Pages - Menu

Thursday, February 20, 2014

Mata Senja

Aku melihatnya berdiri di antara
barisan daun daun pohon kakao
yang cebol. Terlihat samar menyatu dengan warna dedaunan
yang menguning dan memerah
dalam waktu bersamaan. Entah dia
hanya ingin aku, atau pandangan
manusia di sekitar yang mulai
menyempit dan mendangkal
tergilas zaman, suatu keyakinan
bahwa hanya akulah yang tahu dia
ada tiba tiba terbit.
Tanpa banyak gerak, sepasang mata warna senja itu mengunci ku di dalamnya. Pupil mataku mengembang-mengempis merumuskan wujud yang tengah menatap ku pada jarak seratus meter itu. Namun semakin keras mata berusaha, semakin pudar pula pandangan.

Sampai aku menyerah, membiarkannya mewujud sesuka
hati, dan dia perlahan menyublim.
Warna senja mulai menggelap,
menjadikan cakrawala yang mulanya jingga emas menjadi
burgundi. Seperti warna anggur
dari daratan eropa, anggur vampir.
Kicauan prenjak senyap sudah,
berganti suara gemerisik serangga
serangga malam, dan sesekali terdengar desis ular sawah.

Sekelebatan kamu bergerak halus
dan cepat, menyisakan suara
desahan perawan yang kelelahan
di penghujung malam pertama.
Sosok mu lebur berelaborasi
dengan dedaunan yang gelap
terenggut malam. Aku berdiri
perlahan, mengamati mu pudar
menjadi sekitar. Sebuah tangan
yang tegap memegang pundak ku,
menuntun ku pulang, pertanda
waktu bermain telah usai. Itu
pertama kalinya kita bertemu, di
senja yang terpantul di matamu.

Kata ibu aku terlahir dengan
kondisi yang aneh. Tidak menangis
seperti bayi pada umumnya. Aku
bergumam. Suaranya seperti orang berkumur. Dokter yang menangani persalinan memukuli pantatku, mencubit pergelangan tanganku hanya demi mendengar aku menangis. Walaupun lima menit kemudian aku memang menangis keras, bukan karena naluri, tapi lebih kepada rasa perih yang menjalar di sekujur tubuh.

Yang tidak mereka tahu (termasuk
ibuku) adalah aku memang sedang
bercakap-cakap dengan sesuatu
yang pertama kali aku lihat segera
setelah keluar dari garba ibu. Dia
menyambutku dengan ekspresi
sedih. Berkata bahwa selamat aku
terlahir di dimensi tengah.

Dimensi yang paling berat karena
semua anugerah serba setengah,
setengah hati, setengah akal,
setengah mati, setengah hidup
dan setengah lainnya. Kaumnya
menyebut dimensi ini dimensi
abu-abu, tempat salah dan benar
melebur menjadi kabur. Untuk
bertahan di dalamnya, aku haruslah sekuat karang sekaligus
selembut angin. Membingungkan
bukan?.

Sampai rasa perih itu menjalar dan dia teman ku yang pertama mulai mengabur dalam
genangan air mata.

Tujuh belas tahun setelahnya aku
melepas ibu dalam hening di
suatu malam dimana pada sore
harinya aku bertemu si mata
senja.
Sejak itu, si mata senja selalu
mendapat tempat eksklusif di
ingatanku. Bukan karena kehadirannya membawa kabar
duka kepergian ibu, melainkan
ketenangan mistis yang dipancarkan sepasang mata
menakjubkan itu meresap
memenuhi ku, sehingga saat
melepas ibu, bukan rasa sedih
yang ada, namun kerelaan yang
luar biasa, yang mengherankan ku
sendiri. Karena itulah, aku kembali
ke tempat ini, tempat pertama
kalinya aku bertemu dengan
sosoknya.

Sudah delapan tahun berlalu sejak
kematian ibu, selama itu pula
kehidupan ku pasang surut seperti
air laut. Kehidupan Jakarta yang
robotis kadang menggerogoti
lubang sepi yang kian lama kian
lebar dan jelas perlu ditambal.
Rumah bergaya kolonial Belanda
itu masih kokoh, dengan berhektar-hektar pohon kakao di halaman belakangnya.

Beberapa rumah yang lebih kecil, milik pegawai pabrik pangkat rendah, berjejer berhadapan dengan bekas rumah bapak dulu. Sejak pensiun dua tahun lalu, bapak tinggal di rumah istri keduanya, ibu tiriku.

Sudah dua tahun juga aku dan
bapak putus komunikasi. Kabar
yang kudengar, bapak kena stroke
akibat jatuh di kamar mandi.
Setelah urusanku di sini selesai,
mungkin aku akan mampir, melihat bagaimana hidupnya dua tahun ini bersama keluarga barunya.

Kuparkir jip tepat di halaman
depan bekas rumahku. Saat itu
matahari sudah condong ke barat
walau langit masih secerah siang.
Angin sore bertiup pelan, melembut melewatiku. Bau tanah
basah menyergap pertanda hujan
baru saja usai. Perumahan kecil di
tengah kebun kakao ini sepi.

Beberapa manusia-manusia yang
penasaran, melihatku dengan
pandangan yang membuatku risih.
Aku berjalan menuju pinggir lapangan kecil yang berada di
samping rumah besar ini.
Kutemukan rerumputan yang
cukup lebat sebagai alas duduk,
walaupun sedikit basah, kupasrahkan tubuh lelah ini dalam
karpet alam itu. Sambil menunggu
senja, kunyalakan musik di ponsel.

Ingatan-ingatan berkelebat seperti
film yang diputar dalam kecepatan
tinggi. Masa kecil, pertengkaran
bapak dengan ibu, kematian ibu,
obat tidur yang berserakan di
lantai, ekspresi bapak yang datar,
kuliah di jakarta, mantan mantan
pacar yang membosankan, kelulusan yang hening, bapak yang
menikah, bapak yang punya anak
lagi, bapak yang bahagia dengan
keluarganya, pertemuan dengan
Bhisma, pernikahan sederhana,
tahun tahun yang bahagia, anak
yang tak kunjung datang, Bhisma
yang putus asa, Bhisma yang
menuduh, Bhisma yang melacur,
Bhisma yang kecanduan, Bhisma
yang menyedihkan, Bhisma yang
selalu aku cinta, Bhisma yang
teronggok di ruang khusus RS
umum. Bhisma yang selalu
termaafkan dan...sepasang mata
senja yang dulu pernah menyapa.

Aku tersadar. Desau angin hilang, dan waktu seakan berhenti bergulir. Hening yang solid mendekapku. Aku mengamati sekeliling. Senja datang.

Akhirnya... Langit warna burgundi, sama seperti waktu itu. Aku mencarimu dalam diam. Mengamati deretan kakao yang gelap dan rapat. Tidak seperti saat itu, kali ini aku begitu berusaha menemukanmu. Apa diriku tidak sejernih dulu sampai sepasang mata senjamu enggan bertatapan.

Hampir putus asa aku dalam diam, berusaha berkonsentrasi pada pemandangan statis sampai mataku yang jelata menemukan junjungannya.

Sepasang mata senja. Apa kabar
kawan lama?

Pesonamu selalu sanggup
menundukkan hasratku. Dari yang
blingsatan mencarimu, gerakanku
melamban, sampai benar benar
terhenti. Kita saling memandang,
dalam diam. Mencoba mencari
sesuatu yang aku yakin ada dalam
dirimu.

Rambutmu melambai terurai
malam. Beriak tenang bagai
gelombang air danau. Di antara
pepohonan kakao yang cebol, aku
kembali menemukanmu. Senja
sudah lalu, namun sepasang mata
itu tetap menyimpannya dalam
wadah abadi milik sesosok mahkluk dimensi lain.

Aku meminta, kamu berikan.
Aku bertanya, kamu hanya
diam.
Terka !!! perintahmu.
Cari !!! serumu.

"Ingatkah kau padaku?" Tanyamu.

"Aku ingat." balasku.

"Kita pernah bertemu bukan?"

Kamu setuju. Mengangguk.

Saat aku masih berlumur darah garba ibu. Kamu berdecak kesal.

"Maaf." Pintaku

"Sekarang kamu sudah tau bukan."

"Ya." jawabku.

"Perbatasan selalu menyakitkan."

"Ya." jawabku.

"Sedikit lagi semuanya akan kembali seperti semula."

"Aku tidak mengerti."

"Tidak perlu." katamu.

"Lalu?"

Bunyi ponsel. Nyaring. Susi, suster jaga.

" Halo?"
Tidak jelas kata-kata yang kudengar. Ucapan dan isakan
keluar dalam waktu bersamaan, menimbulkan suara berdeguk yang menjijikkan. Cukup dua puluh
detik, dan selesai sudah.

Ketenangan yang aneh mengaliri
persendianku, meringkus sesak
yang kutahan berbulan bulan
lamanya. Inilah yang kucari.

Pembebasan.bSosokmu sudah pudar. Menyatu dengan malam.
Aku duduk sendiri, berteman
sunyi. Angin kembali bertiup. Kali
ini, putarannya berpusar di dalam
ragaku. Pelan, menyejukkan.

Setetes air mata jatuh, kata-kata
perpisahan mengalir bersamanya.

Aku memencet nomor yang
kukenal. Nada sambung terdengar,
lalu suara bariton menyapa.

"Bapak, Bhisma sudah pulang.
Minta doanya!".

*Nggak tahu sebenarnya ini cerpen kisahnya bagaimana. Ini cerita di tulis pas pikiran sedang kacau.

No comments:

Post a Comment