nyata Tuhan
ciptakan.
Karena takdir Tuhan tak bisa
kuprediksi. Aku hanya bisa
berekspektasi sampai segalanya
menjadi doa-doa – semoga
menjadi kenyataan. Sampai
akhirnya, aku tak bisa
membedakan mana yang nyata
dan mana yang semu.

Kulihat, laki-laki itu telah
bergegas masuk ke dalam bus.
Bus jurusan Bantala, dan bukan
bus jurusan Samirana seperti apa
yang ada di dalam ilusi.
Semua tiba-tiba terhempas, dan
hempasannya terhembus oleh
angin. Aku ilusi, aku hanyalah
ilusi pagi yang memuja-muja
emosi terindah pertama yang tak
kunjung mendekat.
Semua terhempas, terinjak oleh
roda-roda mesin berbaja yang
melaju dengan kecepatan tinggi.
Angin meninggalkan rumput yang
telah terporak-porandakan. Tidak
ada yang nyata. Dan klakson-
klakson hina itu telah
menghancurkan khayalanku.
Aku menatap laki-laki itu. Laki-
laki yang ingin aku sapa setiap
pagi. Tapi ternaya, aku tidak
punya keberanian untuk bertukar
sapa dengannya.

Sampai akhirnya kami tidak
pernah bertemu lagi di halte, aku
belum juga bisa mengucapkan
selamat pagi kepadanya. Entah di
mana ia sekarang. Kelu dan sesal
masih tertinggal.
Misiku yang telah terpendam
bertahun-tahun, akhirnya
kunyatakan gagal. Pertama adalah
pertama, dan tak akan
tergantikan.
Walaupun aku tak pernah mampu
dan aku tak pernah berani
mengucapkan selamat pagi
kepada-nya. Tapi rutinitas setiap
pagi itu akan terus kukenang.
Sebuah perjuangan konyol untuk
melihat sosoknya di pagi hari
Sosok yang telah terhormat
menjadi bagian dari kisah
romanku. Dialah yang jadi awal.
Yang jadi cinta pertama sebagai
angin yang tak pernah melihat
sejumput rumput.

Mungkin, esok – entah berapa
lama masa yang akan terlewatkan.
Aku mulai berekspektasi (lagi) –
bahwa aku akan bertemu dengannya lagi. Dan pada hari di
mana aku akan bertemu dengannya, lidahku tiada kelu lagi, bibirku tiada rekat lagi. Dan aku akan sanggup mengatakan. "Selamat Pagi Angin..."

Thursday, August 14, 2014

Penantian, Hujan, dan Pelangi.

Dalam sepotong sore di bawah
gelitikan hujan yang menyerbu, tawa tercipta di tengah gemuruh nada hujan yang sendu. Menunggu berhenti hujan, menghentikan dingin yang menyerbu dengan senyum hangatmu yang kunikmati adanya.
Kau bercerita, seolah hanya aku dan kamu yang akan tau apa maknanya. Kau menghadirkan kisah-kisah yang kau ceritakan padaku setelah hujan berlalu. Kau ceritakan, diam-diam kau taruh harapan di setiap hujan datang, agar setelah hujan hilang, harapanmu datang dengan sebuah
pelangi yang begitu indah...
Aku juga ingin seperti itu, menaruh harap pada hujan yang mencipta pelangi yang indah, seperti kini, aku menaruh harap setelah ketidak jelasan ini, kau akan ceritakan kejelasan indah akan apa yang namanya cinta, dan kejelasan akan kata bahwa “Cinta tak arus saling memiliki...”

“Sampai kapan kamu akan
menunggu hujan?” Tanyaku.
“Aku tidak tau.”
“Kenapa kamu suka hujan?”
“Nada titik hujan di atas atap terasa seperti seruling alam yang
mengantar dalam tidur panjang.
Melodi hidup, aku menyebutnya
seperti itu. Saat semua ketenangan bisa kudapatkan tanpa harus memikirkan apa pun.” Jelasnya panjang lebar.
Aku hanya diam. Tak lama Bayu
bertanya padaku.

“Apa kau suka hujan?”
“Tidak.” Kataku sambil berdiri
menatap rintik hujan yang belum
reda.
“Kenapa?”
“Aku tidak suka hujan, hanya saja
aku suka pelangi.”
“Tapi, kau harus menikmati hujan
sebelum menemukan pelangi.” Katanya.
“Aku tidak mau.”
“Lalu untuk apa kamu disini?”

Sejenak aku diam, memikirkan
jawaban yang kian sangat berat
kuucapkan, beberapa detik dalam
keheningan, aku menjawab...

“Untuk mu...”
Ia memelukku dengan eratnya. Tawa kami terlepas disana. Namun tetap sesak masih menyergap. Percakapan kami tak berakhir disana.
Kuambilkan secangkir teh hangat
untuk kami.

“Aku paling suka teh buatanmu.”
Bayu berkata.
“Apa bedanya memang? Ayolah
sudah kamu tidak usah berkata
seperti itu!”
“Memang benar, di dalamnya ada
beribu kemanisan cinta kan?” Katanya sambil tersenyum.
“Kamu berani berkata cinta? Ah
gombal!” Timpal ku.
“Kamu kan wanita yang selalu ada
saat keadaan apapun aku, bukan?”
Dia tersenyum, sembari merangkulku. Aku pun tertawa
bersamanya. Entahlah, ini benar
atau salah, tapi Bayu memang selalu seperti itu. Kami selalu seolah berkata tentang cinta, menghabiskan waktu bersama, namun tak selalu...
Ada kalanya, Bayu menggenggam
jemari kekasihnya, Hanny, sahabat
baikku.

Aku dan Bayu berteman sejak kecil, suatu hari ku kenalkan ia dengan Hanny yang juga sahabatku. Dan kini mereka adalah sepasang kekasih.
Bayu sangat mencintai Hanny,
begitupun sebaliknya.

Aku mencintai Bayu? Atau sebaliknya???

Bagaimana cinta sebenarnya? Mungkinkah cinta Bayu terbagi, sedang ia hanya punya satu hati.

“Heh Bill!”
Aku terbangun dari lamunanku.

“Eh iya!??”
“Kamu melamun?”
“Tidak.”
"I love you Billa, itu cukup enak
untukmu?”
Love you too.”

Tawa kami memecah hujan yang
masih lebat. Entah tawa pertanda
apa. Kami selalu mengumbar kata
cinta, namun, kosong, tak berisi
apapun disana.

Tak lama, suara handphone Bayu
memecah tawa. Terlihat satu panggilan masuk dari Hanny Mustika, Bayu langsung menjawabnya.

“Hallo sayang...”
“Eh ada apa?” Tanya Bayu.
“Besok pagi kita jadi bertemu?”
Sebelum menjawab pertanyaan
Hanny, Bayu menatapku, dan aku
menyuruhnya meng-iyakan ajakan
Hanny.

“Iya sayang..”
“Aku tunggu di taman jam 8 ya
sayang”
“Iya, I love You Hon...
Love you more, Bay...”

Bayu menutup telfonnya dan
menatap kepadaku.

“Mengapa wajahmu seperti itu?” Tanyanya.
“Tidak.”
“Kamu cemburukan? Tenang, aku cuma sayang sama kamu kok Bill”
“Ah kamu.”
“Aku pulang ya Bill? hari sudah
petang”
“Boleh aku meminta sesuatu?”
“Apapun Bil.”
“Aku tidak mau sendiri.”

Bayu hanya tersenyum, ia mengerti maksudku. Aku tak ingin ia pulang.
Aku ingin ia menemaniku sampai
aku terlelap. Entah mengapa, tapi
aku sangat percaya, ia tak akan
berbuat apapun kepadaku. Aku
tertidur dalam dekapnya malam itu.
Dalam lelap, aku masih bisa
mendengar suaranya dan kecupan
dia di keningku.

“Selamat tidur bidadari cantik, I Love You...”

Kala terbangun, Bayu sudah tak
ada dalam mendekapku. Aku
mencarinya, ia sudah rapi, dan wangi kala itu.

“Baru bangun Non?”
“Kenapa kamu tak membangunkan
aku?”
“Kamu tertidur sangat pulas.”

Aku membuka jendela..
“Hujan belum berhenti Bay? Kamu
tetap mau pergi?”
“Iya.. Hanny pasti menungguku.”

Aku...? ah... sesak itu menyergap, ya aku cemburu... Tapi, aku sadar di sisi lain aku berdosa, mengkhianati sahabatku sendiri.

“Billa... cepat mandi!”
“Bay, apa aku bersalah?”
“Bersalah apa maksudmu?”
“Kau kekasih sahabatku sendiri, tapi aku…”

Bayu memotong ucapanku.
“Ssst.. bicara apa kau ini? Ayo cepat mandi!”
Sambil tersenyum aku tetap merasa berdosa.
Aku akhirnya bersiap untuk
mengantar Bayu menemui Hanny
diam-diam tanpa Hanny tahu.

Kami berangkat, hujan masih lebat dari semalam, dalam perjalanan, aku berkata.

“Hujan tak juga reda.”
“Ya... ini suasana paling indah.” katanya.
“Apa ini berarti tak akan ada pelangi? atau aku harus menunggu
lebih lama lagi?”
“Haha kamu lucu Bill. Aku tak akan
membiarkan kamu menunggu lebih lama lagi.”

Dia mengusap kepalaku. Aku benci
menunggunya, seperti menunggu
sebuah pelangi yang tak kunjung
datang.

“Sudah sampai Bill, apa aku harus
kesana menemuinya?” Tanyanya
ragu.
“Kamu mencintainya bukan?”
“Kamu tidak cemburu?”
Aku hanya tersenyum. Dan aku harus menunggu, lagi.

Bayu keluar membawa payung,
disana terlihat Hanny yang sudah
basah kuyup menunggu Bayu.
Mereka berbincang dalam hujan, ku lihat Bayu mengeluarkan sesuatu, sebuah cincin. Ia melamar Hanny.

Aku teriris. Aku berfikir untuk apa
aku disini? Untuk Bayu? Untuk
kekasih milik orang lain? Aku
menulis sepucuk surat untuknya.

Aku merasa, tak akan kutemukan pelangi dalam hujan kali ini. Aku tak mengerti dengan cinta. Terutama cinta yang selalu terucap oleh mulutmu namun hampa. Aku bingung menafsirkannya.
Bagaimana jika benar aku mencintaimu??? Namun kamu bersamanya??? Aku akan pergi.
Dalam hujan ada nada sendu untuk ku kenang kamu. Dalam hujan berbisik senandung liar 1001 cerita tawa tentangmu. Dalam hujan, kuselipkan harapan, seperti kamu... Berharap pelangi datang dan aku berhenti menunggu...
I Will Miss You Bayu...

Aku pergi. Entah kemana. Mungkin
menunggu. Ke tempat yang tak akan Bayu temukan. Setelah pernikahan mereka, mungkin aku baru akan pulang.

Di tengah perjalanan, aku tak bisa melihat jelas karena hujan. Dari belakang, ternyata sebuah mobil menabrak seluruh ragaku dari belakang. Entah apa yg aku rasa setelah itu.

Aku bangun, masih di tempat tadi,
tak kurasakan sakit sedikit pun.
Ragaku masih utuh seperti tadi.
Hujan sudah reda, kulihat sebuah
pelangi indah di depan mataku.
Indah sekali. Aku sudah lama
menunggu. Aku ingin mencari Bayu, berteriak membagi tawa, ada pelangi kini.

Kulihat Bayu masuk ke apartemen
ku. Aku mengikutinya. Aku
memanggilnya, namun ia tak
menjawabku. Aku menemukannya di kamarku. Wajahnya sendu, entah apa yang terjadi.

“Bayu... lihat!!! hujan sudah reda,
pelangi Bay pelangi...”

Ia seakan tak mendengarku, ia hanya melihat sekeliling kamarku dengan wajah penuh sesal.
”Bayu... Jawab aku Bay...!!! Ayo kita
lihat pelangi!”

Ia tak menghiraukan aku, aku pun
pergi ke dapur untuk melihat
keadaan disana. Tapi tak ada yang
terjadi. Kulihat Bayu pergi keluar,
aku pun menyusulnya dan berteriak.

“Lihat Bay itu pelangi!"
Tapi Bayu hanya berjalan, entah
kemana. Aku mengikutinya dari
belakang. Ia pergi ke sebuah
pemakaman, membawa setangkai
bunga mawar. Sebuah nisan yang
tanahnya masih merah, masih
bertabur bunga segar, seperti baru
kemarin. Ku dekati, ku coba bertanya padanya.
“Bayu?”
Ia menoleh kali ini. Namun bukan
kepadaku. Ia hanya menganggap
suaraku angin berhembus kala itu.
Kudekati ia lagi, namun Bayu pergi. Aku penasaran, siapa makam itu?
Aku semakin dekat dan membaca
nama yang ada di nisan itu. Aku
tersentak, aku tak percaya dengan
apa yang aku baca. Namaku!!?
Namaku yang terukir disana. Sontak bola mataku teriris. Hujan kembali turun. Aku berlari menyusul Bayu, dan disana ada Hanny serta kedua orangtuaku.

“Mah? Pah? Hanny? Kalian bisa
mendengarku bukan?”

Aku menangis, kucoba memeluk
mereka namun ragaku menembus
mereka. Kudengar Bayu bercerita.

“Bu, maaf Bayu tidak bisa menjaga
Billa dengan baik”
“Ini takdir Bay.”
“Sebenarnya apa yang terjadi Bay?
apa???” Hanny bertanya
“Kemarin saat kita bertemu di
taman, sebenarnya Billa ada di
dalam mobil, tetapi ia pergi dan
meninggalkan sepucuk surat ini!”

Hanny membaca surat itu lalu
menangis.

“Aku jahat Bay... seharusnya aku tau Billa mencintaimu."
“Ia pergi, dan sebuah mobil
menabraknya karena kemarin hujan lebat. Pulanglah Hanny!”

Bayu kembali ke makam yang
bertuliskan namaku. Ia membawa
sepucuk surat, lalu pergi.

Kini kutemukan lengkung senyummu dalam warna indah pelangi. Kau tak perlu menunggu Bill, karena aku selalu disini. Cinta... Jika kau bertanya, kau kan tahu jawabnya. Itu aku dan kamu maka akan jadi kita...
Bidadari cantik... Kini aku yang akan menunggu. Bertemu bersamamu dalam keabadian. Tanpa batas waktu.
Dalam hujan, disana ada 1001 cerita, tawa kenangan aku dan kamu. Kau nada sendu hujan yang tak hentinya aku dengar...
Love You More Billa...
Bayu...

Ku baca, ku kenang... Kudengar nada rindu dalam hujan... Sepotong senja yang berulang kali kunikmati bersamamu. Kini aku tau pelangiku tak pernah jauh dariku. Itu kamu.

Aku selalu punya pelangi dalam
setiap peluhku. Aku sudah
menunggu. Dan kini kamu yang
menunggu. Kita harus saling
menanti untuk saling menggenggam jemari. Aku ingin menikmati sepotong senja bersama bau tanah basah sepeninggal hujan bersama
kamu, Seperti kanvas putih yang
terwarna homogen indah... Bayu...

:'( :'( :'(