Sumber: facebook
Sudah beberapa hari istri saya merajuk dan bahkan setengah
memaksa.Terus-menerus. Tak pernah berhenti. Sepanjang waktu.
Siang-malam, pagi-sore. Ia tak mengenal lelah untuk merajuk dan memaksa.
Rajukan dan paksaannya juga tak main-main. Sangat berat. Maha berat
malah. Ia meminta saya untuk melakukan poligami! Menikah lagi! Dengan
perempuan lain!
Saya tidak tahu apa alasan pasti sehingga istri
saya meminta saya berpoligami. Bagi saya, istri saya adalah wanita yang
mendekati sempurna. Ia adalah perpaduan antara Khadijah dan Aisyah,
istri-istri Nabi agung Muhammad. Di waktu-waktu tertentu, ia begitu
mandiri, tabah, dan keibuan layaknya Khadijah. Di saat lain, istri saya
mampu bertindak cerdas dan suka bermanja seperti halnya Aisyah. Jadi,
buat apa saya berpoligami?
”Poligami bukan buat Mas, ”tegas istri
saya. ”Tapi, poligami ini buat saya. Saya ingin masuk surga seperti
wanita-wanita lain yang rela dan ikhlas dimadu. Apakah Mas tidak senang
jika istrinya masuk surga?”
Saya kaget dengan ketegasan istri
saya. Tapi, saya bukannya senang dengan sikap yang tegas itu. Saya
justru takut, ketegasan itu akan membuat istri saya menyesal di kelak
kemudian hari. Apalagi saya memang benar-benar tak ingin berpoligami!
”Dik, poligami itu bukan sesuatu yang mudah. Seorang pria yang berniat
poligami harus memiliki sikap dan watak yang adil. Apakah aku akan mampu
bersikap adil? Rasanya tidak! Coba kamu pikir dan rasakan, terhadap
diri kamu dan anak-anak kita saja saya kerap gagal, apalagi terhadap
orang lain nantinya.”
Saya mulai memberi nasihat kepadanya. Tentu
dengan suara yang lembut. Sebab saya yakin ia pasti mau mendengarnya
jika saya berbicara lembut.
”Selain adil, aku juga mesti punya
pendapatan yang berlebih. Taruhlah, aku cukup kaya untuk membiayai
kehidupan dua keluarga. Sebab bagaimana mungkin aku bisa berpoligami
sementara pendapatanku cekak? Nah, ini yang aku tidak bisa berikan.
Untuk membiayai kehidupan kamu dan anak-anak kita saja aku begitu
kerepotan, bagaimana aku bisa membiayai kehidupan orang lain.”
Istri saya manggut-manggut. Saya senang ia mulai terpengaruh pikiran
saya. Tapi, saya dibuat terperangah karena suara istri saya lain dengan
sikapnya itu.
”Sejak kapan Mas berubah sikap menjadi seorang
penakut? Apakah Islam telah mengajarkan Mas menjadi seorang penakut?
Saya tidak pernah membayangkan Mas begitu ketakutan terhadap poligami.
Padahal, kenapa kita takut berpoligami? Apa sebenarnya yang membuat kita
ngeri saat hendak melakukan poligami? Takut tidak dapat berbuat adil?
Takut tak bisa menafkahi?”
”Dik, aku bukan takut. Tapi, aku rasional…”
”Benar! Mas, rasional. Tapi, rasional yang didasari oleh ketakutan.
Kalau Mas bicara dan bertindak atas nama sesuatu, tetapi sudah didasari
ketakutan dan kekhawatiran, selamanya Mas tak akan pernah bisa jujur
terhadap diri sendiri.”
Saya tak mampu melawan kata-kata istri
saya. Hari ini, saya berdebat dengan istri saya mengenai poligami. Tapi,
posisi kami malah bertolak belakang. Saya bukan hendak minta izin
berpoligami, melainkan saya justru dipaksa istri saya untuk berpoligami.
”Dik, kata Pak Quraish Shihab, poligami itu dapat diibaratkan pintu darurat di pesawat terbang….”
”Pintu darurat yang seperti apa? Apa jenis pesawat terbangnya?” potong
istri saya cepat. ”Setahu aku, Al Qur’an tidak pernah mengibaratkan
poligami seperti pintu darurat pesawat terbang. Al Qur’an hanya bilang, kalau mampu bersikap adil, nikahlah dengan dua, tiga, atau empat. Kalau
tak mampu cukup satu saja.”
”Itulah yang aku takutkan…”
”Nah, benarkan. Mas bicara poligami karena rasa takut dan khawatir. Akhirnya, Mas mengaku juga….”
Saya telah masuk ke dalam perangkap pikiran cerdas istri saya. Saya
kini terdiam. Benar-benar terdiam. Seribu bahasa. Saya hanya menundukkan
kepala pertanda menyerah.
”Mas, ”panggil istri saya dengan
senyum dan mata yang menawan. ”Saya ingin Mas secepatnya berpoligami.
Saya ikhlas. Benar-benar ikhlas. Bahkan kalau Mas tak bisa mencari
wanita lain, saya bersedia mencarikannya.”
Saya menengadahkan
kepala saya ke wajahnya. Istri saya tersenyum. Senyumnya begitu lembut.
Saya membalasnya dengan pelukan hangat. Diam-diam hati saya
berbunga-bunga. Gembira. Membayangkan ada wanita lain yang -tentu saja-
lebih muda, lebih cantik, lebih semlohai, lebih segalanya dibanding
istri saya sekarang ini. Kegembiraan saya tak tertahankan….
”Mas! Bangun! Bangun, Mas! Mimpi apa sih? Kok senyum-senyum. Ketawa sendiri lagi.
Tanjung Pinang, 05 Oktober 2015