Malam, masih sama dingin, tak mau mempedulikan Siang. Mereka hendak
bertanya sampai kapan mereka akan tetap berada dalam ketidakpastian.
Malam datang, Siang pergi. Siang datang, Malam yang pergi. Tak pernah
mereka berada dalam satu tempat atau satu waktu yang bersamaan, seperti
saling membenci mungkin, atau memang tak pernah bisa disatukan. Siapa
yang tahu. Dan inilah apa yang terjadi.
Dulu, mereka tak saling kenal. Saat itu Malam yang memang selalu sunyi
dan dingin pada apapun yang hidup tak pernah mau memulai untuk
berbicara. Saat itu umurnya belum mencapai dewasa seperti yang
orang-orang katakan. Belum cukup umur untuk mempunyai kartu-kartu izin,
atau untuk menonton hal-hal yang dibumbui s*ksualitas pada beberapa
adegannya. Tetapi itu dulu, saat belum cukup umur. Walaupun sekarang
umur telah berbeda, tetapi ia tetap tak mau jika terdapat banyak suara,
maka dari itu setiap ia berada di tempat yang ramai ia selalu
menghindar. Tapi, ia bukan orang yang kesepian, ia mempunyai cahaya yang
selalu menemaninya setiap saat. Ia menamainya Bintang, gadis yang
memancarkan sinar kecantikannya, gadis yang sukar untuk kaum lelaki
taklukan, karena memang ia memegang teguh apa yang ia punya, hatinya:
yang selalu disembunyikannya.
Bintang sering berkata, “Kalau kau terus seperti itu dengan batu yang
melekat pada tiap-tiap rambutmu, kau tak akan pernah sanggup mengenali
apalagi mencinta.” Dan setiap ia berkata seperti itu, Malam selalu
menjawab dengan jawaban yang selalu sama, “biarlah, lagi pula cinta itu
apa? Ketika kamu dihadapkan dengan cinta, bagaimana caramu untuk
mendapatkan cinta itu? Lalu setelah kamu mendapatkannya, bagaimana cara
untuk mengelola cinta tersebut sebelum kamu memberikan lalu
menitipkannya dengan penuh rasa percaya, atau rasa curiga.” Percakapan
mereka sering tak pernah berhenti, pertanyaan yang sama dijawab dengan
jawaban yang sama.
Di kehidupan yang lain, Siang selalu mencermati apa yang ia lihat.
Kepergian, kedatangan, perpisahan, pertemuan, kesedihan, kesenangan,
membuat ia seakan hidup hanya sebagai pengamat, namun tak pernah bisa
merasakannya. “Mengapa hidup tak pernah bisa aku atur supaya apapun yang
hidup mampu untuk merasakan hidup yang sesungguhnya? Setiap orang
berhak merasakan apa yang ia mau, bukan apa yang ia dapati.” Siang meski
selalu diramaikan dengan apa yang ada di sekelilingnya, tetap ia tak
mampu merasakan apa yang lingkungannya rasakan. Apapun yang ia lihat, ia
tak bisa mengalaminya.
Itulah mereka, Malam dan Siang yang selalu berada dalam kehidupan yang berbeda, kehidupan yang bertolak belakang, namun saling bertautan satu dengan yang lainnya. Malam ingat betul saat ia pertama kali bertemu dengan Siang. Saat itu Senja menjadi sosok yang mendasari pertemuan mereka. Pertemuan, memang selalu indah dengan segala hal yang menjadikannya indah.
Itulah mereka, Malam dan Siang yang selalu berada dalam kehidupan yang berbeda, kehidupan yang bertolak belakang, namun saling bertautan satu dengan yang lainnya. Malam ingat betul saat ia pertama kali bertemu dengan Siang. Saat itu Senja menjadi sosok yang mendasari pertemuan mereka. Pertemuan, memang selalu indah dengan segala hal yang menjadikannya indah.
Saat itu, tanpa Malam ketahui, Senja datang dengan membawa teman yang
berbeda, padahal seharusnya ia datang bukan dengan teman yang satu ini,
“seharusnya dengan Fajar” ucap Malam dalam hati. Malam yang saat itu
memang tidak memperhatikan dengan jelas -hanya sepintas-, tidak terlalu
menanggapi pembicaraan mereka. Tetapi, Senja mendesak Malam supaya mau
melihat orang yang ia bawa. Dengan sewajarnya Malam melihat teman Senja
itu, ia hanya bisa terdiam, saat melihat sesuatu yang sepertinya berbeda
dengan ia, dengan apa yang ada pada dirinya dan bertolak belakang
dengan apa yang sering ia jumpai. Saat bertemu dengan Siang. Saat mereka
bertemu untuk pertama kalinya, Malam percaya, ia sudah mendapatkan
cinta, ia hanya harus siap untuk mengelola dan kemudian memberikan untuk
selanjutnya menitipkan apa yang ia telah dapatkan.
Siang, ia harus pulang saat gelap hampir tiba. Namun, Senja yang saat
itu terus mendesaknya, membuat ia lemah untuk menolak orang yang selalu
dikagumi oleh semua orang, khususnya para penyair yang sepertinya mabuk
karena Senja tanpa alasan yang pasti. Siang merasa harus pulang, tapi
seseorang yang baru saja ia temui membuat ia tak bisa pergi, karena ia
terlalu menikmati suasana itu. Tak berapa lama, Siang dapat merasakan
apa yang sering ia lihat: pertemuan. Dan ia mampu merasakan juga, sebuah
kedatangan. Namun berbeda dengan apa yang sering ia lihat, kali ini ia
kedatangan sesuatu yang tak terpegang dan sulit untuk disentuh namun
sangat halus untuk dirasakan, cinta.
Mereka tak terpisahkan, Siang dan Malam, meskipun berbeda tetapi pada saat itu mereka merasa kalau mereka sama, meski di antara Siang dan Malam terselip Senja yang memisahkan mereka. Namun Senja bukanlah penghalang bagi mereka, justru Senjalah yang mempertemukan mereka, Senjalah gerbang untuk mereka saling melihat, untuk saling menjamah tubuh mereka masing-masing, untuk saling memberikan dan menitipkan apapun yang mereka punya, meski mereka tak akan bisa bersama selamanya. Mereka tahu itu.
Setiap hari mereka selalu meluangkan waktu untuk bertemu, saat Siang harus pergi karena memang gelap hampir tiba, saat itu pula Senja yang mempertemukan mereka walau bukan untuk waktu yang lama.
Sikap Siang dan Malam yang berbeda saat gelap akan datang membuat
Matahari dan Bulan mencurigai pasangan mereka masing-masing. Ya,
sebenarnya Bulan adalah pasangan Malam, dan Matahari adalah pasangan
Siang. Mereka, Bulan dan Matahari meski tak pernah saling bertemu
apalagi mengenal, sama-sama mempunyai perasaan dan prasangka yang tidak
baik bagi pasangan mereka masing-masing. Mereka sering mempertanyakan
itu pada pasangan mereka masing-masing, namun tak pernah mendapatkan
jawaban yang sebenarnya. Sampai suatu saat, mereka secara bersamaan tak
menampakan wujudnya pada Malam dan Siang. Seketika itu pun, Siang yang
selalu bersinar bagi lingkungannya menjadi gelap tanpa adanya Matahari.
Malam yang selalu memberi kesunyian bagi lingkungannya mendadak riuh
gemuruh tanpa adanya Bulan. Mereka tahu, ada yang salah dan menjanggal
bagi lingkungannya jika mereka tak muncul dengan pasangan mereka
masing-masing. Akhirnya, pada saat pertemuan Senja selanjutnya, mereka
tak bertemu. Sebuah perpisahan, kata yang sukar diucapkan. Tetapi
perpisahan, adalah bukti kalau mereka pernah bertemu.
Lama mereka tak pernah bertemu kembali, hanya kata-katalah yang
mempertemukan mereka dalam lembaran kertas pada sebuah surat. Diam-diam,
mereka sering berbalas surat. Dengan perantara Angin, seseorang yang
selalu hadir pada setiap kehidupan, pada kehidupan Malam ia melengkapi
kesunyian Malam, pada kehidupan Siang ia menyejukkan keadaan lingkungan
Siang. Ia menjadi perantara bagi mereka berdua. Surat-surat yang mereka
titipkan pada Angin, selalu sampai pada tangan yang tepat dan disambut
dengan tangan terbuka. Mereka bertemu, walau hanya pertemuan kata.
“…Siang tersayang. Meski kini aku tak bisa kembali menyentuh kulit tubuhmu, atau menatap indahnya dirimu, aku akan tetap menjaga titipan yang kamu berikan padaku, dulu. Meskipun kini, aku tak mampu menggambarkan wujudmu lagi lewat coretan gambar. Tapi, yang aku dapat lakukan saat ini hanyalah menggambar wujudmu lewat kata-kata, juga kenangan tentang kita, hanya mampu terekam dalam kata-kata dan tetap diam dalam hati, meski itu semu kurasakan…”
Itulah penggalan isi dari surat yang Malam kirimkan pada Siang. Hati Siang remuk, menahan perasaan rindu dan cintanya pada Malam, namun pada siapa ia mampu mengadu? Jika saja ia memiliki Bintang seperti yang Malam miliki, mungkin ia tak akan kesepian dan mampu membagi kerisauan hatinya.
“…Namun Malam tercinta, walaupun aku masih menyimpan catatan tentang alamat rumahmu, aku tak mampu berjanji untuk datang kembali, dan menjumpaimu dengan rasa rindu yang tertahan dan meluapkannya lewat pelukan hangat dengan tubuhmu. Tapi, jika kita terlalu fokus pada hal yang telah terjadi, kita takkan mampu melihat apa yang akan terjadi di masa depan…”
Saat membaca isi surat dari Siang tersebut, semakin hancur perasaan Malam. Tak mampu ia membendung rindunya yang tertahan itu. “Bagaimanapun caranya, aku ingin bertemu dan menyampaikan rinduku pada Siang”, ucap Malam kepada Bintang yang mendampingi Malam saat itu.
Bintang, yang ingin membatu temannya itu menjadi muram, cahayanya
sedikit kelabu, tak seperti biasanya. Ia seperti merasakan apa yang
Malam rasakan, walau tak mengalaminya langsung, namun Malam telah
menjadi bagian dari hatinya, sebagian hatinya telah menjadi milik Malam,
temannya. Saat Bintang hampir putus asa untuk membantu Malam, ia
terkejut dengan seseorang yang menepuk pundaknya saat ia melamun di
pinggir jalan menuju rumahnya. Dialah Fajar, seseorang yang sempat ia
temui di Restoran seberang, saat ia dan Malam tengah makan bersama.
“Hai Bintang, karena apa kau terlihat muram seperti itu? Kemana temanku Malam? Apa ia sehat?” tegur Fajar. Bintang yang terkaget melihat Fajar tersebut mendadak teringat sesuatu, kalau Fajar ini mempunyai hubungan yang cukup dekat dengan Siang.
“Fajar! Tolong aku, teman kita, Malam, saat ini tengah muram sekali. Ia merindukan Siang, tetapi mereka tak bisa pergi karena pasangan mereka akan marah jika mendapati mereka saling bertemu. Tolonglah!”, ucap Bintang dengan tergesa.
“Apa? Mengapa mereka bisa mempunyai nasib malang seperti itu? Tetapi, walaupun cinta mereka suci, tetapi mereka tak bisa saling memiiki untuk selamanya, kau tahu itu Bintang, pertemuan mereka hanya akan membuat mereka lebih tersakiti. Mereka tak bisa bersanding, karena mereka sudah mempunyai pasangan yang telah ditentukan.”
“Aku tahu! Tapi tegakah kau melihat orang yang sedang dilanda asmara terpisahkan begitu saja?”
“Tapi keputusan yang baik, jika dibuat untuk alasan yang salah, bisa menjadi keputusan yang salah.”
“Aku tak peduli! Aku hanya ingin melihat ia bahagia, meskipun itu salah.” Bintang mulai menangis dan jatuh dalam pelukan Fajar. “Aku tak mau mereka merasakan apa yang aku rasakan dulu, sampai aku harus menyembunyikan hatiku supaya tak ada orang yang mampu merebut hatiku, aku tak mau jika mereka melakukan hal yang sama seperti yang aku lakukan.”
Fajar pun mengerti apa yang Bintang mau. “Aku bersedia melakukan hal ini, akan aku lakukan ini bersama Senja, akan kami pertemukan kembali mereka.”
Senja dan Fajar telah merencanakan sesuatu. Fajar tahu, Siang harus
pulang jika gelap hampir tiba, Senja pun tahu kalau Malam harus pulang
jika terang hampir tiba. Rencana mereka, adalah mempertemukan mereka
pada saat dimana gelap dan terang akan tiba. Siang dengan Senjanya, dan
Malam dengan Fajarnya. Saat akan gelap, Senjalah yang akan menjadi
gerbang pertemuan mereka. Di saat akan terang, Fajarlah yang akan
mempertemukan mereka. Itulah yang mereka lakukan, mempertemukan kembali
dua cinta yang saling merindukan. Meskipun mereka semua mengetahui, ini
adalah keputusan yang salah, tetapi jika untuk alasan yang baik, maka
akan menjadi keputusan yang baik, bagi mereka. Bagi mereka, memilih
bukanlah perkara sulit, namun komitmen dengan hasil pilihan membutuhkan
kedewasaan diri.
Namun, karena memang harus hidup bersama pasangan mereka masing-masing,
maka mereka hidup dalam kehidupan masing-masing bersama pasangannya.
Seperti tak ada lagi apa-apa tentang mereka, saat Malam datang, Siang
pergi. Siang datang, Malam yang pergi. Tak pernah mereka berada dalam
satu tempat atau satu waktu yang bersamaan, seperti saling membenci atau
memang tak pernah bisa disatukan. Tapi sekarang kita tahu, bahwa mereka
sering bertemu, pada saat hampir gelap, mereka bertemu di antara Senja.
Pada saat hampir terang, mereka bertemu di antara Fajar. Dan untuk
meluapkan rasa rindunya, mereka menggambarkan rindunya lewat kata dalam
lembaran kertas pada sebuah surat yang disampaikan Angin.
Begitulah rahasianya, hanya antara mereka. Malam, Siang, Senja, Fajar,
Angin dan tentunya Bintang, yang tak pernah mengungkapkan kebenarannya.
Cirebon, 20 Juli 2015.
No comments:
Post a Comment