Sore sudah berganti senja. sisa hujan yang turun mulai rintik di sela
langit Jogja. saya masih celingukan di antara ruas jalan mencari sisa
angkutan umum untuk mengantar saya pulang. "tumben" gumam saya. Para
angkutan umum itu sudah berputar-putar melewati wajah saya. Tapi apa mau
dikata, jejalan yang bahkan sampai memenuhi pintu masuk kendaraan umum
itu sudah terisi. Tercium aroma kepulan asap putih dari gerobak mie ayam
di seberang jalan sana, membuat perut saya bergetar, saya putuskan
untuk makan dulu saja.
"Halah mas, mas. Tukang angkot memang begitu. Lah aku kemarin sama
keluargaku tumpuk-tumpukan di dalem, masih aja dia ngetem, ngakunya
kosong. Iki Mas” celoteh pedagang mie ayam sambil menyodorkan satu
mangkuk bergambar ayam jago merah di permukaannya.
"Pernah mas waktu itu, penumpangnya banyak bener, sampe kempes ban mobilnya” ucapnya lagi.
Saya tertawa mendengar pedagang mie ayam itu. logat jawanya yang kental, serasi dengan mimik wajahnya yang membuat saya terpingkal dalam hati. Saya masih asik dengan suapan mie yang masih hangat, sementara mata saya terpaku pada sebuah jembatan tua yang sudah banyak dipenuhi bekas-bekas stiker dan coretan-coretan pilog di permukaan tubuhnya. Ada sebuah sosok disana, rasanya saya familiar dengannya.
"Pernah mas waktu itu, penumpangnya banyak bener, sampe kempes ban mobilnya” ucapnya lagi.
Saya tertawa mendengar pedagang mie ayam itu. logat jawanya yang kental, serasi dengan mimik wajahnya yang membuat saya terpingkal dalam hati. Saya masih asik dengan suapan mie yang masih hangat, sementara mata saya terpaku pada sebuah jembatan tua yang sudah banyak dipenuhi bekas-bekas stiker dan coretan-coretan pilog di permukaan tubuhnya. Ada sebuah sosok disana, rasanya saya familiar dengannya.
Setelah merogoh uang sepuluh ribuan, saya langsung menuju jembatan
tadi. Wanita berambut coklat gelap, dengan baju biru langitnya berdiri
sambil memegang tiang batas jembatan itu. Saya tidak mengenalnya, saya
bahkan tidak merasa pernah bertemu dengannya. Rasa familiar yang tadi
itu? Ah, anggap saja itu alasan, mungkin saya hanya ingin melihatnya
dari dekat, atau hanya ingin mengetahui bayang itu dengan jelas. Saya
hanya terus melihatnya dari kejauhan. Sampai angkutan umum berwarna
merah tua datang menjemput saya. Sosok itu, tetap diam di bawah bayang.
*****
Rasanya aku tidak pernah melihat atau bertemu dengannya, tapi kenapa
ia memperhatikanku begitu lekat? atau jangan-jangan ia bermaksud jahat
padaku? atau jangan-jangan dia...
Ah sudahlah, lebih baik aku diam sampai
dia pergi. Sebenarnya aku tidak berencana menghabiskan waktuku di
jembatan jelek ini, aku hanya bosan menunggu malam hinggap di kamarku.
Aku juga tidak suka berada di satu tempat yang sama dalam waktu yang
lama, tapi tidak dengan tempat ini, tidak dengan jembatan ini.
Dia masih melihatku. Kuperhatikan ia sejenak, wajahnya terlihat lugu
dan kebingungan saat menatapku. Dia hanya pria penyanggul tas hijau di
atas bahunya. Mungkin dia penasaran atau benar-benar berniat jahat
padaku?"Ketahuilah, hei... kau pria penyanggul tas hijau, aku hanya menghabiskan senjaku disini, pergi dan jangan menggangguku!" ucapku kesal dalam hati. Aku tidak bermaksud mengusirnya, aku hanya tidak suka ada seseorang yang lama-lama menatapku, membuatku gugup, atau, kesal.
Kendaraan berwarna merah tua datang dari selatan, melenyapkan pria
itu disusul deru asap knalpot hitam yang berbekas di udara. Aku masih
memperhatikan kendaraan merah tua itu dari kejauhan, melihat pria
mencurigakan itu pergi, menghilang disusul langit yang mulai pekat.
*****
Sore itu masih terik. Sinar matahari yang tersisa masih mengancam
awan menyingkir dari langit agar menyisakan ruang untuk tahtanya. Saya
masih setia dengan sepatu vans butut di kaki saya untuk menapaki aspal
panas atau sekedar tanah pasir dan batu yang kering. Sore di alun-alun Jogja memang seringkali terasa panas, apalagi tanpa dilindungi topi satu
pun saya mengarungi jalan pulang dari kampus ke kos-kosan mini saya.
Sesampainya di perempatan jalan, saya menyebrangi garis putih
putus-putus yang melukis aspal hitam yang mengering. Saya menemukan
gerobak mie ayam kemarin dengan bapak berkumis tipis di balik tenda yang
menghiasi wilayah dagangnya.
"Minta siji pak, tambah pangsit piro?"
"Dua belas mas, komplit itu karo es teh."
"Yowis boleh pak." ucap saya sambil duduk di bangku biru yang sudah berjajar rapi di samping meja kayu panjang. Sambil membuka emping dalam plastik kecil saya tertegun ke arah jembatan kemarin. Jembatan itu kini lengang. Belum ada siapa-siapa disana.
"Bapak sering lihat cewek di jembatan sana nggak pak?"
"Sering mas, tiap sore dia disitu. arep bunuh diri kali dia."
"Hus si bapak malah bercanda."
"Minta siji pak, tambah pangsit piro?"
"Dua belas mas, komplit itu karo es teh."
"Yowis boleh pak." ucap saya sambil duduk di bangku biru yang sudah berjajar rapi di samping meja kayu panjang. Sambil membuka emping dalam plastik kecil saya tertegun ke arah jembatan kemarin. Jembatan itu kini lengang. Belum ada siapa-siapa disana.
"Bapak sering lihat cewek di jembatan sana nggak pak?"
"Sering mas, tiap sore dia disitu. arep bunuh diri kali dia."
"Hus si bapak malah bercanda."
Mie ayam di mangkok saya sudah ludes diganti segelas es teh manis
yang juga habis. Saya keluar untuk mencari wanita yang kemarin di
jembatan itu, benar, dia sudah disana sekarang. Saya penasaran
dengannya, kenapa ada orang aneh yang menghabiskan sisa harinya di
wilayah seperti ini. Setahu saya, jarang mahasiswa atau mahasiswi yang
sekedar mampir ke tempat ini hanya untuk menikmati sisa hari, selebihnya
saya tidak tahu, mungkin sama seperti saya, menunggu angkutan umum
untuk mengantar pulang menggantikan kaki yang sudah lelah.
Saya sudah di sebelahnya sekarang. dua meter di sampingnya, tepatnya.
Wanita itu hanya menatap kosong ke arah langit jingga yang hinggap di
langit-langit angkasa. Saya memperhatikannya amat lekat, sampai mungkin
ia terganggu. Dia benar-benar terganggu, dia menoleh ke arah saya. Dia
hanya diam, saya juga diam. Saya palingkan wajah saya ke langit yang
lapang, menahan malu karena tertangkap basah memperhatikannya. Buru-buru
saya hilang dari tempat itu, menghentikan besi merah tua beroda empat
dengan lambaian tangan yang menari disekap malu.
*****
Hujan masih turun. Aku masih terbenam di kasur empukku sambil memeluk
guling kecil dalam selimut. Gemericik air yang menapak jalan terdengar
bising disusul angin yang menghunus di antara daun dan pepohonan di luar
rumah. Ah,
"Aku jadi ingat pria itu." gumamku dalam hati. Sudah sekitar
empat belas hari ini dia selalu datang di sebelah dua meter di sampingku
menangkap akhir sore yang kerap ditutupi awan. Dia tetap seperti yang
kutahu, wajahnya masih lugu. Mungkin bodoh. Tapi aku tidak peduli, dia
bukan orang asing bagiku, dia tumpuan soreku. Senja juga terlukis di
pelupuk matanya.
Aku ingin mengajaknya berbicara, tapi aku takut dia bertanya sesuatu
yang tidak aku inginkan.
"Apa yang kau lakukan disini?" Aku takut
kata-kata itu terucap dan membuat kami tidak lagi menikmati kaki senja
di bawah bayang jembatan tua.
Mungkin bila saat itu terjadi aku akan
bercerita padanya tentang sesuatu yang akan membuat kenanganku kembali
lalu tenggelam dalam tangis. Ah, air mataku jatuh. sudahlah, yang
penting saat pria berwajah lugu itu bertanya demikian, aku akan
meninggalkannya. Karena aku pasti bercerita padanya dan akan
membencinya.
Sudah hampir satu bulan kami menyisakan sore di bawah jembatan.
Menyimpan kenangan kami tanpa suara atau perkenalan.
Masih dalam bisu.
Tiba-tiba pria yang selalu dua meter di sebelahku menghampiriku dan
memperkenalkan dirinya dengan sangat gagah. Aku hanya sambut tersenyum
saat dia menggantungkan tangannya di udara sambil menyebutkan namanya.
Kusambut tangan itu, aku ingat namanya, Denis.
"Jadi namamu Sri toh?"
"Jadi namamu Sri toh?"
"Ada yang aneh dengan namaku?"
"Tidak, lucu saja. hampir sebulan kita sama-sama menikmati senja, tapi aku baru tahu namamu sekarang" ucapnya penuh riang. Aku senang melihat rambutnya yang diponi lurus tebal.
"Maaf, aku tidak berani menyapamu."
"Tidak apa-apa, aku yang harusnya duluan menyapamu. ngomong-ngomong, apa yang kau lakukan disini setiap sore?" petir seperti tersambar di depan hidungku. Dia menanyakannya.
"Kok diam? Aku tidak ingin menganggapmu gila dan ingin bunuh diri seperti abang mie ayam disana itu. jadi, apa yang kau lakukan disini?" tanyanya lagi.
"Aku menunggu seseorang, dia tak kunjung datang."
"Dia pacarmu?"
"Bukan, dia orang yang kucintai."
Aku berkisah padanya. Aku bercerita tentang sosok yang masih tersimpan rapi di relungku. Aku menunggunya, tapi ia tak jua muncul, menghilang. Terakhir kali kami bertemu, adalah di jembatan ini, waktu itu dia berlutut sambil menggenggam bunga mawar di tangannya. Aku menerimanya bak putri-putri dalam dongeng yang seringkali disiarkan di TV pagi-pagi sekali. Kami tidak berkata apa-apa disitu, kami hanya menikmati waktu yang ada sambil tersenyum dengan jemari yang melekat seperti biasa. Kenangan manis itu pupus menjadi lara. Setelah mendengar kabar kehamilanku. Dia sontak terkejut dan menyuruhku melenyapkan kandungan muda di rahimku atas perbuatannya. Dia mencercaku sampai akhirnya melepaskan pelukanku di atas jembatan ini, dan tak pernah kembali lagi.
"Untuk apa menunggu orang yang pantas untuk mati?" dia bertanya demikian. Aku masih terisak di antara sungai mataku sendiri.
"Untuk apa menunggu orang yang tak kunjung datang?" ucapnya lagi sambil menatapku.
"Aku mencintainya." aku terisak.
"Cinta bukan hal bodoh seperti itu, untuk apa kau menangisinya? dia bahkan tak pantas."
"Aku mencintainya." aku masih terisak.
"Tidak, lucu saja. hampir sebulan kita sama-sama menikmati senja, tapi aku baru tahu namamu sekarang" ucapnya penuh riang. Aku senang melihat rambutnya yang diponi lurus tebal.
"Maaf, aku tidak berani menyapamu."
"Tidak apa-apa, aku yang harusnya duluan menyapamu. ngomong-ngomong, apa yang kau lakukan disini setiap sore?" petir seperti tersambar di depan hidungku. Dia menanyakannya.
"Kok diam? Aku tidak ingin menganggapmu gila dan ingin bunuh diri seperti abang mie ayam disana itu. jadi, apa yang kau lakukan disini?" tanyanya lagi.
"Aku menunggu seseorang, dia tak kunjung datang."
"Dia pacarmu?"
"Bukan, dia orang yang kucintai."
Aku berkisah padanya. Aku bercerita tentang sosok yang masih tersimpan rapi di relungku. Aku menunggunya, tapi ia tak jua muncul, menghilang. Terakhir kali kami bertemu, adalah di jembatan ini, waktu itu dia berlutut sambil menggenggam bunga mawar di tangannya. Aku menerimanya bak putri-putri dalam dongeng yang seringkali disiarkan di TV pagi-pagi sekali. Kami tidak berkata apa-apa disitu, kami hanya menikmati waktu yang ada sambil tersenyum dengan jemari yang melekat seperti biasa. Kenangan manis itu pupus menjadi lara. Setelah mendengar kabar kehamilanku. Dia sontak terkejut dan menyuruhku melenyapkan kandungan muda di rahimku atas perbuatannya. Dia mencercaku sampai akhirnya melepaskan pelukanku di atas jembatan ini, dan tak pernah kembali lagi.
"Untuk apa menunggu orang yang pantas untuk mati?" dia bertanya demikian. Aku masih terisak di antara sungai mataku sendiri.
"Untuk apa menunggu orang yang tak kunjung datang?" ucapnya lagi sambil menatapku.
"Aku mencintainya." aku terisak.
"Cinta bukan hal bodoh seperti itu, untuk apa kau menangisinya? dia bahkan tak pantas."
"Aku mencintainya." aku masih terisak.
*****
Sudah hampir agak lama saya serius mengerjakan skripsi saya pada bab
akhir semester saya. Saya tidak sempat ke jembatan itu lagi, karena saya
harus melakukan riset ke wilayah-wilayah lain selain di kota pelajar
dengan makanan khas gudegnya ini. Saya teringat wanita itu. Masihkah ia
menghabiskan akhir sore di jembatan kecil yang tua itu? atau masihkah ia
menyisakan sedikit senyum saat langit mulai berwarna jingga kemerahan?
entahlah, yang pasti, saya menuju kesana, ke jembatan tua untuk bertemu
dengannya.
Perempatan itu masih saja ramai. Jembatan itu masih kosong. "Ada apa
ini? padahal senja sudah turun dari tadi, kemana gerangan Ia?" gumam
saya. Bahkan langit mulai malam, lampu-lampu warung dan gedung sekitar
sudah menyala. Sudah pukul tujuh lewat sekarang. Saya tidak kunjung
bertemu dengannya. Saya menyerah, mungkin dia tidak datang hari ini,
aroma kepulan asap putih dari kejauhan mengundang saya lagi untuk
mengisi perut yang agak kosong.
"Pak, cewek yang sering di jembatan itu, kok nggak ada ya hari ini?" ucap saya setelah memesan.
"Loh, mas belum tahu? mbak itu meninggal mas, bunuh diri, terjun dari jembatan."
Tercekat saya dibuatnya. "wanita itu bunuh diri? Sri? dia bunuh diri?" Tanya saya dalam hati seolah tak percaya. Sebegitu sakitkah kenangannya sampai ia melakukan itu?
"Pak, cewek yang sering di jembatan itu, kok nggak ada ya hari ini?" ucap saya setelah memesan.
"Loh, mas belum tahu? mbak itu meninggal mas, bunuh diri, terjun dari jembatan."
Tercekat saya dibuatnya. "wanita itu bunuh diri? Sri? dia bunuh diri?" Tanya saya dalam hati seolah tak percaya. Sebegitu sakitkah kenangannya sampai ia melakukan itu?
Angin bertiup lagi, menyisakan mawar yang
membusuk di pinggir aspal dekat jembatan.
Hujan turun lagi. Bau tanah yang basah yang tidak asing itu mencuri
setiap kesempatan untuk masuk lewat celah kecil di atas jendela saya.
Tiba-tiba saya terjaga, melihat di balik jendela ribuan anak hujan jatuh
disusul suara dentuman mereka yang keras. Sudah tiga bulan ini hujan
tak henti untuk menangis. Membuat saya resah sendiri untuk melewati sisa
malam yang kunjung pagi dengan kenangan yang tersimpan rapi di benak
saya.
Saya lebih suka ke jembatan itu sekarang. Entah kenapa saya menunggu
wanita berambut coklat gelap itu datang lagi. Saya menunggunya sembari
menghabiskan waktu untuk berdiam diri di kamar. Ada yang mengusik saya,
seorang wanita yang memperhatikan saya dengan keluguan di seberang jalan
dekat gerobak mie ayam yang sering saya datangi. Dia menghampiri saya,
berdiri tepat dua meter di sebelah saya, tidak berkata apa-apa, masih
bisu dalam hening. Menghabiskan sisa senja di bawah jembatan tua.
"Mas, apa yang kau lakukan disini?"
No comments:
Post a Comment