Pages - Menu

Wednesday, January 8, 2014

Forever

Kutemukan siluetmu dalam memoryku, dikala senja kemuning menyelusup pekatnya kesedihan.

Waktu adalah luka terbesar dalam hidup. Luka, bagi mereka yang hidup dalam kenangan, termasuk aku.
Aku ingat, senja lalu tak pernah seperih ini. Tak ada potongan-potongan kecil memory yang mengiris hati yang rapuh.

Aku mencintaimu. Dulu, kini dan nanti. Aku tidak memilih mencintaimu. Namun takdir telah memutuskan, aku akan hidup untuk mencintaimu. Meski kau tak hidup untuk menerima cintaku.

Aku masih mengingatnya. Tiga tahun yang lalu. Kala itu kau masih berupa putri kecil yang mencoba tumbuh dewasa. Sedang aku pria biasa yang kekanak-kanakan.
Aku tidak pernah tahu, dari sekian banyak pria di bumi ini. Kenapa kau harus menitipkan sedikit cintamu padaku. Pada pria yang baru kau temui 4 hari. Pada pria yang baru satu jam kau ajak berbincang melalui pesan singkat. Dan entah mengapa akupun menerimanya. Mungkin ini yang dinamakan rencana Tuhan.

“aku sayang kamu."
“hm gombal."
“serius."
“hm iya iya."
“kamu sayang aku nggak?"
“nggak tau."
“iih serius."
“hehe iya aku sayang kamu."

Kau pun berlalu dengan senyum manis berpendar di bibir tipismu. Meninggalkanku tertinggal di pekatnya
jalan Siliwangi. Tak banyak waktu berdua yang kau habiskan bersamaku.

Satu-satunya waktu itu adalah setiap hari sebelum kita berangkat sekolah. Berbagai alasan pun muncul, sekedar mengerjakan PR, menunggu waktu sekolah, atau mempelajari sedikit materi ketika akan ujian.
Namun itu tak lebih dari sekedar alasan agar aku bisa menghabiskan waktu berdua.
Mendekapmu dalam bisu, atau mencumbu bibir tipismu dalam rindu.

Hari ini. Tepat tujuh tahun sejak janji itu. Aku bukan remaja kekanak-kanakan lagi. Kini aku telah menjelma pria dewasa yang siap bersaing di tengah masyarakat.

Dengan gelar sarjana Tekhnik yang
sebentar lagi aku dapatkan, aku siap membuka sebuah cabang baru restoranku.
Cukup membingungkan bukan. Cita-citaku dari kecil memang membuka sebuah restoran. Selain karena aku menyukai makanan, faktor ayahku yang seorang koki pun mendorong cita-citaku untuk menjadi kenyataan.

Sehari yang lalu aku
memberanikan diri memfollow twitternya. Sekaligus memention untuk memintanya hadir di acara wisudaku, namun Tidak ada balasan dari dia. Entah dia tidak membacanya atau dia memang malas untuk membalasnya.

Hari ini aku dengan togaku bersanding
dengan ibuku yang mengenakan kebaya
merah berpadu kerudung krem. Sedang
ayahku. Ayahku melihatku dari sana, dari dunia tempat mereka yang tiada.

Dalam riuhnya susasana wisuda, aku membalas ucapan selamat dari kawan-kawanku. Diselingi sekali, dua kali jepretan dari tukang foto. Hingga acara wisuda itu selesai. Dia tak datang. Entah apa alasannya. Namun aku pun tidak terlalu mengharapkannya. Aku mengerti, enam tahun tidak berkomunikasi. Lalu tiba-tiba hadir hanya untuk memintanya datang ke acara wisuda pria yang pernah menyakiti hatinya. Ya dua kali aku menduakannya.

Namun aku hanya pria kekanak kanakan waktu itu. Berbeda kini yang mengerti
artinya sebuah ketulusan.

Melalui silir senja, matahari pun kembali
ke belahan lain. Meninggalkan malam sebagai gantinya. Iseng-iseng aku membuka twitter.

"Selamat ya udah jadi sarjana, maaf aku nggak bisa dateng."

sebuah balasan darinya menghiasi muka laptopku. Jujur saja, aku sangat bahagia waktu itu. Sepertinya dia sudah mulai melupakan kesalahanku dulu.

“makasih ya. Iya gapapa
hehe.” jawabku dengan sigap.

Malam itupun terasa indah seperti dulu. Malam yang takbpernah kudapatkan selama enam tahun ini.

Sejak hari itu, kamipun berbalas pesan.
Aku rasakan canda tawanya yang dulu
riuh diantara kita. Meski tak melihat
wajahnya, namun setiap balasan yang ia
buat slalu membawaku kepada memori dia tujuh tujuh tahun lalu. Sepertinya cemetibcinta mulai mengiris hatiku lagi. Dan aku bahagia. Sebulan sudah kami
berkomunikasi lagi. Tidak lagi di twitter, namun kini sudah melalui pesan singkat bahkan sesekali menelpon. Tak jarang pulabkami menghabiskan waktu berdua berkeliling mendatangi tempat-tempat hiburan. Dan aku rasa hubunganku pun sudah lebih membaik
dengannya, dan aku pun berharap akan
semakin membaik. Semoga saja ada
kesempatan dimana aku bisa mengulang
kembali kenangan bersamanya.

Namun malam itu aku berharap aku tak
pernah bisa berkomunikasi lagi dengannya.
Malam itu dia menelponku dengan tersedu, aku sendiri bingung dengan tingkahnya. Namun tak lama kebingungan itu pun berubah menjadi kebencian dan kepedihan.

Sedikit penjelasan lalu dia mengundangkubuntuk menghadiri acara pernikahannya esok hari.
Tanpa banyak kata aku mengiyakan dan langsung menutup telponnya.

Aku kehabisan kata, malam itu aku habiskan dengan melamun sepanjang malam. Entah apa yang aku lamunkan.
Hanya kosong yang ada dipikiranku.
Sebulan yang lalu ketika aku mengundangnya di acara wisudaku, dia
bertunangan. Bertunangan dengan pria
yang sudah menjadi kekasihnya enam tahun sejak kepergianku. Sakit memang, namun inilah kenyatannya. Inilah rencana Tuhan.

Rencana untuk menjadikanku gangguan
sebelum dia menikah dengan kekasihnya. Ya memang banyak yang bilang, ketika akan menikah akan ada gangguan yang kuat, yaitu orang dari masa lalu. Tetapi aku tidak pernah berpikir jika akulah yang akan menjadi orang masa lalu itu.

Esoknya aku datang ke pernikahannya.
Menggenakan celana dan jaket jeans. Akubterlihat mencolok dibandingkan orang lain yang mengenakan batik ataupun jas. Aku terlihat lebih urakan.

Di depan pintu masuk aku melihatnya tersenyum menyalami orang-orang yang datang.
Senyum penuh kebahagiaan menurutku.
Tapi entahlah. Sedikit demi sedikit
senyum itu mulai memudar dari bibirnya, seiring dengan tubuhku yang mulaibmendekat. Setiap langkahku kurasakan hatiku semakin sakit, terasa seperti dikoyak ribuan kesakitan.
Aku tarik nafas sedalam-dalamnya, lalu aku tersenyum sembari menjabat tangan mempelai prianya.
Ketika aku akan menyalaminya, kulihat
embun dimatanya menetes. Riuh, membuat orang yang melihatnya keheranan. Sontak aku berbisik ditelinganya
“kau jangan menangis, ini sudah rencana Tuhan. Jika kita tak bisa bersatu di dunia, mungkin kita akan bersatu di akhirat. Aku mencintaimu, dari awal hingga nanti. slalu”.
Akhirnya diapun mengusap air mata di pipinya. Dan aku pergi melihatkan
diriku yang mulai membias dari kerumunan orang-orang.

Setahun adalah waktu yang dirasa tuhan
cukup untukku denganmu. Namun enam
tahun masih dirasa tuhan belum cukup
untukku melupakanmu. Dan entah
mengapa aku masih berharap bisa
merasakan cinta yang dulu pernah kau
berikan.

Mereka slalu menanyakan, kenapa kau harus berhenti di wanita pendek, gendut dan lebih tua darimu. Sedangkan diluar sana masih banyak wanita yang lebih cantik dan lebih segalanya dari dia.

Bahkan wanita yang telah kau sia-siakan pun lebih darinya bukan ? namun merekabtidak pernah mengerti.

Cinta tidak perlu sebuah alasan, namun ketulusan-lah yang akan mendasari cinta.

No comments:

Post a Comment