Pages - Menu

Thursday, January 30, 2014

BBM Android Gingerbread

Kabar gembira buat pengguna android versi gingerbread. Akhirnya BBM4Android Gingerbread bisa di install di device anda. Seperti yang kita ketahui sebelumnya, BBM4Android hanya bisa di install pada versi ICS ke atas.
Meskipun ini hanya versi beta, karena BBM Android Gingerbread versi resmi kabarnya baru akan di rilis bulan Februari (katanya)

Dan langsung saja yang penasaran pengen nyoba BBM Android Gingerbread (Beta) bisa langsung download di sini

*Aplikasi ini sudah dicoba di Galaxy Mini dan Galaxy Young punya saya pribadi. Dan alhamdulillah berhasil.

Kerusakan pada Device anda, sepenuhnya menjadi tanggung jawab anda sendiri. :) :)

*Terimakasih buat Agan Rochy Hardiyanto yang sudah mengajari saya banyak tentang Android. :*  :*  :*

Thursday, January 23, 2014

Angin

Kamu seperti angin. Kamu selalu
menyejukkanku. Sejak hari itu, tujuh bulan-dua belas hari yang lalu, awal kita bertemu.

Gedung sekolah ini sepertinya menjadi saksi bisu bagaimana senyummu membuatku mabuk kepayang. Senyum yang muncul disebuah senja di sebuah acara test penerimaan murid baru sebuah sekolah swasta.

Senyummu seperti angin yang menyegarkan ditengah teriknya matahari senja itu. Dan sejak saat itu aku terus memikirkanmu, bahkan mencintaimu.

Secepat itu kah...?
Tabu...?
Apa yang menurutmu tidak tabu dalam cinta...?
Semua ini alami, nyata, dan kurasakan sendiri meluap di dalam dadaku. Rasanya dadaku terus berdebar aneh, dan senyumku selalu tersungging lucu ketika aku mengingatmu.

Bahkan, ketika sehari tidak melihatmu aku rindu. Tapi, semua tetap kusimpan di sini, di hati dan otak ini. Tak pernah kusampaikan. Lebih tepatnya, aku malu menyampaikannya.

Aku bukan lelaki penggombal, dan bahkan
aku tak tahu harus bagaimana memulai
perbincangan denganmu. Yang hanya bisa
kulakukan hanyalah terus berkhayal
semalam suntuk tentang kita berdua.
Iya... berdua. Kita saling berangkulan, saling mengucapkan cinta.
Ahhh... sungguh manis nian rasanya.
Tapi, semua itu berubah jadi asam hari ini.

Hari dimana aku mencoba berbicara (secara terbata-bata) kepadamu. Mengungkapkan apa yang kurasakan. Aku justru neat, dan well, sakit hati
justru yang kudapatkan. Bukan malah sebuah kata indah seperti,

"Aku juga mencintaimu."

Justru yang aku terima adalah beberapa
kata-kata sarkasme tentang fisik yang
katamu aneh. Lalu semua itu kamu akhiri dengan pergi meninggalkan aku dan hatiku yang berserakan di pinggir gedung sekolah tua inu. Seketika aku hancur.

Akhirnya aku sadar, kamu memang angin.

Kamu memang datang hanya untuk menyegarkanku, tapi tidak bisa kumiliki. Aku bahkan tak bisa memeluk angin.
Angin terlalu anggun untukku.

Wednesday, January 22, 2014

Kau...

Oktober, 2013

Semuanya berakhir hari ini. Penantian
buta itu terhempas begitu saja sore tadi,
entah keberanian darimana yang membuatku mampu mengucap selamat tinggal dan semua yang kurasakan.

Padahal jika kupikir ulang, bagaimana aku bisa mengucapkan selamat tinggal kepada orang yang selama ini tidak pernah menjadi milikku?

Tapi sudahlah...
Aku yakin ini bukan sesuatu yang salah,
karena bukankah selama inipun aku sudah
cukup lelah, tiap saat terus mengalah, ya
kan? Apapun yang terjadi besok, aku harus mampu membawa senyum.

"Althought it just a pretend."

Biar sajalah, cukup bantal, guling
dan setumpuk kertas di kamarku yang
memahami, bahwa hatiku tak lagi bertepi.

Kututup buku kumpulan puisiku. Malam ini, tidak seperti malam-malam sebelumnya, ada duka yang bergelayut mesra di pinggir hatiku, ada duka yang tak terbayangkan sebelumnya.

Tiba-tiba dadaku sesak, apa yang terlewati kembali teringat dan menari-nari di angan, mempermainkanku dan seakan menyuruhku untuk mengingkari apa yang sudah menjadi keputusan.

Air bening itu kembali mengalir, menyusupi kelopok mataku yang lelah.
Kucoba berdiri terbalik, kutaruh kepalaku di bawah dan kakiku diatas, persis seperti saran Vic Chou pada Sanchai di film Meteor Garden, tapi nihil… Air bening itu tetap mengalir.

Kuputuskan keluar dari kamarku
yang pengap, kupandangi meja makan, dapur, ruang tv, semua sepi. Aku baru sadar, ternyata ketika kesedihan bercumbu dengan kesunyian, mereka hanya mampu melahirkan satu hal yaitu Keputus-asaan.
Kembali kumasuki kamar yang pengap, kucoba memejamkan mata. Uh gak bisa !
Pukul sepuluh lewat, handphoneku
berdering…

“ Halo !” sahutku lemah. Tidak ada suara, diseberang sana sunyi, tapi tiba-tiba mengalun sebuah lagu yang baru kudengar satu-dua kali.

Aku hanya bisa terdiam melihat kau pergi, dari sisiku, dari sampingku...
Tinggalkan Aku seakan semuanya, yang
pernah terjadi, tak lagi kau rasa...

Jantungku berdebar, tiba-tiba adrenalinku melonjak naik, kepalaku pusing, ada sesuatu yang ingin segera keluar dari mulutku, tapi semua tertahan seiring bait-bait lagu yang
begitu menampar.
Hanya satu orang yang mampu melakukan ini, cuma satu orang yang
kukenal punya kebiasaan sebegini unik.

Ya…
Dia, cuma dia.
Tak pernah sedikitpun Aku bayangkan,
betapa hebatnya cinta yang kau tanamkan…
Hingga waktu beranjak pergi, kau mampu hancurkan hatiku…
Ada yang hilang dari perasaaanku, yang
terlanjur sudah kuberikan padamu…

Hancur?  Siapa yang hatinya lebih hancur, dia atau aku?
Siapa yang lebih terluka? Dia atau aku?

Air bening itu benar-benar memaksa keluar, aku benar-benar gak kuat, tangisku pecah, semuanya benar-benar di
luar dugaan. Ironisnya aku tetap duduk
terpaku mendengar apa yang dia mau,
hingga...
KLIK,..
Telpon terputus. Aku diam sesaat, apa yang harus kulakukan, malam ini siapa yang bisa kumintai sarannya, lagipula
siapa yang benar-benar peduli padaku.

Aku benar-benar sendiri malam ini, benar-benar sendiri.

"Ini kenyataan." Gumanku.
"Kenyataan seringnya cuma menyakitkan." Gumanku lagi.
"Dan kenyataan itu aku sendiri yang menciptakannya."

*Kau... Kau sosok perempuan misterius, sosok yang (pernah) menanamkan benih cinta dalam relung hati ini.
Hanya benih, tanpa diberi kesempatan untuk berubah menjadi bunga.

Friday, January 17, 2014

Senja di Kota Mati

Udara kini berubah di kota mati.
Seperti kisah masa lalu. Kini membisu.

Sialan.
Sebuah lagu terputar di handphone
kunoku. Lagu yang sudah setahun belakangan ini kuhindari.
Iya, lebih baik kuhapus saja dari dulu, tapi entah setan mana yang selalu
membuatku mengurungkan tekad.

Setan?
Hih, rupanya aku masih saja percaya pada setan.
Dia pernah bilang, terkadang playlist dalam mode acak lebih mengerti kita daripada diri kita sendiri. Yah, lagu yang terputar secara acak bisa menyindir kita secara tidak langsung.

Konyol, aku bilang saat itu. Mana
bisa ada kebetulan setepat itu. Tapi, saat ini ku akui dia benar.
Oh maaf, dia memang selalu benar.

Dia… sebut saja Tiara. Ah,
Tiara.

"Apa kabar kamu sayang? Lama tak melihat senyummu, cantik."

Kamu, mimpiku di masa lalu. Alasan kenapa aku harus berjuang demi ada di sampingmu.

Demi melihat ceriamu setiap hari.

Demi kamu mau berbagi tawa denganku.

Karena hanya dengan begitu aku mempunyai warna.
Berbeda dengan hidupku yang selama ini
abu-abu.

"Kamu tau itu kan sayangku?"

Apa kamu dengar bisikanku pagi itu? Iya... yang kubisikkan dengan malu-malu di telingamu.

”Aku sayang kamu, aku mau kita
selalu kayak gini ya.” Kamu terdiam sejenak, menoleh padaku dan memberikan senyum kecil pertanda setuju. Lekas saja kubalas dengan menggenggam kelingking tanganmu
lebih erat dan melanjutkan lari pagi kita
yang sempat tertunda.

Tuhan, aku tidak pernah sebahagia ini.
Semua berakhir di sini. Tempatku mulai bermimpi.

Masih menari di sini,Langkahmu yang telah pergi

Cih,,, harusnya aku sadar, dunia tidak pernah sebaik itu padaku.
Kutarik nafas panjang dan mulai menyalakan batang rokok yang kesekian.

Asbak penuh itu sudah cukup menjelaskan apa yg kulakukan berjam-jam di sini. Hanya diam dan mengingat kamu.

Mengeruk kembali semua kenangan indah kita berdua. Bermain lagi dengannya hingga tanpa sadar aku telah membuka kembali luka yang belum sembuh benar.

Semuanya indah hingga senja itu. Kamu
tiba-tiba datang dan mengetuk pelan kamar kosku. Pelan aku terbangun dan mencoba membuka pintu dengan susah payah. Kamu bicara pelan dan sedikit terisak. Aku belum bertanya ada apa tapi kamu mulai berbicara dalam rangkaian kata yang pedih.

”Aku capek Dim. Aku capek nungguin kamu. Aku sayang kamu, tapi kenapa kita nggak pernah ada kepastian. Sebenernya kita ini lagi apa. Kamu bilang kamu sayang aku juga, tapi kenapa kita cuma temenan."

"Sorry, Dim, aku nggak bisa kayak dulu lagi. See you..."

Nanar aku menatap Tiara,

"Kamu kenapa Ra?." 

Belum sempat aku bertanya,
kamu sudahi saja percakapan pahit senja itu dan melangkah pergi menjauh.

Inginku mengejar, namun entah kenapa aku lebih memilih diam dan menyalakan sebatang rokok.

Rokokku biasanya sedap, kenapa yang ini tidak?

Waktu datang dan menjelaskan semuanya dengan lebih baik.
Kukira hanya dengan mengucap

"Aku sayang kamu, dan berharap akan selalu begini."

Kukira kamu sudah nyaman dan menganggap kita lebih dari teman.

Seperti apa yang orang lain bilang
‘pacar’.
Ternyata kamu menginginkannya
dengan cara yg lebih formal. Menunduk dan berkata,

"Kamu mau jadi pacarku?"

Bah,.. Tiara yg selama ini kutau sangat lugas dan idealis, ternyata menyukai sinetron juga.

Kenapa kamu tidak bilang, sayangku?

Tidak ada yang memberi tahuku bila ini
sudah terlambat. Kucoba menghubungi Tiara kembali.

Tak ada yang ia hiraukan. Selalu
ada alasan kenapa Ia tak bisa menemuiku.

Sabar aku mencoba mengurai benang kusut ini. Benang kusutku terurai sejelas-jelasnya ketika aku melihat Tiara bergandengan mesra dengan seorang lelaki,

Randy namanya.
Sudah seminggu mereka berpacaran, begitu kata kabar yg berhembus.
Tiara dijodohkan dengan Randy. Tidak ada penjelasan lain.

Hatiku mati di sini...
Terdiam dan tak mengerti...
Sayang... sudah sampai sini sajakah kisah kita???

Aku bahkan seperti belum memulai
kisahku denganmu secara formal.
Iya, seperti yang kamu mau kan.

Kurasa aku sudah mengerti seluruhnya tentang kamu, tapi ternyata ada celah-celah tersembunyi yang aku tak pernah tau.
Maafkan aku Tiara..,
Aku terlalu sok tau memang...

Tiara kamu merusak senjaku.
Kamu tau kan dalam 24 jam waktu berputar, aku selalu menyukai senja.

Tuhan memberi lukisan alam yang menakjubkan di saat itu. Semburat
warna jingga membaur dengan polosnya biru muda.

Memberi penyegar pikiran setelah
penat dengan berbagai aktivitas dalam sehari.

Walau tidak sedang cerah, senja selalu
membuatku kagum dengan caranya sendiri.

Senja selalu menjadi obat yang paling
mujarab setelah kehadiranmu. Kini kamu tak di sampingku dan senjaku juga telah rusak.

Aku bisa apa.???
Sudah lama cerita itu usai. Tapi senyummu yang terpatri dalam ingatanku tak pernah
memudar.

Tetap cemerlang dan tak berkurang sedikit pun.
Pun begitu rasa rinduku ini.

Rinduku, bukan rindu kita lagi.
Dan kota ini, kota yang kamu kenalkan padaku ini, hanyalah seperti kota mati.
Bagiku, masih bertahan sisa-sisa mimpiku di kota ini.

Wednesday, January 8, 2014

Forever

Kutemukan siluetmu dalam memoryku, dikala senja kemuning menyelusup pekatnya kesedihan.

Waktu adalah luka terbesar dalam hidup. Luka, bagi mereka yang hidup dalam kenangan, termasuk aku.
Aku ingat, senja lalu tak pernah seperih ini. Tak ada potongan-potongan kecil memory yang mengiris hati yang rapuh.

Aku mencintaimu. Dulu, kini dan nanti. Aku tidak memilih mencintaimu. Namun takdir telah memutuskan, aku akan hidup untuk mencintaimu. Meski kau tak hidup untuk menerima cintaku.

Aku masih mengingatnya. Tiga tahun yang lalu. Kala itu kau masih berupa putri kecil yang mencoba tumbuh dewasa. Sedang aku pria biasa yang kekanak-kanakan.
Aku tidak pernah tahu, dari sekian banyak pria di bumi ini. Kenapa kau harus menitipkan sedikit cintamu padaku. Pada pria yang baru kau temui 4 hari. Pada pria yang baru satu jam kau ajak berbincang melalui pesan singkat. Dan entah mengapa akupun menerimanya. Mungkin ini yang dinamakan rencana Tuhan.

“aku sayang kamu."
“hm gombal."
“serius."
“hm iya iya."
“kamu sayang aku nggak?"
“nggak tau."
“iih serius."
“hehe iya aku sayang kamu."

Kau pun berlalu dengan senyum manis berpendar di bibir tipismu. Meninggalkanku tertinggal di pekatnya
jalan Siliwangi. Tak banyak waktu berdua yang kau habiskan bersamaku.

Satu-satunya waktu itu adalah setiap hari sebelum kita berangkat sekolah. Berbagai alasan pun muncul, sekedar mengerjakan PR, menunggu waktu sekolah, atau mempelajari sedikit materi ketika akan ujian.
Namun itu tak lebih dari sekedar alasan agar aku bisa menghabiskan waktu berdua.
Mendekapmu dalam bisu, atau mencumbu bibir tipismu dalam rindu.

Hari ini. Tepat tujuh tahun sejak janji itu. Aku bukan remaja kekanak-kanakan lagi. Kini aku telah menjelma pria dewasa yang siap bersaing di tengah masyarakat.

Dengan gelar sarjana Tekhnik yang
sebentar lagi aku dapatkan, aku siap membuka sebuah cabang baru restoranku.
Cukup membingungkan bukan. Cita-citaku dari kecil memang membuka sebuah restoran. Selain karena aku menyukai makanan, faktor ayahku yang seorang koki pun mendorong cita-citaku untuk menjadi kenyataan.

Sehari yang lalu aku
memberanikan diri memfollow twitternya. Sekaligus memention untuk memintanya hadir di acara wisudaku, namun Tidak ada balasan dari dia. Entah dia tidak membacanya atau dia memang malas untuk membalasnya.

Hari ini aku dengan togaku bersanding
dengan ibuku yang mengenakan kebaya
merah berpadu kerudung krem. Sedang
ayahku. Ayahku melihatku dari sana, dari dunia tempat mereka yang tiada.

Dalam riuhnya susasana wisuda, aku membalas ucapan selamat dari kawan-kawanku. Diselingi sekali, dua kali jepretan dari tukang foto. Hingga acara wisuda itu selesai. Dia tak datang. Entah apa alasannya. Namun aku pun tidak terlalu mengharapkannya. Aku mengerti, enam tahun tidak berkomunikasi. Lalu tiba-tiba hadir hanya untuk memintanya datang ke acara wisuda pria yang pernah menyakiti hatinya. Ya dua kali aku menduakannya.

Namun aku hanya pria kekanak kanakan waktu itu. Berbeda kini yang mengerti
artinya sebuah ketulusan.

Melalui silir senja, matahari pun kembali
ke belahan lain. Meninggalkan malam sebagai gantinya. Iseng-iseng aku membuka twitter.

"Selamat ya udah jadi sarjana, maaf aku nggak bisa dateng."

sebuah balasan darinya menghiasi muka laptopku. Jujur saja, aku sangat bahagia waktu itu. Sepertinya dia sudah mulai melupakan kesalahanku dulu.

“makasih ya. Iya gapapa
hehe.” jawabku dengan sigap.

Malam itupun terasa indah seperti dulu. Malam yang takbpernah kudapatkan selama enam tahun ini.

Sejak hari itu, kamipun berbalas pesan.
Aku rasakan canda tawanya yang dulu
riuh diantara kita. Meski tak melihat
wajahnya, namun setiap balasan yang ia
buat slalu membawaku kepada memori dia tujuh tujuh tahun lalu. Sepertinya cemetibcinta mulai mengiris hatiku lagi. Dan aku bahagia. Sebulan sudah kami
berkomunikasi lagi. Tidak lagi di twitter, namun kini sudah melalui pesan singkat bahkan sesekali menelpon. Tak jarang pulabkami menghabiskan waktu berdua berkeliling mendatangi tempat-tempat hiburan. Dan aku rasa hubunganku pun sudah lebih membaik
dengannya, dan aku pun berharap akan
semakin membaik. Semoga saja ada
kesempatan dimana aku bisa mengulang
kembali kenangan bersamanya.

Namun malam itu aku berharap aku tak
pernah bisa berkomunikasi lagi dengannya.
Malam itu dia menelponku dengan tersedu, aku sendiri bingung dengan tingkahnya. Namun tak lama kebingungan itu pun berubah menjadi kebencian dan kepedihan.

Sedikit penjelasan lalu dia mengundangkubuntuk menghadiri acara pernikahannya esok hari.
Tanpa banyak kata aku mengiyakan dan langsung menutup telponnya.

Aku kehabisan kata, malam itu aku habiskan dengan melamun sepanjang malam. Entah apa yang aku lamunkan.
Hanya kosong yang ada dipikiranku.
Sebulan yang lalu ketika aku mengundangnya di acara wisudaku, dia
bertunangan. Bertunangan dengan pria
yang sudah menjadi kekasihnya enam tahun sejak kepergianku. Sakit memang, namun inilah kenyatannya. Inilah rencana Tuhan.

Rencana untuk menjadikanku gangguan
sebelum dia menikah dengan kekasihnya. Ya memang banyak yang bilang, ketika akan menikah akan ada gangguan yang kuat, yaitu orang dari masa lalu. Tetapi aku tidak pernah berpikir jika akulah yang akan menjadi orang masa lalu itu.

Esoknya aku datang ke pernikahannya.
Menggenakan celana dan jaket jeans. Akubterlihat mencolok dibandingkan orang lain yang mengenakan batik ataupun jas. Aku terlihat lebih urakan.

Di depan pintu masuk aku melihatnya tersenyum menyalami orang-orang yang datang.
Senyum penuh kebahagiaan menurutku.
Tapi entahlah. Sedikit demi sedikit
senyum itu mulai memudar dari bibirnya, seiring dengan tubuhku yang mulaibmendekat. Setiap langkahku kurasakan hatiku semakin sakit, terasa seperti dikoyak ribuan kesakitan.
Aku tarik nafas sedalam-dalamnya, lalu aku tersenyum sembari menjabat tangan mempelai prianya.
Ketika aku akan menyalaminya, kulihat
embun dimatanya menetes. Riuh, membuat orang yang melihatnya keheranan. Sontak aku berbisik ditelinganya
“kau jangan menangis, ini sudah rencana Tuhan. Jika kita tak bisa bersatu di dunia, mungkin kita akan bersatu di akhirat. Aku mencintaimu, dari awal hingga nanti. slalu”.
Akhirnya diapun mengusap air mata di pipinya. Dan aku pergi melihatkan
diriku yang mulai membias dari kerumunan orang-orang.

Setahun adalah waktu yang dirasa tuhan
cukup untukku denganmu. Namun enam
tahun masih dirasa tuhan belum cukup
untukku melupakanmu. Dan entah
mengapa aku masih berharap bisa
merasakan cinta yang dulu pernah kau
berikan.

Mereka slalu menanyakan, kenapa kau harus berhenti di wanita pendek, gendut dan lebih tua darimu. Sedangkan diluar sana masih banyak wanita yang lebih cantik dan lebih segalanya dari dia.

Bahkan wanita yang telah kau sia-siakan pun lebih darinya bukan ? namun merekabtidak pernah mengerti.

Cinta tidak perlu sebuah alasan, namun ketulusan-lah yang akan mendasari cinta.

Sunday, January 5, 2014

Cintai Aku Apa Adanya !!! (RENUNGKANLAH)

#PemulihanJiwa @DedySusanto

Suami saya adalah seorang insinyur, saya mencintai sifatnya yang alami dan Saya menyukai perasaan hangat yang muncul dihati saya ketika saya bersandar di bahunya yang bidang.

Dua tahun dalam masa pernikahan,saya
harus Akui, bahwa saya mulai merasa lelah, alasan-alasan saya mencintainya dulu telah berubah menjadi sesuatu yang menjemukan.

Saya seorang wanita yang sentimentil dan benar-benar sensitif serta berperasaan halus.

Saya merindukan saat-saat romantis seperti seorang anak yang menginginkan permen. Tetapi semua itu tidak pernah saya dapatkan.

Suami saya jauh berbeda dari yang saya
harapkan. Rasa sensitif-nya kurang. Dan ketidakmampuannya dalam menciptakan suasana yang romantis dalam pernikahan kami telah mementahkan semua harapan saya
akan cinta yang ideal.

Suatu hari, saya beranikan diri untuk
mengatakan keputusan saya kepadanya,
bahwa saya menginginkan perceraian.

“Mengapa?”, dia bertanya dengan terkejut.
“Saya lelah, kamu tidak pernah bisa
memberikan cinta yang saya inginkan."
Dia terdiam dan termenung sepanjang malam di depan komputernya, tampak seolah-olah sedang mengerjakan sesuatu, padahal tidak.

Kekecewaan saya semakin bertambah,
seorang pria yang bahkan tidak dapat
mengekspresikan perasaannya, apalagi yang bisa saya harapkan darinya? Dan akhirnya dia bertanya, “Apa yang dapat saya lakukan untuk merubah pikiranmu?”

Saya menatap matanya dalam-dalam dan menjawab dengan pelan, “Saya punya pertanyaan, jika kau dapat menemukan jawabannya di dalam hati saya, saya akan merubah pikiran saya: Seandainya, saya menyukai setangkai bunga indah yang ada di tebing gunung dan kita berdua tahu jika kamu memanjat gunung itu, kamu akan mati.
Apakah kamu akan melakukannya untuk
saya?”

Dia termenung dan akhirnya berkata,
“Saya akan memberikan jawabannya besok.”
Hati saya langsung gundah mendengar
responnya.

Keesokan paginya, dia tidak ada di rumah, dan saya menemukan selembar kertas dengan oret-oretan tangannya dibawah sebuah gelas yang berisi susu hangat yang bertuliskan …

“Sayang, saya tidak akan mengambil bunga itu untukmu, tetapi ijinkan saya untuk menjelaskan alasannya.”

Kalimat pertama ini menghancurkan hati saya. Saya melanjutkan untuk membacanya.

” Sayang ketika kamu mengetik di komputer lalu program-program di PC-nya kacau dan akhirnya kau menangis di depan monitor, saya harus memberikan jari-jari saya supaya bisa membantumu dan memperbaiki programnya dan kamu bisa menyelesaikan pekerjaanmu.

Sayang, kamu juga selalu lupa membawa
kunci rumah ketika kamu keluar rumah, dan saya harus memberikan kaki saya supaya bisa mendobrak pintu, dan membukakan pintu untukmu ketika pulang.

Sayang, kamu suka jalan-jalan ke luar kota tetapi selalu nyasar di tempat-tempat baru yang kamu kunjungi, saya harus menunggu di rumah agar bisa memberikan mata saya untuk menunjukkan jalan kepadamu.

Sayang, kamu selalu sakit dan pegal-pegal pada waktu “teman baikmu” datang setiap bulannya, dan saya harus memberikan tangan saya untuk memijat kakimu yang pegal.

Cinta, ketika kamu sedang diam di rumah, dan saya selalu kuatir kamu akan menjadi “aneh”. Maka saya harus membelikan sesuatu yang dapat menghiburmu di rumah atau
meminjamkan lidahku untuk menceritakan hal-hal lucu yang saya alami.

Cinta, kamu terlalu sering menatap layar
kaca TV dan Komputermu serta membaca buku sambil tiduran dan itu tidak baik untuk kesehatan matamu, maka saya harus menjaga
mata saya agar ketika kita tua nanti, saya masih dapat menolong mengguntingkan kukumu dan mencabuti ubanmu. Tanganku akan memegang tanganmu, membimbingmu menelusuri pantai, menikmati matahari pagi
dan pasir yang indah. Menceritakan warna-warna bunga yang bersinar dan indah seperti cantiknya wajahmu.

“Tetapi sayangku, saya tidak akan mengambil bunga itu untuk mati. Karena, saya tidak sanggup melihat air matamu mengalir menangisi kematianku.
Sayangku, saya tahu, ada banyak orang yang bisa mencintaimu lebih dari saya mencintaimu. Untuk itu sayang, jika semua yang telah diberikan tanganku, kakiku, mataku, tidak cukup bagimu. Saya tidak bisa menahan dirimu
mencari tangan, kaki, dan mata lain yang dapat membahagiakanmu.”

Air mata saya jatuh ke atas tulisannya dan membuat tintanya menjadi kabur, tetapi saya tetap berusaha untuk membacanya.

“Dan sekarang, sayangku, kamu telah selasai membaca jawaban saya. Jika kamu puas dengan semua jawaban ini, dan tetap menginginkanku untuk tinggal di rumah ini, tolong bukakan pintu rumah kita, saya sekarang sedang berdiri disana menunggu jawabanmu. Jika kamu tidak puas, sayangku, biarkan saya masuk untuk membereskan barang-barangku, dan saya tidak akan mempersulit hidupmu. Percayalah, bahagia saya bila kau bahagia.”

Saya segera berlari membuka pintu dan
melihatnya berdiri di depan pintu dengan
wajah penasaran sambil tangannya memegang susu dan roti kesukaanku.
Aku peluk dia penuh kebahagiaan, oh, kini aku tahu, tidak ada orang yang pernah mencintai aku lebih dari dia mencintaiku.

Itulah cinta, di saat kita merasa cinta itu
telah berangsur-angsur hilang dari hati kita karena kita merasa dia tidak dapat
memberikan cinta dalam wujud yang kita
inginkan, maka cinta itu sesungguhnya telah hadir dalam wujud lain yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya.
Seringkali yang kita butuhkan adalah
memahami wujud cinta dari pasangan kita, padahal tanpa kita sadari Cinta itu telah terwujud dalam bentuk yang lain walau tidak sesuai dengan wujud yang kita harapkan

Seringkali kali kita menuntut Cinta kepada pasangan kita, namun jarang terfikir oleh kita sejauhmana Cinta yang telah kita berikan padanya.
Berikan Cinta Kasih yang tulus kepadanya, kalaupun dia belum membalasnya yakinlah Allah pasti akan
membalas dan membisikkan CintaNYA
kepadanya untuk diberikan kepada kita.

#PemulihanJiwa  @DedySusanto