Mendakiku dan kejejaki angin tertunduk.
Berlariku dan kukejari kinar bertanduk.
Aku temukan baraku, bak menyeka asa di hamparan langit biru.
Aku tertelan dalam raga yang setengah utuh.
Masih ada lagi sisa yang harus aku penggal hingga menjadi padu.
Harus ada setelan tertata.
Hatiku harus melangkah ke arah yang lebih kekar, bukan langkah ambigu.
Aku terkesima melihat buaiannya, tertunduk malu memasang raut wajah kikuk setengah bingung. Itu aku, tapi entah mengapa semua orang sangat tertarik dengan namaku.
"Kiran Sasikirana, apa artinya itu?"
"Aku tak tahu, belum kutanyakan
pada ibuku."
"Kalau begitu besok tanyakan pada
ibumu!"
Orang - orang hanya tertawa, aku
selidiki gelagat wajahnya. Ternyata
ada yang lucu dengan tingkahku,
katanya. Tak tahu arti nama sendiri.
Ibuku tak pernah menceritakannya.
Akupun tak begitu tertarik, apalagi
bertanya. Sebenarnya apa yang
menarik di dalam hidupku? Rasanya tak ada samasekali.
"Artinya adalah Cahaya bulan yang
amat terang." Jelas ibuku.
"Kapan aku menanyakannya,
sebenarnya aku pun tak mau tahu
artinya apa." kataku dalam hati.
"Kau lupa kalau ibumu paranormal? Aku bahkan tahu apa yang sedang kau pikirkan."
"Benarkah? Lalu tahukah ibu tentang perasaanku selama ini?" Kataku dalam hati.
Aku tak bergeming dalam sekatan
ibu yang mulai membacakan
mantranya. Aku tak tahu apa yang ia lakukan, aku selalu melihat guratan lelah di dahinya setiap kali ia habis membaca mantra.
Siapa dia? Ibuku,
sesuai KTP dan akta kelahiranku.
"Nah, sudah tahu arti namamu apa?"
Tanya kakak senior lagi kepadaku.
Entah apa yang membuatnya begitu penasaran.
"Cahaya bulan yang amat terang."
Jawabku ringkas, berharap ia puas
dan berhenti menggangguku.
"Itu sesuai dengan dirimu."
Tungkasnya, membuatku kaget.
Semula aku merasa ia akan
melakukan sesutu yang menyakitiku seperti anak baru lainnya yang ia bully.
"Ini untukmu. Mulai sekarang, sering-seringlah tersenyum karena kau itu manis, kau adalah cahaya bulan yang amat terang." Laki-laki itu tersenyum renyah, memberikan setangkai bunga dan
meninggalkanku. Ia pergi dengan
teman - temannya.
Apa maksudnya? aku tak mengerti.
Rasanya aku ingin menari. Berdecak kagum akan diriku, aku merinding, seperti inikah yang dinamakan tersipu? aku tak tahu lagi seperti apa warna wajahku. Mungkin merah atau sedikit berubah menjadi bara.
Hatiku terasa luluh, ada aliran sejuk yang menenangkan dan membuatku terbawa arus. Bahagia.
Perasaan bahagia itu cuma terjadi
selama satu jam lima belas menit.
Setelahnya aku kembali terpuruk, di dalam kelas menjadi yang terbodoh, nilai jelek, tak berprestasi dan tak punya teman. Itu aku? ya aku masih ingat itu namaku. Pelajaran bahasa indonesia, kami harus membuat
puisi tentang ayah. Aku terpaku,
melemas, memutuskan untuk pergi meninggalkan kelas. Aku benci puisi, aku benci pelajaran bahasa indonesia, aku ingin melarikan diri. Dimana saja, tempat dimana aku
bisa menangis.
"Ada apa ini? kenapa Bulan menjadi mendung?" Berdiri tegak seorang anak lelaki melihatku, seorang gadis yang memandangi taman, dia si kakak senior.
"Sedang apa kau disini?
pergilah."Kataku ketus.
Ia hanya mengernitkan keningnya. Aku sebenarnya tak mau ia pergi, tapi bibirku berkata lain.
"Kalau begitu aku membencimu."
Katanya lagi.
"Kenapa kau membenciku?" tanyaku penasaran. Aku tak mau orang ini benar-benar membenciku.
"Aku tahu namamu dan kau tak tahu namaku. Itu tak adil! Namamu KirannSasikirana, bahkan aku tahu artinya
Cahaya Bulan yang amat terang.!"
Benar juga aku selalu melihatnya
tapi tak tahu siapa namanya.
"Namaku Lintang Lazuardi. Kau tahu artinya apa?" katanya lagi.
"Tidak, apa?"
"Bintang di langit biru, dan itu
berarti aku bisa terus bersama -
sama dengan bulan yang amat
terang. Karena tempat kita sama -
sama di langit biru." terangnya lagi
sambil tersenyum.
Andaikan saja aku bisa
mengatakannya. Aku juga ingin
berada di langit bersama bintang,
hanya satu yang seperti dirinya.
Lidahku keluh, gemetar, sesuatu
membuncah di dadaku. Tak bisa
terlalu lama memandangnya, aku
takut meledak. Hatiku.
"Jadi ini gara-gara pelajaran bahasa
indonesia?"tanyanya lagi melihat
setumpuk lebam habis nangis
dikantong mataku.
"Bukan, ini karena puisi."
"Kau tak suka puisi?"
"Ya. kami disuruh menulis puisi
tentang ayah."
"Bukan karena puisi tapi karena
ayah?"
Mengapa ia terlalu banyak tahu
tentang diriku. Aku bahkan tak
mengatakan apapun. Ia seperti ibu.
"Apakah kau juga paranormal?"
Tanyaku memastikan.
"Tidak. Aku separuh dari dirimu."
Ia mengatakan dengan mantap, aku tak bergeming. Andai ia tahu, andai ia tahu kalau aku disini karena ayah. Aku benci ditanya tentang ayah, karena aku tak punya ayah. Aku lahir tanpa ayah, ibu dan orang lain yang mengatakan, aku anak terlarang yang lahir di luar nikah.
"Bukankah sudah kukatakan.
Berhentilah membenci dunia dan
tersenyumlah. Karena kau adalah
bulan yang amat terang, yang indah bila terus tersenyum bersamaku."
"Bersamamu?"
"Ya, bintang dan bulan harus
bersama. Memberikan sinar dan
terangnya kepada dunia. Karena
mereka membutuhkan kita. Lebih
dari kita membutuhkan mereka.".
"Apa maksud dari semua itu?" aku
gemetaran, berusaha memastikan
apa yang ingin ia katakan.
"Kemarilah." Lintang menarik
tanganku tanpa ijin dan seketika
kami sudah berada di suatu tempat. kolong langit.
"Lihat itu. Aku hanya ingin satu
yang seperti dirimu disana,
bersamaku. Kelak dan selamanya."
Lintang masih terus menunjuk
kearah langit sementara aku masih
tak bisa percaya. Tuhan memberikan bintang paling indah di dalam hidupku. Lintang Lazuardi.
No comments:
Post a Comment